Densus Tewaskan Dua Terduga Teroris
A
A
A
JAKARTA - Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Mabes Polri amankan sembilan tersangka teroris Mujahiddin Indonesia Timur (MIT) pimpinan Santoso. Dua di antaranya tewas dalam baku tembak dengan aparat.
Menurut Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Divisi Humas Polri Brigjen Pol Agus Rianto, pada operasi Jumat (22/5), Densus 88 yang dibantu Polda Sulawesi Selatan (Sulsel) dan Sulawesi Tengah (Sulteng) berhasil menangkap AQ. Terduga teroris tersebut berperan sebagai kurir dan pembawa amunisi kelompok MIT.
Terbukti, di tangannya ditemukan 670 amunisi kaliber 5,56 mm, 3 butir amunisi kaliber 7,52 mm, dan 2 telepon seluler. Sementara dalam penyergapan di Desa Gayatri, Kecamatan Posos Pesisir, Kabupaten Poso, Sulteng, Minggu (24/5), tim Densus 88 mampu menembak mati dua terduga teroris setelah baku tembak dengan petugas. Kini DNA kedua jenazah masih diperiksa untuk dibandingkan dengan data ante mortem guna memastikan identitas mereka.
Dua tersangka lainnya berhasil ditangkap yakni AZ dan S. Dalam proses penangkapan itu, polisi juga menyita 2 senjata M16, 2 magasin, 20 butir peluru, 2 bom lontong siap pakai, dan 1 senjata tajam berupa parang. ”Untuk dua terduga teroris yang meninggal dalam baku tembak, kini sedang dilakukan pendalaman, terutama terkait identitas mereka. Kami sebenarnya sudah memiliki data terkait nama kedua terduga teroris itu.
Namun, pemeriksaan terhadap kedua jenazah masih diperlukan untuk mencocokkan identitas mereka dengan data DPO teroris,” ujar Agus. Pada hari yang sama, polisi juga menangkap tiga terduga teroris di Makassar, Sulawesi Selatan. Mereka adalah F, AI, dan H. Menurut Agus, selain pendukung perlengkapan senjata untuk jaringan Santoso, keterlibatan ketiganya juga sebagai kurir dan ikut pelatihan militer MIT.
Puncaknya, polisi kembali menangkap satu tersangka teroris lagi, yakni N, di Kota Luwuk, Kabupaten Banggai, Sulteng, kemarin sekitar pukul 07.00 Wita. ”Keterlibatan N dalam jaringan terorisme juga sebagai kurir logistik untuk kelompok jaringan teroris Santoso. Bahkan, N juga diduga ikut dalam pelatihan perang bersama terduga teroris lain yang ditangkap sebelumnya. Dalam pelatihan itu, yang menjadi instruktur adalah Santoso dan Papa Enal,” kata Agus Rianto di Bareskrim Polri, Jakarta Selatan, kemarin.
Di sisi lain, dalam baku tembak dengan terduga teroris di Poso, Minggu (24/5), dua anggota Gegana Brimob juga terluka akibat tembakan. Mereka adalah Bripka Wayan Pande dan Brigadir Wayan Sedana. Bripka Pande mengalami luka tembak di lengan dan paha, sedangkan Brigadir Sedana terluka pada pelipis wajahnya. ”Kedua korban pihak Polri tersebut siang ini (kemarin) dibawa ke Jakarta guna mendapatkan perawatan intensif,” kata Agus.
Yang jelas, tegas Agus, di samping instruksi presiden, kegiatan penuntasan jaringan terorisme itu juga sebagai bagian dari gerakan 100 hari kepemimpinan Kapolri Badrodin Haiti. Apalagi, kelompok teroris Santoso yang diperkirakan berjumlah puluhan orang itu pun seolah sulit dibasmi, termasuk pimpinan jaringan kelompok tersebut, Santoso. ”Jumlah anggota kelompok jaringan Santoso itu berkisar 50-60 orang.
Namun, lokasi persembunyiannya berada di hutan dan pegunungan yang sulit dijangkau. Kelompok teroris itu juga merupakan warga yang tinggal dan berdomisili di wilayah tersebut, sehingga mereka lebih menguasai medan,” ujar Agus. Pemerhati terorisme Harits Abu Ulya menilai, kekuatan kelompok jaringan teroris Santoso sebenarnya kecil dari segi jumlah personel ataupun persenjataan.
Apalagi, pascakematian salah satu pimpinan mereka, Daeng Koro, kelompok itu seharusnya semakin mudah dilumpuhkan. ”Kelebihan mereka memang hanya menguasai medan,” katanya. Kondisi berbalik dengan Polri yang memiliki kekuatan sangat besar baik dari jumlah personel maupun perlengkapan senjata yang melimpah. Sayangnya, yang menjadi kelemahan Polri dalam penanganan kelompok teroris jaringan Santoso, personel yang dikirim ke wilayah itu tidak menguasai medan seperti halnya kelompok Santoso.
”Anggota Polri yang dikirim ke Poso tidak memiliki banyak pengalaman perang gerilya di hutan. Padahal, kelompok itu seharusnya dihadapi pasukan dengan kemampuan taktik perang regu gerilya (TPRG),” katanya. Adapun yang memiliki kemampuan TPRG dengan medan hutan dan pegunungan adalah Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Alhasil, menurut Harits, kelompok teroris Santoso akan lebih efektif jika ditangani TNI. ”Kalau ingin cepat beres, Presiden bisa mengeluarkan peraturan presiden (perpres) agar TNI mengirimkan pasukan dengan kapasitas TPRG untuk menuntaskannya,” katanya. Namun, proses pelimpahan itu pun bukan tanpa hambatan, lantaran menyangkut martabat Polri sebagai institusi yang diberi mandat menyelesaikan kasus terorisme.
Polri mesti legawa dan tak segan untuk meminta bantuan TNI yang memiliki kemampuan gerilya di hutan. ”Cukup kirimkan satu kompi Kopassus untuk memburu mereka di hutan. Itu jauh lebih efektif dan efisien,” ungkapnya.
Khoirul muzakki
Menurut Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Divisi Humas Polri Brigjen Pol Agus Rianto, pada operasi Jumat (22/5), Densus 88 yang dibantu Polda Sulawesi Selatan (Sulsel) dan Sulawesi Tengah (Sulteng) berhasil menangkap AQ. Terduga teroris tersebut berperan sebagai kurir dan pembawa amunisi kelompok MIT.
Terbukti, di tangannya ditemukan 670 amunisi kaliber 5,56 mm, 3 butir amunisi kaliber 7,52 mm, dan 2 telepon seluler. Sementara dalam penyergapan di Desa Gayatri, Kecamatan Posos Pesisir, Kabupaten Poso, Sulteng, Minggu (24/5), tim Densus 88 mampu menembak mati dua terduga teroris setelah baku tembak dengan petugas. Kini DNA kedua jenazah masih diperiksa untuk dibandingkan dengan data ante mortem guna memastikan identitas mereka.
Dua tersangka lainnya berhasil ditangkap yakni AZ dan S. Dalam proses penangkapan itu, polisi juga menyita 2 senjata M16, 2 magasin, 20 butir peluru, 2 bom lontong siap pakai, dan 1 senjata tajam berupa parang. ”Untuk dua terduga teroris yang meninggal dalam baku tembak, kini sedang dilakukan pendalaman, terutama terkait identitas mereka. Kami sebenarnya sudah memiliki data terkait nama kedua terduga teroris itu.
Namun, pemeriksaan terhadap kedua jenazah masih diperlukan untuk mencocokkan identitas mereka dengan data DPO teroris,” ujar Agus. Pada hari yang sama, polisi juga menangkap tiga terduga teroris di Makassar, Sulawesi Selatan. Mereka adalah F, AI, dan H. Menurut Agus, selain pendukung perlengkapan senjata untuk jaringan Santoso, keterlibatan ketiganya juga sebagai kurir dan ikut pelatihan militer MIT.
Puncaknya, polisi kembali menangkap satu tersangka teroris lagi, yakni N, di Kota Luwuk, Kabupaten Banggai, Sulteng, kemarin sekitar pukul 07.00 Wita. ”Keterlibatan N dalam jaringan terorisme juga sebagai kurir logistik untuk kelompok jaringan teroris Santoso. Bahkan, N juga diduga ikut dalam pelatihan perang bersama terduga teroris lain yang ditangkap sebelumnya. Dalam pelatihan itu, yang menjadi instruktur adalah Santoso dan Papa Enal,” kata Agus Rianto di Bareskrim Polri, Jakarta Selatan, kemarin.
Di sisi lain, dalam baku tembak dengan terduga teroris di Poso, Minggu (24/5), dua anggota Gegana Brimob juga terluka akibat tembakan. Mereka adalah Bripka Wayan Pande dan Brigadir Wayan Sedana. Bripka Pande mengalami luka tembak di lengan dan paha, sedangkan Brigadir Sedana terluka pada pelipis wajahnya. ”Kedua korban pihak Polri tersebut siang ini (kemarin) dibawa ke Jakarta guna mendapatkan perawatan intensif,” kata Agus.
Yang jelas, tegas Agus, di samping instruksi presiden, kegiatan penuntasan jaringan terorisme itu juga sebagai bagian dari gerakan 100 hari kepemimpinan Kapolri Badrodin Haiti. Apalagi, kelompok teroris Santoso yang diperkirakan berjumlah puluhan orang itu pun seolah sulit dibasmi, termasuk pimpinan jaringan kelompok tersebut, Santoso. ”Jumlah anggota kelompok jaringan Santoso itu berkisar 50-60 orang.
Namun, lokasi persembunyiannya berada di hutan dan pegunungan yang sulit dijangkau. Kelompok teroris itu juga merupakan warga yang tinggal dan berdomisili di wilayah tersebut, sehingga mereka lebih menguasai medan,” ujar Agus. Pemerhati terorisme Harits Abu Ulya menilai, kekuatan kelompok jaringan teroris Santoso sebenarnya kecil dari segi jumlah personel ataupun persenjataan.
Apalagi, pascakematian salah satu pimpinan mereka, Daeng Koro, kelompok itu seharusnya semakin mudah dilumpuhkan. ”Kelebihan mereka memang hanya menguasai medan,” katanya. Kondisi berbalik dengan Polri yang memiliki kekuatan sangat besar baik dari jumlah personel maupun perlengkapan senjata yang melimpah. Sayangnya, yang menjadi kelemahan Polri dalam penanganan kelompok teroris jaringan Santoso, personel yang dikirim ke wilayah itu tidak menguasai medan seperti halnya kelompok Santoso.
”Anggota Polri yang dikirim ke Poso tidak memiliki banyak pengalaman perang gerilya di hutan. Padahal, kelompok itu seharusnya dihadapi pasukan dengan kemampuan taktik perang regu gerilya (TPRG),” katanya. Adapun yang memiliki kemampuan TPRG dengan medan hutan dan pegunungan adalah Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Alhasil, menurut Harits, kelompok teroris Santoso akan lebih efektif jika ditangani TNI. ”Kalau ingin cepat beres, Presiden bisa mengeluarkan peraturan presiden (perpres) agar TNI mengirimkan pasukan dengan kapasitas TPRG untuk menuntaskannya,” katanya. Namun, proses pelimpahan itu pun bukan tanpa hambatan, lantaran menyangkut martabat Polri sebagai institusi yang diberi mandat menyelesaikan kasus terorisme.
Polri mesti legawa dan tak segan untuk meminta bantuan TNI yang memiliki kemampuan gerilya di hutan. ”Cukup kirimkan satu kompi Kopassus untuk memburu mereka di hutan. Itu jauh lebih efektif dan efisien,” ungkapnya.
Khoirul muzakki
(bbg)