Tiga Jam Baca Sendiri Permohonan, Minta Minum Lima Kali

Selasa, 19 Mei 2015 - 11:07 WIB
Tiga Jam Baca Sendiri...
Tiga Jam Baca Sendiri Permohonan, Minta Minum Lima Kali
A A A
JAKARTA - Keputusan mantan Dirjen Pajak Hadi Poernomo untuk tidak menyertakan tim kuasa hukum dalam proses sidang praperadilan berimbas pada stami-nanya yang cukup terkuras selama proses persidangan.

Mantan Ketua BPK tersebut harus bolak-balik meminta izin kepada hakim untuk menskors sidang dan memberinya kesempatan minum di luar ruang sidang. ”Izin Yang Mulia, ingin minum sebentar,” ujar Hadi kepada hakim tunggal Haswandi di PN Jakarta Selatan kemarin.

Hadi memang tidak seperti pemohon praperadilan pada umumnya. Jika biasanya pemohon praperadilan menggunakan jasa pengacara hingga beberapa orang, dirinya justru enggan menggunakan haknya tersebut. Akibatnya, pria kelahiran 21 April 1947 itu tampak kelelahan dengan sesekali mengelap keringat yang jatuh dari dahinya. Suaranya pun perlahan parau ketika membaca gugatan setebal 60 halaman tersebut.

Butuh waktu tiga jam bagi Hadi untuk menyelesaikan seluruh permohonannya. Saat ditanya perihal pilihannya untuk tidak menggunakan jasa pengacara, dia mengaku itu keinginan keluarganya. ”Ini hasil masukan keluarga besar, makanya saya pilih tidak (gunakan pengacara),” ungkapnya.

Di dalam persidangan kemarin, Hadi mengutarakan banyak hal terkait kasus hukum yang menjeratnya. Mulai dari kewenangannya sebagai dirjen pajak waktu itu hingga ketidakabsahan KPK dalam menetapkan statusnya sebagai tersangka kasus penerimaan keberatan pajak BCA 2003.

Dalam permohonan Hadi mengatakan keberatan pajak merupakan ranah administratif dan bukan termasuk ranah pidana. Apabila terjadi kesalahan dalam pengambilan putusan oleh dirjen pajak, wajib pajak yang tidak puas dapat mengajukan banding melalui pengadilan pajak.

”Menurut hukum, keberatan pajak bukan merupakan objek penyidikan pajak karena keberatan pajak bukan merupakan perbuatan pidana, melainkan upaya hukum administratif dan belum final,” ungkapnya.

Menurut Hadi, apabila terjadi sengketa pajak, wajib pajak dapat melakukan banding ke pengadilan pajak. Itu sesuai Pasal 27 UU 9/1994 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). ”Dengan kata lain, kompetensi absolut ada di pengadilan pajak,” sebutnya.

Apabila terdapat keberatan atas putusan tersebut di mana terjadi kesalahan putusan, dapat diperbaiki, dibatalkan, atau diterbitkan keputusan baru sesuai Pasal 15, 16, 36 UU 9/1994. ”Karena itu, termohon tidak mempunyai kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap keputusan keberatan pajak yang dilakukan oleh dirjen pajak, kecuali terjadi suap,” tandasnya.

Hadi pun mengutip ucapan Ketua KPK nonaktif Abraham Samad yang pernah menyebut tidak pernah mengadili atau mempersoalkan secara hukum diskresi atau kebijakan tersebut. Bahkan oleh Hadi keterangan yang disampaikan pada 29 Agustus 2013 tersebut dijadikan bukti P1.

”Pada 12 September 2013 juga dia menyampaikan kebijakan itu sebenarnya tidak dapat dipidana, kecuali kalau dalam pengambilan kebijakan ditemukan adanya kickback ,” ucapnya. Lebih lanjut Hadi mempertanyakan dan mempersoalkan KPK yang membiarkan statusnya sebagai tersangka terkatung-katung selama 11 bulan tanpa penjelasan pemeriksaan.

Padahal, sesuai Pasal 50 UU 8/1981 tentang Hukum Acara Pidana, seorang tersangka berhak mendapat pemeriksaan oleh penyidik dan selanjutnya dapat diajukan kepada penuntut umum. ”Menurut Pak Taufiequrrachman Ruki (Plt Ketua KPK), di zamannya penahanan seseorang tidak lebih dari 20 hari. Begitu ditetapkan tersangka, 20 hari kemudian sudah sampai pengadilan,” paparnya.

Di permohonan lainnya, Hadi mempersoalkan posisi penyelidik dan penyidik KPK yang bertentangan dengan Pasal 39 ayat 3 UU 30/2002 tentang KPK yang menyebut harus berasal dari instansi kepolisian. Atau pada Pasal 6 ayat 1 KUHAP yang mengatakan penyidik selain polisi juga dapat berasal dari pejabat pegawai negeri sipil (PPNS) yang diberi wewenang khusus oleh UU.

Dalam eksepsi setebal 103 halaman yang dibacakan secara bergiliran oleh 5 anggota biro hukum KPK, pihak termohon membantah semua dalil-dalil pemohon. Mereka meminta hakim tidak mengabulkan dalil-dalil tersebut atau mengesampingkannya.

Seperti pada dalil yang menyebut KPK tidak berwenang mengusut kasus yang mempersoalkan keberatan pajak. Menurut seorang anggota biro hukum KPK, Yudi Kristiana, sesuai UU 31/1999, KPK memiliki kewenangan di sektor-sektor perbankan meskipun mereka memiliki UU tersendiri.

”Kalau diikuti seluruh sarjana hukum, masyarakat Indonesia berarti membiarkan terjadi korupsi seluruh sektor kehidupan. Kita tidak akan pernah bisa menjerat pelaku korupsi di sektor pengadaan, di sektor konstruksi, dan lainnya karena mereka memiliki UU sendiri, sanksi pidana sendiri,” kata Yudi. Dia juga mengatakan di dalam KUP tidak mengatur mengenai ada potensi penyalahgunaan kewenangan.

Dian Ramdhani
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.1439 seconds (0.1#10.140)