Kawasan Puncak yang Tak Sejuk Lagi
A
A
A
SIAPA tidak kenal Puncak di Kabupaten Bogor? Sejak dulu kawasan berhawa dingin ini selalu menjadi primadona tujuan rekreasi. Lahan terbangun pun semakin banyak di wilayah yang seharusnya menjadi resapan air ini.
Setiap akhir pekan atau libur panjang, Puncak selalu dipadati masyarakat yang ingin berlibur. Seiring semakin meningkatnya tingkat kunjungan, wisatawan domestik maupun mancanegara, kawasan yang memiliki pemandangan Gunung Gede dan Pangrango, serta hamparan bukit kebun teh itu kini kondisinya semakin mengkhawatirkan.
Tak sedikit warga setempat maupun pendatang yang mengeluhkan suhu udara di kawasan wisata bagian selatan, Kabupaten Bogor, itu sudah tak sejuk lagi seperti 5-10 tahun silam. Asep Rohman, 38, warga Desa Tugu Selatan, Cisarua, Kabupaten Bogor, menuturkan, dibandingkan dengan 10-20 tahun silam, suhu kawasan Puncak berbeda drastis.
”Sekitar tahun 2000 di kampung saya, pukul 12.00 WIB masih terasa dingin dan sering mengenakan baju hangat, baik sweater maupun jaket. Tapi sekarang di jam yang sama, saya berani bertelanjang dada,” ungkap pria anak dua yang sehari-harinya bekerja sebagai tenaga pengajar di salah satu sekolah dasar di ujung kawasan Puncak ini, pekan lalu.
Hal senada diungkapkan Darmawan, 45, warga Cibubur, Jakarta Timur, yang hampir sebulan sekali menghabiskan libur di kawasan Puncak. Menurutnya, untuk membedakan perubahan suhu udara Puncak tidak perlu mengenang 10 atau 20 tahun lalu.
”Pada 2010 saja saya menyempatkan diri bersama keluarga makan malam di kawasan Rindu Alam atau perbatasan antara Kabupaten Bogor dengan Cianjur( tak jauh dari Puncak Pass). Pada pukul 20.00 WIB, dinginnya cukup terasa hingga menusuk tulang meski sudah mengenakan jaket. Tapi sekarang, saya masih berani tidak memakai jaket atau baju hangat lainnya,” tandasnya.
Program Pemkab Bogor yang terus menetapkan kawasan Puncak sebagai tempat tujuan wisata utama warga Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek), karena dianggap sebagai penyumbang Pendapatan Asli Daerah (PAD) terbesar, tidak dibarengi dengan pengawasan dan pengendalian pembangunan.
Akibatnya, secara tidak langsung, selain berdampak terhadap lingkungan sekitarnya, juga memengaruhi suhu udara di kawasan yang sempat masuk dalam destinasi wisata nasional 2007. Berdasarkan informasi yang dihimpun dan pantauan secara kasatmata, kenaikan suhu kawasan Puncak disebabkan tidak terkendalinya pembangunan tempat penginapan (hotel dan vila), wisata, serta area komersial lainnya yang tersebar di tiga kecamatan yakni Ciawi, Megamendung, dan Cisarua.
Dinas Tata Bangunan dan Pemukiman (DTBP) Kabupaten Bogor mencatat, pada 2013 diperkirakan lebih dari 4.000 unit bangunan (tempat tinggal, vila, hotel dan bangunan komersial) berdiri di kawasan Puncak (Megamendung- Cisarua). Bahkan, jumlah tersebut diprediksi terus meningkat, baik yang berizin maupun tidak berizin.
Pemkab Bogor mendata, ada sekitar 700 bangunan vila ilegal di Puncak. Sekitar 300 bangunan telah dibongkar pada 2013 melalui program pendanaan bersama dengan Pemprov DKI Jakarta. Guru Besar Manajemen Lanskap Institut Pertanian Bogor (IPB) Hadi Susilo Arifin mengatakan, perubahan suhu udara kawasan Puncak disebabkan beberapa faktor.
Yang paling mudah diamati adalah alih fungsi lahan dari area resapan air dan konservasi maupun lindung menjadi kawasan terbangun. ”Selain berdampak terhadap lingkungan, secara tidak langsung memengaruhi suhu udara. Banyak bangunan yang legal maupun ilegal berdiri tidak sesuai dengan aturan koefisien dasar bangunan (KDB).
Bahkan banyak juga yang ilegal, berdiri di atas lahan konservasi maupun lindung yang memang seharusnya kawasan tersebut tidak boleh ada bangunan,” jelasnya. Belum lagi pengembang. Meski sudah mengantongi izin, mereka membangun tidak sesuai dengan peruntukan. Misalnya, izinnya pembangunan vila yapi yang dibangun adalah hotel.
”Dari awal mengurus perizinannya saja sudah melanggar, apalagi saat pembangunannya, dipastikan banyak yang tidak sesuai dengan siteplan. Hal ini memengaruhi daya dukung lingkungan sekitar bangunan. Yang harusnya dibangun satu lantainya, kenyataannya malah melebihi. Kemudian, KDB-nya tidak sesuai aturan,” tegasnya.
Menurutnya, kondisi ini disebabkan lemahnya pengawasan dan tidak adanya political will dari pemerintah pusat, pemerintah provinsi, khususnya Pemkab Bogor, dalam menegakkan regulasi yang sudah dibuat.
”Dari segi aturan, saya lihat, sudah cukup baik. Mulai dari Undang-Undang Tata Ruang serta turunannya seperti Peraturan Pemerintah (PP) hingga Peraturan Daerah (Perda) Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Tapi, implementasinya masih jauh dari harapan, sehingga penataan kawasan Puncak semakin tak terkendali,” paparnya.
Hadi pun mempertanyakan kemampuan penegak hukum dalam memahami regulasi yang telah dibuat. ”Jangankan penegak hukum, mereka yang membuatnya belum tentu mengerti, sehingga regulasi yang ada tidak dilaksanakan,” katanya.
Selain berkurangnya RTH atau daerah resapan air, yang juga menjadi masalah adalah minimnya perhatian terhadap ruang terbuka biru (RTB). ”Seperti daerah tangkapan dan penampung air, serta melintasnya air, baik situ (danau) maupun sungai. Padahal jika RTB diperhatikan, manfaatnya cukup banyak terhadap suhu udara,” ungkapnya.
Artinya, dalam mengelola kawasan Puncak bukan hanya memperhatikan tata ruang dan wilayah. Tata tanah, air, serta udara juga harus diperhatikan. ”Sehingga selain lingkungan, udara juga dapat dirasakan manfaatnya bagi kawasan di sekitar,” tandasnya.
Bupati Bogor Nurhayanti tidak menampik kawasan Puncak semakin semrawut dan memengaruhi terhadap suhu udara. Pihaknya tetap berkomitmen melakukan perbaikan dan penataan. ”Lima tahun ke depan, kita sengaja menjadikan Puncak sebagai pusat perdagangan jasa dan wisata wilayah Kabupaten Bogor,” terangnya.
Dia juga berjanji akan melanjutkan penegakan aturan dengan menertibkan vila-vila liar yang sudah disegel. ”Kita akan melakukan pada 2016, kemudian ditindaklanjuti dengan land clearing agar lahan yang bangunannya sudah dibongkar bisa optimal untuk kembali dilakukan penghijauan, biopori, dan bioretensi,” paparnya.
Terkait dampak kerusakan lingkungan di hulu Sungai Ciliwung sehingga mengakibatkan banjir, Pemkab Bogor bertanggung jawab dalam mengendalikan wilayah Puncak (Cisarua, Megamendung dan Ciawi). ”Tahun ini kita akan fokus membuat biopori dan bioretensi. Tujuannya, mengendalikan banjir di kawasan hilir,” ungkapnya.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Kabupaten Bogor Syarifah Sofiah mengatakan, menurut RTRW nasional, provinsi, dan kabupaten, Puncak merupakan kawasan strategis berfungsi lindung serta konservasi. ”Sebagian kawasan bisa untuk budi daya pertanian dan perkebunan dan atau permukiman skala padat, sedang, dan rendah tetapi berprinsip lestari alam,” katanya.
Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Kabupaten Bogor Agus Chandra Bayu berharap pemerintah tetap mempertahankan, mengembangkan, dan menata kawasan Puncak agar tetap menjadi primadona pariwisata. ”Karena bagaimanapun, kontribusi perhotelan dan restoran terhadap PAD Kabupaten Bogor cukup besar, itu tak bisa dimungkiri,” ungkapnya.
Haryudi
Setiap akhir pekan atau libur panjang, Puncak selalu dipadati masyarakat yang ingin berlibur. Seiring semakin meningkatnya tingkat kunjungan, wisatawan domestik maupun mancanegara, kawasan yang memiliki pemandangan Gunung Gede dan Pangrango, serta hamparan bukit kebun teh itu kini kondisinya semakin mengkhawatirkan.
Tak sedikit warga setempat maupun pendatang yang mengeluhkan suhu udara di kawasan wisata bagian selatan, Kabupaten Bogor, itu sudah tak sejuk lagi seperti 5-10 tahun silam. Asep Rohman, 38, warga Desa Tugu Selatan, Cisarua, Kabupaten Bogor, menuturkan, dibandingkan dengan 10-20 tahun silam, suhu kawasan Puncak berbeda drastis.
”Sekitar tahun 2000 di kampung saya, pukul 12.00 WIB masih terasa dingin dan sering mengenakan baju hangat, baik sweater maupun jaket. Tapi sekarang di jam yang sama, saya berani bertelanjang dada,” ungkap pria anak dua yang sehari-harinya bekerja sebagai tenaga pengajar di salah satu sekolah dasar di ujung kawasan Puncak ini, pekan lalu.
Hal senada diungkapkan Darmawan, 45, warga Cibubur, Jakarta Timur, yang hampir sebulan sekali menghabiskan libur di kawasan Puncak. Menurutnya, untuk membedakan perubahan suhu udara Puncak tidak perlu mengenang 10 atau 20 tahun lalu.
”Pada 2010 saja saya menyempatkan diri bersama keluarga makan malam di kawasan Rindu Alam atau perbatasan antara Kabupaten Bogor dengan Cianjur( tak jauh dari Puncak Pass). Pada pukul 20.00 WIB, dinginnya cukup terasa hingga menusuk tulang meski sudah mengenakan jaket. Tapi sekarang, saya masih berani tidak memakai jaket atau baju hangat lainnya,” tandasnya.
Program Pemkab Bogor yang terus menetapkan kawasan Puncak sebagai tempat tujuan wisata utama warga Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek), karena dianggap sebagai penyumbang Pendapatan Asli Daerah (PAD) terbesar, tidak dibarengi dengan pengawasan dan pengendalian pembangunan.
Akibatnya, secara tidak langsung, selain berdampak terhadap lingkungan sekitarnya, juga memengaruhi suhu udara di kawasan yang sempat masuk dalam destinasi wisata nasional 2007. Berdasarkan informasi yang dihimpun dan pantauan secara kasatmata, kenaikan suhu kawasan Puncak disebabkan tidak terkendalinya pembangunan tempat penginapan (hotel dan vila), wisata, serta area komersial lainnya yang tersebar di tiga kecamatan yakni Ciawi, Megamendung, dan Cisarua.
Dinas Tata Bangunan dan Pemukiman (DTBP) Kabupaten Bogor mencatat, pada 2013 diperkirakan lebih dari 4.000 unit bangunan (tempat tinggal, vila, hotel dan bangunan komersial) berdiri di kawasan Puncak (Megamendung- Cisarua). Bahkan, jumlah tersebut diprediksi terus meningkat, baik yang berizin maupun tidak berizin.
Pemkab Bogor mendata, ada sekitar 700 bangunan vila ilegal di Puncak. Sekitar 300 bangunan telah dibongkar pada 2013 melalui program pendanaan bersama dengan Pemprov DKI Jakarta. Guru Besar Manajemen Lanskap Institut Pertanian Bogor (IPB) Hadi Susilo Arifin mengatakan, perubahan suhu udara kawasan Puncak disebabkan beberapa faktor.
Yang paling mudah diamati adalah alih fungsi lahan dari area resapan air dan konservasi maupun lindung menjadi kawasan terbangun. ”Selain berdampak terhadap lingkungan, secara tidak langsung memengaruhi suhu udara. Banyak bangunan yang legal maupun ilegal berdiri tidak sesuai dengan aturan koefisien dasar bangunan (KDB).
Bahkan banyak juga yang ilegal, berdiri di atas lahan konservasi maupun lindung yang memang seharusnya kawasan tersebut tidak boleh ada bangunan,” jelasnya. Belum lagi pengembang. Meski sudah mengantongi izin, mereka membangun tidak sesuai dengan peruntukan. Misalnya, izinnya pembangunan vila yapi yang dibangun adalah hotel.
”Dari awal mengurus perizinannya saja sudah melanggar, apalagi saat pembangunannya, dipastikan banyak yang tidak sesuai dengan siteplan. Hal ini memengaruhi daya dukung lingkungan sekitar bangunan. Yang harusnya dibangun satu lantainya, kenyataannya malah melebihi. Kemudian, KDB-nya tidak sesuai aturan,” tegasnya.
Menurutnya, kondisi ini disebabkan lemahnya pengawasan dan tidak adanya political will dari pemerintah pusat, pemerintah provinsi, khususnya Pemkab Bogor, dalam menegakkan regulasi yang sudah dibuat.
”Dari segi aturan, saya lihat, sudah cukup baik. Mulai dari Undang-Undang Tata Ruang serta turunannya seperti Peraturan Pemerintah (PP) hingga Peraturan Daerah (Perda) Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Tapi, implementasinya masih jauh dari harapan, sehingga penataan kawasan Puncak semakin tak terkendali,” paparnya.
Hadi pun mempertanyakan kemampuan penegak hukum dalam memahami regulasi yang telah dibuat. ”Jangankan penegak hukum, mereka yang membuatnya belum tentu mengerti, sehingga regulasi yang ada tidak dilaksanakan,” katanya.
Selain berkurangnya RTH atau daerah resapan air, yang juga menjadi masalah adalah minimnya perhatian terhadap ruang terbuka biru (RTB). ”Seperti daerah tangkapan dan penampung air, serta melintasnya air, baik situ (danau) maupun sungai. Padahal jika RTB diperhatikan, manfaatnya cukup banyak terhadap suhu udara,” ungkapnya.
Artinya, dalam mengelola kawasan Puncak bukan hanya memperhatikan tata ruang dan wilayah. Tata tanah, air, serta udara juga harus diperhatikan. ”Sehingga selain lingkungan, udara juga dapat dirasakan manfaatnya bagi kawasan di sekitar,” tandasnya.
Bupati Bogor Nurhayanti tidak menampik kawasan Puncak semakin semrawut dan memengaruhi terhadap suhu udara. Pihaknya tetap berkomitmen melakukan perbaikan dan penataan. ”Lima tahun ke depan, kita sengaja menjadikan Puncak sebagai pusat perdagangan jasa dan wisata wilayah Kabupaten Bogor,” terangnya.
Dia juga berjanji akan melanjutkan penegakan aturan dengan menertibkan vila-vila liar yang sudah disegel. ”Kita akan melakukan pada 2016, kemudian ditindaklanjuti dengan land clearing agar lahan yang bangunannya sudah dibongkar bisa optimal untuk kembali dilakukan penghijauan, biopori, dan bioretensi,” paparnya.
Terkait dampak kerusakan lingkungan di hulu Sungai Ciliwung sehingga mengakibatkan banjir, Pemkab Bogor bertanggung jawab dalam mengendalikan wilayah Puncak (Cisarua, Megamendung dan Ciawi). ”Tahun ini kita akan fokus membuat biopori dan bioretensi. Tujuannya, mengendalikan banjir di kawasan hilir,” ungkapnya.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Kabupaten Bogor Syarifah Sofiah mengatakan, menurut RTRW nasional, provinsi, dan kabupaten, Puncak merupakan kawasan strategis berfungsi lindung serta konservasi. ”Sebagian kawasan bisa untuk budi daya pertanian dan perkebunan dan atau permukiman skala padat, sedang, dan rendah tetapi berprinsip lestari alam,” katanya.
Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Kabupaten Bogor Agus Chandra Bayu berharap pemerintah tetap mempertahankan, mengembangkan, dan menata kawasan Puncak agar tetap menjadi primadona pariwisata. ”Karena bagaimanapun, kontribusi perhotelan dan restoran terhadap PAD Kabupaten Bogor cukup besar, itu tak bisa dimungkiri,” ungkapnya.
Haryudi
(ftr)