Belum Kejar Revenue, Fokus Prioritaskan Value

Minggu, 17 Mei 2015 - 11:21 WIB
Belum Kejar Revenue, Fokus Prioritaskan Value
Belum Kejar Revenue, Fokus Prioritaskan Value
A A A
William Tanuwijaya dan temannya, Leontinus Alpha Edison yang sama-sama berlatarbelakang web developer, membangun Tokopedia, suatu marketplace atau pusat perbelanjaan virtual.

Sejak didirikan pada 2009, tercatat sudah ratusan ribu toko online sebagian adalah usaha kecil dan menengah (UKM)- yang aktif memiliki transaksi penjualan setiap bulan dengan lebih dari 5 juta produk terkirim kepada para pelanggan dan konsumen. Peningkatan volume transaksinya mencapai 15-30% per bulan.

Para merchant ini banyak yang berhasil membuka ribuan lapangan pekerjaan baru di Indonesia lantaran bisnis mereka berkembang. Bahkan, sudah ada yang mencapai omzet miliaran rupiah per bulan. Uniknya, para merchant ini tidak dikenakan biaya untuk menjual produk di platformTokopedia. Sebagai marketplace pertama di Indonesia, Tokopedia memfasilitasi pengalaman berjualan dan berbelanja online yang lebih aman dan nyaman.

Pembayaran dilakukan keTokopedia terlebih dahulu dan diserahkan ke penjual jika barang sudah diterima oleh pembeli. Jika pembeli tidak mendapatkan barang, uang dikembalikan. Bagi penjual, semua hal manual termasuk akumulasi ongkos kirim, tracking barang, dukunganlogistik, danpembayaran sudah otomatis diatur oleh sistem. Perusahaan yang mengkaryakan 150 anak muda ini belum fokus mengejar revenue tapi masih meningkatkan value.

Operasionalnya mengandalkan suntikan dana dari investor seperti East Ventures, Beenos, CyberAgent Ventures, Sequoia Capital, dan SoftBank. Nilai investasi yang ditanam Sequoia Capital dan SoftBank ke Tokopedia pada Oktober 2014 tercatat sebagai yang terbesar dalam sejarah perusahaan internet di Asia Tenggara yakni mencapai USD100 juta atau sekitar Rp1,2 triliun.

Sequoia Capitalmerupakan investor awal di Apple, Cisco, Oracle, Yahoo!, Google, dan beberapa perusahaan TI lainnya sedangkan SoftBank adalah investor terbesar di Alibaba, market place nomor satu di China. Menurut William, pendirian Tokopedia berawal dari banyaknya pemilik UKM yang datang kepada dirinya untuk dibuatkan situs e-commerce karena ingin ekspansi bisnis ke online.

Mereka telah memasarkan produknya ke berbagai situs internet namun kendala pun muncul ketika pesanan meningkat menjadi ratusan order per hari. Mereka membutuhkan sebuah sistem otomatis yang terhubung ke berbagai perusahaan logistik. Sistem otomatis ini harus memungkinkan untuk mengkalkulasi ongkos kirim, tracking pengiriman di situs, sekaligus terhubung ke berbagai jenis metode pembayaran.

Berkaca dari sana, dia menyimpulkan ada kekhawatiran dari sisi pembeli dan penjual. Pembeli khawatir terjadi penipuan sementara dari penjual merasa tidak efisien. Konsep market place adalah solusinya. “Masalah logistik dan pembayaran terpecahkan karena pengelola situs marketplace sudah bekerjasama dengan perusahaan logistik dan perbankan,” terang William.

Sementara itu, Arief Widhiyasa berjaya dengan perusahaan game developeryang dibangun bersama 17 temannya sesama penggila gamepada 2009. Saat itu belum banyak pihak yang melirik industri pembuatan game. Kini, Agate Studio telah menjelma menjadi salah satu game developer terbesar di Tanah Air. Agate telah memproduksi ratusan judul game termasuk Footbal Saga dan Valthirian Arc.Kini, tarif pembuatan satu game dibanderol hingga ratusan juta rupiah.

Itu termasuk game pesanan untuk iklan atau promo. Arief sebagai chief executive officer (CEO) Agate Studio mengungkapkan, Agate didirikan bersama teman-teman sesama mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB). Mereka patungan dan terkumpul uang ratusan juta rupiah. Visi Agate sederhana yaitu ingin berkontribusi dalam mewujudkan dunia yang lebih bahagia melalui game.

”Kami berbisnis di jalan kebahagiaan,” tutur Arief. Dua tahun pertama, Agate hanya membuat gameuntuk pasar internasional. Mereka menawarkannya ke berbagai game portal melalui email. Dalam rentang waktu tiga bulan Agate mampu memproduksi hingga enam game. Dari enam game tersebut, yang terjual hanya satu seharga USD800. Tiga tahun belakangan mereka gencar masuk ke pasar lokal.

Dalam pandangan Arief, masih banyak developer yang melihat pasar Indonesia belum menguntungkan. Itu sebabnya game developer Indonesia kurang populer. Harus ada yang bisa membangun pasar lokal. Secara bisnis, pasar lokal memiliki potensi besar tapi harus ada yang memulai. Di lingkup lokal, mereka banyak mendapat order membuat game untuk kebutuhan iklan atau promo artis.

Agate juga menjalin kerja sama dengan produsen ponsel dalam membuat aplikasi mobile game. Di lingkup internasional, mereka bekerjasama dengan international game sponsorship untuk memperluas pasar bagi produk-produknya. Klien utama Agate dari Eropa yakni Inggris dan Belanda, Amerika Serikat, dan Singapura. ”Namun ini lebih ke sponsornya. Kalau gamekami belum masuk ke negaranya.

Distribusi game Agate dilakukan secara online,” ungkap Arief. Pada 2011, mereka mendirikan Agate Academy yaitu divisi khusus yang fokus menyebarkanilmutentang gamekepada merekayang memiliki passion yang tinggi terhadap game. Agate lebih menekankan pada aspek skill. Beberapa lulusan Agate Academy sudah mendirikan game developer sendiri dan ada pula yang langsung bergabung dengan Agate Studio.

Dina angelina/robi ardianto/ ilham safutra/hermansah
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.9684 seconds (0.1#10.140)