Mengurai Demarkasi Timur-Barat

Minggu, 17 Mei 2015 - 11:19 WIB
Mengurai Demarkasi Timur-Barat
Mengurai Demarkasi Timur-Barat
A A A
Persepsi selalu menempatkan Barat sebagai lawan dari Timur. Trauma kolonialisasi menyebabkan Timur selalu mencurigai Barat berupaya menghancurkan Timur (dunia Islam). Sebaliknya, Barat memiliki persepsi negatif terhadap Timur dari mulai merebaknya Islamofobia di Barat yang dimulai saat runtuhnya gedung kembar WTC, Amerika.

Namun, pemahaman Barat dan Timur kini tidak bisa dibatasi oleh letak geografis semata sebab banyak orang-orang Timur yang bermukim di Barat, begitu sebaliknya. Kekaburan antara Barat dan Timur tersebut terangkum dalam sebuah buku, Antara Barat dan Timur: Batasan, Dominasi, Relasi, dan Globalisasi, karya Al Makin.

Hal tersebut disampaikan Al Makin dalam diskusi peluncuran buku Antara Barat dan Timur yang diterbitkan oleh penerbit buku Serambi, Senin (11/5), di Ruang Teater Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Al Makin menjabarkan beberapa kesalahpahaman antara Barat dan Timur yang menimbulkan rasa saling curiga. Ilmu ketimuran atau yang populer disebut Orientalisme sering disalahartikan oleh orang Timur.

Kebanyakan Timur menganggap negatif orientalis sebagai bagian tertentu dari Barat agar menghimpun kekuatan baru untuk menguasai Timur. Kesalahpahaman tersebut juga banyak dilandasi oleh latar belakang Barat dan Timur dari sisi historis, ekonomi, sosial, dan budaya ”Banyak terjadi kesalahpahaman antara Barat dan Timur yang dilatarbelakangi nilai historis, ekonomi, sosial, dan budaya,” ujarnya.

Dalam buku Antara Barat dan Timur dijabarkan secara gamblang beberapa sebab yang memicu ketegangan Barat dan Timur. Selain itu, disebutkan pula pemikiran beberapa tokoh baik dari Barat maupun Timur yang memiliki pandangan negatif terhadap satu sama lain. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, muncul tokoh-tokoh baru baik dari Barat maupun Timur untuk saling membuka diri.

Pembaruan dalam memandang Barat dan Timur itu lahir dari semangat Barat yang terus mengkaji dunia Timur, mulai dari mengkaji Alquran hingga Hadis. Di Timur, sebaliknya, semangat oksidentalisme (ilmu Barat) terus digalakkan para mahasiswa dan pelajar asal Timur yang menimba ilmu di Barat. Al Makin menggarisbawahi bahwa kesuksesan Barat dalam menggapai peradaban majunya adalah rasa ingin tahu terhadap sesuatu.

Itu terbuka setelah revolusi Prancis (Renaissance ) meletus. Orang Barat terus mencari ihwal baru untuk diketahui, termasuk rasa ingin tahu terhadap tempat baru, suku baru, hingga ilmu pengetahuan baru. Menurutnya, ada sisi positif dan negatif yang ditanamkan Barat seusai pecahnya Renaissance yakni tidak terkungkungnya ilmu pengetahuan.

Namun, keterbukaan ini justru melahirkan sebuah gerakan kolonial. Gerakan kolonialisasi tersebutlah yang membuat trauma mendalam pada Timur. Era kolonialisasi pun berlalu, namun trauma di Timur masih membekas. Batasan antara Barat dan Timur pun kini sukar dipahami. Jika batasan geografis semata, sangat tidak masuk akal jika Australia misalnya dikategorikan sebagai Barat karena secara geografis Australia terletak di Asia, tepatnya Asia Tenggara.

Begitu pun batasan agama, jika agama di Barat katakanlah hanya Kristen, itu telah kabur karena jumlah penduduk muslim di Eropa dan Amerika cukup signifikan. Dalam menentukan batasan antara Barat dan Timur pada era sekarang, menurut Al Makin, sukar dipahami. ”Mana yang Barat dan Timur, saat ini tak bisa hanya dipahami dari sudut pandang geografis dan religi,” sebutnya. Hal senada juga disampaikan Dosen FISIP UIN Syarif Hidayatullah Nur Khalid.

Menurut Khalid, batasan antara Barat dan Timur yang sulit dipahami tidak semestinya ditanggapi dengan rasa curiga. Misalnya, paradigma konspiratif di Timur dengan menaruh paham curiga terhadap Barat akan mengungkung perkembangan dan peradaban Timur. Tak selamanya orientalis hanya mengkritisi Timur dan semata-mata mencari kelemahan Timur, namun karakter mengkritisi suatu hal memang sudah terbangun di Barat sejak meletusnya Renaissance di Prancis.

”Kita tidak akan berkembang jika hanya terkungkung pada paradigma konspiratif,” ujarnya. Dalam memahami peradaban maju Barat, menurutnya, Timur harus melakukan pendekatan keilmuan dengan metode yang telah diterapkan Barat. Namun, meski bermetodekan Barat, tidak serta-merta Timur meninggalkan ideologinya sebagai orang Timur. Pembelajaran dengan metode Barat kini telah banyak diadopsi oleh Timur meski jumlahnya belum masif.

Secara keseluruhan, buku Antara Barat dan Timur menjelaskan duduk perkara hubungan antara Barat dan Timur, bagaimana Barat mempelajari dan menulis tentang Timur. Kenyataannya, sejak era klasik penjajahan hingga globalisasi, Barat terus membuka studi tentang Islam dan mengembangkannya dalam segala bidang antara lain sejarah, sosiologi, antropologi, filologi, filsafat, agama, budaya, dan politik.

Semua itu dikupas dan dipetakkan bagaimana Barat menjadikan Timur sebagai objek kajian dan bagaimana Timur menanggapinya dan menjadikan Barat sebagai objek kajian pula. Persoalan Barat dan Timur sejatinya adalah persoalan persepsi yang coba diterangkan Al Makin dalam bukunya.

Buku tersebut pun akan mengajak pembaca untuk terbang menyambangi sejarah, filsafat, sastra, agama, hingga budaya Barat dan Timur. Uniknya, selain pembahasan tentang unsurunsur keilmuan tadi, Al Makin juga memperkaya karyanya dengan cerita individu perihal dirinya yang orang Timur dan pengalamannya di bidang akademik Barat.

Imas damayanti
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8306 seconds (0.1#10.140)