Pendidikan Vokasi Efektif Kurangi Pengangguran
A
A
A
DEPOK - Pendidikan vokasi dinilai akan efektif untuk mengurangi pengangguran. Namun sistem pendidikannya harus disesuaikan dulu dengan kebutuhan pasar kerja.
Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) M Hanif Dhakiri mengatakan, Pendidikan vokasi memiliki peran dan fungsi yang strategis dalam peningkatan kualitas tenaga kerja Indonesia. Pasalnya, pendidikan vokasi menjadi salah satu tulang punggung untuk mencetak tenaga kerja pada level teknisi.
”Namun agar mampu bersaing secara global, desain dan perencanaan program pendidikan vokasi haruslah disesuaikan dengan kebutuhan pasar kerja dengan orientasi menghasilkan lulusan berkualitas dan siap kerja,” katanya saat membuka Seminar Nasional Sertifikasi Profesi dan Kompetensi bertema ”Pendidikan Vokasi di Era Persaingan Tenaga Kerja” kemarin di Kampus UI.
Menurut Hanif, untukmenghasilkan lulusan pendidikan vokasi yang berkualitas dan berdaya saing global, lembaga-lembaga pendidikan vokasi harus mengintensifkan kerja sama dengan pemangku kepentingan (stakeholder). Kerjasamadengan stakeholder dibutuhkan agar desain dan perencanaan program pendidikan vokasi haruslah disesuaikan dengan kebutuhan pasar kerja sehingga lulusannya cepat bekerja dan mengurangi pengangguran.
Dia menambahkan, stakeholder yang harus diajak bekerjasama dengan lembaga-lembaga pendidikan vokasi adalah dunia usaha (industri), lembaga sertifikasi, dan institusi pemerintah lain yang terkait. ”Terkait dengan itu, Kemenaker telah membangun sistem pengembangan SDM berbasis kompetensi dengan tiga pilar sebagai penopang utamanya yang bisa menjadi acuan dasar dalam pendidikan vokasi di Indonesia,” terangnya.
Politikus PKB itu menjelaskan, pilar pertama untuk membangun SDM unggul berbasis kompetensi dan keterampilan kerja adalah Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI). SKKNI adalah rumusan kemampuan kerja yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan atau keahlian. SKKNI disusun oleh para pakar dan praktisi yang berpengalaman di bidangnya sesuai dengan kebutuhan pelaksanaan suatu pekerjaan.
SKKNI kemudian ditetapkan melalui proses konvensi nasional untuk memastikan bahwa SKKNI juga diterima secara nasional. Sementara pilar kedua, kata Hanif, adalah pelatihan berbasis kompetensi (PBK). PBK merupakan pelatihan kerja yang menitikberatkan pada penguasaan kemampuan kerja yang mencakup pengetahuan, keterampilan, dan sikap sesuai dengan standar yang ditetapkan di tempat kerja.
Program pelatihan berbasis kompetensi dikembangkan berdasarkan analisis terhadap kebutuhan pasar kerja dan mengacu pada pencapaian standar yang ada pada SKKNI. ”Dengan demikian lulusan PBK akan memiliki kompetensi standar sesuai dengan SKKNI yang menjadi acuan pelatihan,” ujarnya. Untuk pilar ketiga adalah sertifikasi kompetensi.
Hanif menjelaskan, sertifikasi kompetensi dilakukan secara sistematis dan obyektif melalui uji kompetensi sesuai standar kompetensi dan dilaksanakan oleh lembaga yang memiliki otoritas untuk hal tersebut. Sertifikasi kompetensi berfungsi agar kompetensi yang dimiliki oleh seseorang baik yang diperoleh melalui pelatihan berbasis kompetensi maupun pengalaman kerja dapat diakui secara nasional.
Ketua Program Vokasi UI Sigit Pranowo Hadiwardoyo menjelaskan, kegiatan seminar yang bertepatan dengan Dies Natalis Program Vokasi UI ini dimaksudkan untuk merespons kebijakan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang akan berlaku pada Desember 2015. ”Berdasarkan data yang di Rilis oleh Badan PBB ILO pada tahun 2012 lalu, menyebutkan bahwa angka pengangguran di kalangan muda untuk kawasan Asia Tenggara diprediksi akan meningkat hingga 14.2%,” tuturnya.
Dia menyebutkan, data lain yang perlu diwaspadai ialah hasil riset Manpower Group, organisasi yang berbasis di Amerika Serikat pada tahun 2013. Manpower menyatakan bahwa para lulusan universitas dari negara maju di Asia seperti Singapura, Korea Selatan, Cina, Hong Kong, India tidak dapat memasuki pasar kerja di negara masing-masing.
Hal ini disebabkan para lulusan ini tidak mampu memenuhi kebutuhan keterampilan yang dibutuhkan penyedia kerja di sana. Kondisi ini tentu saja menantang industri tenaga kerja tanah air yang harus bersiap untuk diserbu oleh tenaga kerja asing (TKA) dari negara tetangga di Asia.
”Mereka unggul dari kemampuan komunikasi yang unggul, lulusan dari universitas terbaik di dunia dan persepsi lokal bahwa pekerja asing lebih mumpuni, maka para TKA ini berpeluang merebut pasar kerja di Indonesia,” terangnya.
Neneng zubaidah
Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) M Hanif Dhakiri mengatakan, Pendidikan vokasi memiliki peran dan fungsi yang strategis dalam peningkatan kualitas tenaga kerja Indonesia. Pasalnya, pendidikan vokasi menjadi salah satu tulang punggung untuk mencetak tenaga kerja pada level teknisi.
”Namun agar mampu bersaing secara global, desain dan perencanaan program pendidikan vokasi haruslah disesuaikan dengan kebutuhan pasar kerja dengan orientasi menghasilkan lulusan berkualitas dan siap kerja,” katanya saat membuka Seminar Nasional Sertifikasi Profesi dan Kompetensi bertema ”Pendidikan Vokasi di Era Persaingan Tenaga Kerja” kemarin di Kampus UI.
Menurut Hanif, untukmenghasilkan lulusan pendidikan vokasi yang berkualitas dan berdaya saing global, lembaga-lembaga pendidikan vokasi harus mengintensifkan kerja sama dengan pemangku kepentingan (stakeholder). Kerjasamadengan stakeholder dibutuhkan agar desain dan perencanaan program pendidikan vokasi haruslah disesuaikan dengan kebutuhan pasar kerja sehingga lulusannya cepat bekerja dan mengurangi pengangguran.
Dia menambahkan, stakeholder yang harus diajak bekerjasama dengan lembaga-lembaga pendidikan vokasi adalah dunia usaha (industri), lembaga sertifikasi, dan institusi pemerintah lain yang terkait. ”Terkait dengan itu, Kemenaker telah membangun sistem pengembangan SDM berbasis kompetensi dengan tiga pilar sebagai penopang utamanya yang bisa menjadi acuan dasar dalam pendidikan vokasi di Indonesia,” terangnya.
Politikus PKB itu menjelaskan, pilar pertama untuk membangun SDM unggul berbasis kompetensi dan keterampilan kerja adalah Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI). SKKNI adalah rumusan kemampuan kerja yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan atau keahlian. SKKNI disusun oleh para pakar dan praktisi yang berpengalaman di bidangnya sesuai dengan kebutuhan pelaksanaan suatu pekerjaan.
SKKNI kemudian ditetapkan melalui proses konvensi nasional untuk memastikan bahwa SKKNI juga diterima secara nasional. Sementara pilar kedua, kata Hanif, adalah pelatihan berbasis kompetensi (PBK). PBK merupakan pelatihan kerja yang menitikberatkan pada penguasaan kemampuan kerja yang mencakup pengetahuan, keterampilan, dan sikap sesuai dengan standar yang ditetapkan di tempat kerja.
Program pelatihan berbasis kompetensi dikembangkan berdasarkan analisis terhadap kebutuhan pasar kerja dan mengacu pada pencapaian standar yang ada pada SKKNI. ”Dengan demikian lulusan PBK akan memiliki kompetensi standar sesuai dengan SKKNI yang menjadi acuan pelatihan,” ujarnya. Untuk pilar ketiga adalah sertifikasi kompetensi.
Hanif menjelaskan, sertifikasi kompetensi dilakukan secara sistematis dan obyektif melalui uji kompetensi sesuai standar kompetensi dan dilaksanakan oleh lembaga yang memiliki otoritas untuk hal tersebut. Sertifikasi kompetensi berfungsi agar kompetensi yang dimiliki oleh seseorang baik yang diperoleh melalui pelatihan berbasis kompetensi maupun pengalaman kerja dapat diakui secara nasional.
Ketua Program Vokasi UI Sigit Pranowo Hadiwardoyo menjelaskan, kegiatan seminar yang bertepatan dengan Dies Natalis Program Vokasi UI ini dimaksudkan untuk merespons kebijakan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang akan berlaku pada Desember 2015. ”Berdasarkan data yang di Rilis oleh Badan PBB ILO pada tahun 2012 lalu, menyebutkan bahwa angka pengangguran di kalangan muda untuk kawasan Asia Tenggara diprediksi akan meningkat hingga 14.2%,” tuturnya.
Dia menyebutkan, data lain yang perlu diwaspadai ialah hasil riset Manpower Group, organisasi yang berbasis di Amerika Serikat pada tahun 2013. Manpower menyatakan bahwa para lulusan universitas dari negara maju di Asia seperti Singapura, Korea Selatan, Cina, Hong Kong, India tidak dapat memasuki pasar kerja di negara masing-masing.
Hal ini disebabkan para lulusan ini tidak mampu memenuhi kebutuhan keterampilan yang dibutuhkan penyedia kerja di sana. Kondisi ini tentu saja menantang industri tenaga kerja tanah air yang harus bersiap untuk diserbu oleh tenaga kerja asing (TKA) dari negara tetangga di Asia.
”Mereka unggul dari kemampuan komunikasi yang unggul, lulusan dari universitas terbaik di dunia dan persepsi lokal bahwa pekerja asing lebih mumpuni, maka para TKA ini berpeluang merebut pasar kerja di Indonesia,” terangnya.
Neneng zubaidah
(ftr)