Janner Purba Ditangkap KPK, Ketua MA Harus Malu
A
A
A
JAKARTA - Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai, harusnya Ketua Mahkamah Agung (MA) Muhammad Hatta Ali malu dengan penangkapan terhadap Ketua Pengadilan Negeri Kepahiang, Provinsi Bengkulu Janner Purba dan aparat peradilan sebelum Janner.
Peneliti Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan ICW Aradila Caesar menyatakan, dengan penangkapan terhadap hakim Janner Purba sekali lagi jadi pertanda bahwa masih ada mafia peradilan di MA.
Selain itu, menurut Aradila, pada kenyataannya reformasi peradilan atau MA tidak membawa dampak yang signifikan bagi upaya bersih-upaya lembaga peradilan.
"Ketua MA harusnya malu melihat lembaganya beberapa bulan terakhir tercoreng akibat kasus korupsi," kata Aradila saat berbincang dengan SINDO, Senin 23 Mei 2016 malam.
Karenanya, lanjut Aradila, penangkapan terhadap hakim Janner dan sejumlah panitera, pegawai, dan hakim-hakim pengadilan dan/atau MA yang menunjukan adanya mafia peradilan, seharusnya sudah jadi masalah serius yang butuh perhatian penuh Ketua MA.
"Sikap tegas dalam menyelesaikan persoalan mafia peradilan sangat ditunggu. Untuk penyelesaian mafia peradilan KPK harus gandeng MA. Ajak KY juga terlibat," tandasnya.
Sebelum penangkapan terhadap Ketua PN Kepahiang Janner Purba, KPK lebih dahulu melakukan OTT terkait pihak-pihak yang bertugas lembaga peradilan. Mereka di antaranya, Panitera/Sekretaris (Pansek) Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) Edy Nasution selepas menerima suap dari karyawan PT Paramount Enterprise International Doddy Aryanto Supeno. Edy dan Doddy ditangkap seusai serah terima Rp50 juta pada Rabu 20 April di Hotel Accacia, Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat.
KPK pun sudah menangkap tangan Kasubdit Kasasi dan Peninjauan Kembali Kamar Perdata MA (nonaktif) Andri Tristianto Sutrisna yang menerima suap Rp400 juta dari Direktur PT Citra Gading Asritama Ichsan Suaidi (kini terdakwa di Pengadilan Tipikor, Jakarta) dan advokat Awang Lazuardi Embat (kuasa hukum Ichsan, kini terdakwa) pada Jumat, 12 Februari 2016 malam.
Suap yang diterima Andri diduga dimaksudkan untuk penundaan salinan putusan kasasi atas nama terdakwa Ichsan terkait kasus korupsi pembangunan dermaga Labuhan Haji di Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB) tahun anggaran 2007-2008 senilai Rp82 miliar.
Bila ditarik ke belakang, masih ada penangkapan terhadap Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan Tripeni Irianto Putro, hakim PTUN Medan Dermawan Ginting dan Amir Fauzi serta Panitera yang juga Sekretaris PTUN Medan Syamsir Yusfan bersama pengacara M Yagari Bhastara Guntur alias Gary pada Kamis, 9 Juli 2015.
Majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta sudah memvonis para pihak yang terlibat. Tripeni Irianto Putro menerima sebesar SGD5.000 dan USD15.000 (divonis 2 tahun penjara), dua hakim PTUN Medan Dermawan Ginting dan Amir Fauzi masing-masing menerima USD5.000 (masing-masing divonis 2 tahun), dan Panitera yang juga Sekretaris PTUN Medan Syamsir Yusfan menerima USD2.000 (divonis 2 tahun).
Pemberi suap yakni Gubernur Sumatera Utara (Sumut) nonaktif Gatot Pujo Nugroho (divonis 3 tahun), istri Gatot, Evy Susanti (divonis 2 tahun 6 bulan), pengacara kondang Otto Cornelis Kaligis(divonis 5,5 tahun), dan Gary yang merupakan mantan anak buah Kaligis (divonis 2 tahun).
Jauh sebelum mereka, KPK juga sudah menangkap dan/atau berhasil menjebloskan ke balik jeruji besi pegawai dan beberapa hakim lainnya. Di antaranya Djodi Supratman selaku Staf Balai Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) MA yang tertangkap menerima Rp50 juta dari Mario Cornelio Bernardo selaku staf/pengacara di kantor pengacara Hotma Sitompul, pada 23 Juli 2013.
Total suap diterima Djodi sebesar Rp150 juta untuk pengurusan kasasi pidana penipuan terdakwa pengusaha Hutomo Wijaya Ongowarsito (HWO) di MA. Berdasarkan fakta persidangan, suap diduga akan dialokasikan Djodi untuk seorang hakim agung. Djodi sudah divonis penjara 2 tahun di Pengadilan Tipikor Jakarta, sedangkan Mario dihukum 4 tahun penjara di tingkat kasasi.
Berikutnya, Setyabudi Tedjocahyono selaku Wakil Ketua PN Bandung; Ramlan Comel selaku hakim adhoc Pengadilan Tipikor Bandung; Pasti Seferina Sinaga selaku hakim Pengadilan Tinggi Jawa Barat. Kasus penerimaan suap mereka ditangani KPK sekitar Maret 2013 hingga Januari 2015.
Berikutnya Kartini Julianna Marpaung; Asmadinata, dan Pragsono. Ketiganya selaku hakim adhoc Pengadilan Tipikor Semarang. Kasus hakim Kartini, Asmadinata, dan Pragsono ditangani KPK sejak 17 Agustus 2012 hingga April 2014.
Masih ada lagi Imas Dianasari selaku hakim ad hock Pengadilan Hubungan Industri (PHI) Bandung (2011) terkait suap perkara industrial PT Onamba Indonesia (OI), dan Syarifuddin Umar selaku Hakim Pengawas di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (2011) terkait suap pengurusan proses kepailitan perusahaan garmen PT Skycamping Indonesia (SCI).
Peneliti Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan ICW Aradila Caesar menyatakan, dengan penangkapan terhadap hakim Janner Purba sekali lagi jadi pertanda bahwa masih ada mafia peradilan di MA.
Selain itu, menurut Aradila, pada kenyataannya reformasi peradilan atau MA tidak membawa dampak yang signifikan bagi upaya bersih-upaya lembaga peradilan.
"Ketua MA harusnya malu melihat lembaganya beberapa bulan terakhir tercoreng akibat kasus korupsi," kata Aradila saat berbincang dengan SINDO, Senin 23 Mei 2016 malam.
Karenanya, lanjut Aradila, penangkapan terhadap hakim Janner dan sejumlah panitera, pegawai, dan hakim-hakim pengadilan dan/atau MA yang menunjukan adanya mafia peradilan, seharusnya sudah jadi masalah serius yang butuh perhatian penuh Ketua MA.
"Sikap tegas dalam menyelesaikan persoalan mafia peradilan sangat ditunggu. Untuk penyelesaian mafia peradilan KPK harus gandeng MA. Ajak KY juga terlibat," tandasnya.
Sebelum penangkapan terhadap Ketua PN Kepahiang Janner Purba, KPK lebih dahulu melakukan OTT terkait pihak-pihak yang bertugas lembaga peradilan. Mereka di antaranya, Panitera/Sekretaris (Pansek) Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) Edy Nasution selepas menerima suap dari karyawan PT Paramount Enterprise International Doddy Aryanto Supeno. Edy dan Doddy ditangkap seusai serah terima Rp50 juta pada Rabu 20 April di Hotel Accacia, Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat.
KPK pun sudah menangkap tangan Kasubdit Kasasi dan Peninjauan Kembali Kamar Perdata MA (nonaktif) Andri Tristianto Sutrisna yang menerima suap Rp400 juta dari Direktur PT Citra Gading Asritama Ichsan Suaidi (kini terdakwa di Pengadilan Tipikor, Jakarta) dan advokat Awang Lazuardi Embat (kuasa hukum Ichsan, kini terdakwa) pada Jumat, 12 Februari 2016 malam.
Suap yang diterima Andri diduga dimaksudkan untuk penundaan salinan putusan kasasi atas nama terdakwa Ichsan terkait kasus korupsi pembangunan dermaga Labuhan Haji di Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB) tahun anggaran 2007-2008 senilai Rp82 miliar.
Bila ditarik ke belakang, masih ada penangkapan terhadap Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan Tripeni Irianto Putro, hakim PTUN Medan Dermawan Ginting dan Amir Fauzi serta Panitera yang juga Sekretaris PTUN Medan Syamsir Yusfan bersama pengacara M Yagari Bhastara Guntur alias Gary pada Kamis, 9 Juli 2015.
Majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta sudah memvonis para pihak yang terlibat. Tripeni Irianto Putro menerima sebesar SGD5.000 dan USD15.000 (divonis 2 tahun penjara), dua hakim PTUN Medan Dermawan Ginting dan Amir Fauzi masing-masing menerima USD5.000 (masing-masing divonis 2 tahun), dan Panitera yang juga Sekretaris PTUN Medan Syamsir Yusfan menerima USD2.000 (divonis 2 tahun).
Pemberi suap yakni Gubernur Sumatera Utara (Sumut) nonaktif Gatot Pujo Nugroho (divonis 3 tahun), istri Gatot, Evy Susanti (divonis 2 tahun 6 bulan), pengacara kondang Otto Cornelis Kaligis(divonis 5,5 tahun), dan Gary yang merupakan mantan anak buah Kaligis (divonis 2 tahun).
Jauh sebelum mereka, KPK juga sudah menangkap dan/atau berhasil menjebloskan ke balik jeruji besi pegawai dan beberapa hakim lainnya. Di antaranya Djodi Supratman selaku Staf Balai Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) MA yang tertangkap menerima Rp50 juta dari Mario Cornelio Bernardo selaku staf/pengacara di kantor pengacara Hotma Sitompul, pada 23 Juli 2013.
Total suap diterima Djodi sebesar Rp150 juta untuk pengurusan kasasi pidana penipuan terdakwa pengusaha Hutomo Wijaya Ongowarsito (HWO) di MA. Berdasarkan fakta persidangan, suap diduga akan dialokasikan Djodi untuk seorang hakim agung. Djodi sudah divonis penjara 2 tahun di Pengadilan Tipikor Jakarta, sedangkan Mario dihukum 4 tahun penjara di tingkat kasasi.
Berikutnya, Setyabudi Tedjocahyono selaku Wakil Ketua PN Bandung; Ramlan Comel selaku hakim adhoc Pengadilan Tipikor Bandung; Pasti Seferina Sinaga selaku hakim Pengadilan Tinggi Jawa Barat. Kasus penerimaan suap mereka ditangani KPK sekitar Maret 2013 hingga Januari 2015.
Berikutnya Kartini Julianna Marpaung; Asmadinata, dan Pragsono. Ketiganya selaku hakim adhoc Pengadilan Tipikor Semarang. Kasus hakim Kartini, Asmadinata, dan Pragsono ditangani KPK sejak 17 Agustus 2012 hingga April 2014.
Masih ada lagi Imas Dianasari selaku hakim ad hock Pengadilan Hubungan Industri (PHI) Bandung (2011) terkait suap perkara industrial PT Onamba Indonesia (OI), dan Syarifuddin Umar selaku Hakim Pengawas di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (2011) terkait suap pengurusan proses kepailitan perusahaan garmen PT Skycamping Indonesia (SCI).
(mhd)