Hukum Syariat Aceh Mulai Digelar Pasca MoU Helsinki

Selasa, 23 Desember 2014 - 06:31 WIB
Hukum Syariat Aceh Mulai Digelar Pasca MoU Helsinki
Hukum Syariat Aceh Mulai Digelar Pasca MoU Helsinki
A A A
JAKARTA - Ketika hukum syariat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) tidak dapat dilaksanakan oleh orang perorangan secara pribadi, maka negara akan turun tangan melaksanakannya.

Hal tersebut seperti dikutip Sindonews dari situs Mahkamah Syariah Aceh. Yang ditulis oleh Wakil Ketua Mahkamah Syar’iyah Provinsi NAD, Armia Ibrahim.

Menurut Pasal 3 Ayat (2) Undang-undang (UU) Nomor 44 Tahun 1999, ada empat bidang keistimewaan yang diberikan kepada NAD, yaitu:

1. Penyelenggaraan kehidupan beragama

2. Penyelenggaraan kehidupan adat

3. Penyelenggaraan pendidikan, dan

4. Peran ulama dalam penetapan kebijakan daerah


Selanjutnya lahir pula UU Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi NAD.

"Undang-undang ini tidak hanya mengubah sebutan untuk Aceh dari Provinsi Daerah Istimewa Aceh menjadi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, tetapi juga mengatur berbagai hal yang khusus bagi Aceh," kata Armia, Selasa (23/12/2014).

Armia menjelaskan, mulai dari bidang pemerintahan, keuangan daerah sampai dengan pembentukan suatu peradilan yang hanya ada di NAD, yakni Peradilan Syariat Islam yang dilaksanakan oleh Mahkamah Syariah.

Pada tanggal 18 Agustus 2006 telah diundangkan pula UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, dimana UU ini sebagai pengganti dari UU Nomor 18 Tahun 2001 yang telah dicabut kembali.

UU Nomor 11 Tahun 2006 ini lahir sebagai implementasi dari Nota Kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Helsinki Finlandia atau lebih dikenal dengan sebutan ”Memorandum of Understanding (MOU) Helsinki”.

Di samping mengatur segala macam persoalan pemerintahan Aceh, UU ini juga mengatur tentang Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) sebagai lembaga yang independen dan Mahkamah Syar’iah sebagai bagian dari lingkungan Peradilan Agama.

Sebelumnya, para duta besar negara Uni Eropa (UE) mengkritik hukum syariat yang saat ini berlaku di Aceh. Menurut mereka, penerapan hukum itu masih memiliki banyak kekurangan.

Salah satunya adalah subjek hukum tersebut. Menurut Duta Besar Jerman untuk Indonesia, Georg Witschel, subjek hukum syariat di Aceh masih belum jelas.

“Kami (Duta Besar Negara anggota UE) mempertanyakan apakah hukum tersebut diterapkan hanya kepada warga Muslim di Aceh, atau kepada seluruh warga Aceh, termasuk di dalamnya warga non-Muslim,” ucap Witschel di Kantor Kedutaan Besar Jerman, di Jakarta, Senin 22 Desember 2014.
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5282 seconds (0.1#10.140)