Budaya Batak dalam Fotografi

Minggu, 17 Mei 2015 - 11:20 WIB
Budaya Batak dalam Fotografi
Budaya Batak dalam Fotografi
A A A
Minimnya pengenalan kembali terhadap sejarah, budaya, dan peradaban Batak menyebabkan suku Batak tak lagi dapat melahirkan pemimpin-pemimpin hebat.

Karya fotografi-yang merekam eksotisme alam dan keindahan budaya-setidaknya mendorong kaum muda untuk memahami kembali sejarah, budaya, dan peradabannya. Itulah niatan besar pewarta Foto KORAN SINDO Hasiholan Siahaan ketika pameran foto dengan tema Eksotisme Tano Toba, di Toba Dream, Manggarai, Jakarta, dari 14-18 Mei 2015).

Hasiholan sengaja mengambil tema Batak untuk memperkenalkan kepada generasi penerus bahwa budaya Batak memiliki kearifan budaya lokal dan kehidupan sosial yang beragam. Hasiholan mengaku lega dapat menggelar pameran foto sebagai wujud dedikasinya terhadap pelestarian budaya Batak.

Dalam proses pengumpulan gambar selama kurun sembilan tahun, Hasiholan mengaku banyak mendapatkan rintangan. Namun, untuk suatu tujuan yang lebih besar, tantangan itu bukanlah apa-apa. ”Tujuan pameran ini adalah untuk berbagi pengetahuan kepada generasi muda perihal peradaban dan budaya Batak. Hal itu dimaksudkanagarmereka(generasi muda), tidak larut dalam arus modernisasi dan melupakan jati diri sebagai orang Timur yang menghargai leluhur,” ujarnya.

Perihal eksotisme Danau Toba, budayawan Batak Saut Poltak Tambunan menilai, banyak orang salah memahami makna sesungguhnya dari sebuah eksotisme Danau Toba. Saat ini masyarakat banyak memandang bahwa Danau Toba merupakan sebuah kecantikan alam secara fisik sehingga lupa bahwa sesungguhnya dari Danau Toba, terlahir sebuah peradaban yang luar biasa hebat.

Eksotisme baginya hanyalah daya pikat. Beda halnya dengan kearifan lokal yang mampu menghadirkan rasa nyaman dan memiliki satu sama lainnya. Saut mencontohkannya dengan Bali. Menurutnya, wisata Bali dapat mendunia bukan karena menjual eksotisme alamnya semata. Namun di samping itu, Bali memerhatikan secara serius bagaimana kearifan lokal dijunjung tinggi.

Kearifan lokal di Bali dapat menumbuhkembangkan kesadaran masyarakat dalam memiliki dan menjunjung persaudaraan satu dengan lainnya, sehingga seluruh kebudayaan Bali dapat hidup. Ketika peraturan daerah berpihak kepada kearifan lokal, para perajin, budayawan, dan seniman di Bali pun turut hidup bagai mata rantai yang saling menopang dan mengisi.

”Jika hanya menjual kecantikan pantainya saja, saya rasa di Toba banyak juga pantai yang lebih cantik dari pantai di Bali. Namun, perlu digarisbawahi, Bali dapat mendunia karena menjunjung tinggi kearifan lokalnya,” ujarnya. Saut menilai, saat ini sudah terjadi pergeseran budaya Batak, bahkan di tanah Toba sendiri. Mulai dari tidak banyak lagi pemuda Batak yang berbahasa Batak, hingga minimnya namanama asli Batak bagi putraputri Batak.

Penggunaan nama asing seperti Samuel, David, hingga Eliana menjadi tren tersendiri di Batak sehingga melupakan nama-nama asli Batak semisal Togama, Rinto, dan Namalo. Pergeseran tersebut salah satunya disebabkan oleh rasa ketergesa-gesaan masyarakat untuk meninggalkan budaya sendiri dan cenderung mengadopsi budaya asing yang dianggap lebih hebat.

”Saat ini kita cenderung terburu- buru meninggalkan budaya sendiri sehingga kita terlalu akronis,” ujarnya. Minimnya pengenalan kembali terhadap sejarah dan peradaban Batak dinilai Budayawan Batak Togama Naibaho sebagai suatu hal yang membuat suku Batak tak lagi dapat melahirkan pemimpinpemimpin hebat semacam Singsingamaraja dan T.B Simatupang.

Padahal menurutnya, jika masyarakat Batak dapat memahami secara mendalam perihal kehebatan leluhur, maka hal tersebut secara otomatis akan memotivasi generasi penerus untuk dapat meniru jejak para leluhur. Togama menjelaskan bagaimana para leluhur Batak membentuk dan menerapkan sistem yang dapat memajukan kehidupan suku Batak. Misalnya, dalam sistem huta atau kampung kecil, terdapat satu raja yang memimpin.

Jadi, dalam setiap huta umumnya dipimpin oleh satu orang raja sehingga di dalam tanah Batak terdapat raja-raja. Hal ini berbeda dengan persepsi kerajaan di Jawa dan kerajaan pada umumnya. Dari sistem tersebut, seorang raja dari huta tidak bisa tunduk pada raja lainnya. Namun, jika terdapat suatu kepentingan untuk kemaslahatan bersama, maka raja-raja dari huta akan bersatu seperti yang terjadi pada kisah Singsingamaraja saat melalukan perlawanan terhadap Belanda.

Jadi, standar raja yang mampu memimpin raja-raja seperti Singsingamaraja sangat tinggi. Namun, makin hari pergeseran budaya terjadi. Tidak banyak masyarakat Batak yang menerapkan sistem yang diwariskan oleh leluhur. Faktor geografis menjadi salah satu penyebab sistem huta tidak berjalan maksimal.

Sehingga dalam pemilihan kepala daerah di Batak, terpilihlah gubernur yang berasal dari wilayah non-Batak. ”Sistem huta sudah pudar. Masyarakat Bataktidaklagi melirik pada peninggalan leluhur sehingga banyak terjadi pergeseran- pergeseran budaya,” ujarnya.

Imas damayanti
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.4095 seconds (0.1#10.140)