Indonesia di Pusaran Konflik Laut China Selatan

Senin, 26 Oktober 2015 - 06:10 WIB
Indonesia di Pusaran Konflik Laut China Selatan
Indonesia di Pusaran Konflik Laut China Selatan
A A A
TENSI ketegangan di kawasan Laut China Selatan meningkat. Ketegangan ini sudah terjadi sejak lama dan bersifat pasang surut. Ketegangan di kawasan ini kembali meningkat sejak awal Mei 2014.

Indonesia di Pusaran Konflik Laut China Selatan


Peningkatan eskalasi ini dipicu pembangunan kilang minyak China His Yang Shi You 981 di wilayah yang dianggap masuk Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan landas kontinental Vietnam.

China mengklaim wilayah Laut China Selatan berdasarkan fakta sejarah dimulai era Dinasti Han 110 sebelum masehi. Era itu dilakukan ekspedisi laut ke Spratly Islands (Kepulauan Spartly) oleh bangsa China ketika Dinasti Ming 1403-1433 masehi.

Saat itu para nelayan dan pedagang China sudah bekerja dan menetap di wilayah tersebut. Klaim China ini diperkuat dengan mengeluarkan peta nine dashed lines (sembilan garis putus-putus) pada tahun 1947 dan Mei 2009.

Berdasarkan peta itu, China mengklaim semua pulau yang ada di wilayah itu mutlak milik negeri yang dijuluki Tirai Bambu itu. Mengacu peta itu, China juga mengklaim perairan yang berada di wilayah tersebut masih miliknya, termasuk kandungan laut maupun tanah di bawahnya.

Sikap China ini memicu reaksi dari negara yang wilayahnya bersinggungan dengan Laut China Selatan. Mereka adalah, Vietnam, Malaysia, Indonesia, Brunei dan Philipina.

Semakin masifnya China mengklaim wilayah tersebut dengan membangun infrastruktur semakin memicu ketegangan di Laut China Selatan. Masing-masing negara terkait yang tergabung dalam ASEAN semakin meningkatkan kekuatan militernya di sekitar Laut China Selatan.

Contohnya Filipina. Negara ini menaikkan anggaran milternya tiga kali lipat untuk mengamankan daerahnya di sekitar Laut China Selatan.

Malaysia juga melakukan hal sama untuk membeli dua kapal selam bermesin diesel dari Perancis. Bahkan Vietnam ikut memperkuat militernya dengan membeli enam kapal selam Kilo-class dan 12 pesawat tempur Sukhoi Su-30 MKK dari Rusia.

Kondisi ini semakin menyulitkan Indonesia untuk menghindar dari peningkatan eskalasi ketegangan di wilayah tersebut. Sebab Indonesia adalah salah satu negara bersinggungan dengan Laut China Selatan dan berdekatan dengan beberapa negara sekitarnya.

Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmatyo dalam bukunya berjudul Memahami Ancaman, Menyadari Jati Diri Modal Membangun Menuju Indonesia Emas mengungkap adanya ancaman terhadap Indonesia terhadap perkembangan di wilayah tersebut. Posisi sebelah utara Indonesia ada Malaysia dan Singapura, sementara sebelah selatan Indonesia ada Singapura dan Selandia Baru.

Sejarah hubungan tidak harmonis Indonesia dengan Malaysia mencapai puncaknya di era kepemimpinan Presiden Soekarno dengan pernyataannya "Ganyang Malaysia" di hadapan rakyat Indonesia. Hubungan ini kembali tidak harmonis ketika Malaysia berhasil merebut pulau yang masih diklaim milik Indonesia, yakni Sipadan-Ligitan

Kondisi sama juga terjadi dengan Singapura ketika negara terkenal simbol Patung Singa itu protes terhadap kebijakan Pemerintah Indonesia menamakan kapal perangnya dengan KRI Usman-Harun. Singapura keberatan dengan dua prajurit TNI bernama Usman-Harun yang pernah melakukan pengeboman di Singapura era kepemimpinan Soekarno. Hubungan Indonesia dengan Singapura juga pernah kurang baik ketika Singapura melakukan reklamasi pantainya yang mengarah ke teritorial Indonesia.

Sementara itu hubungan Autralia dengan Indonesia mengalami pasang surut. Australia pernah keberatan terhadap sikap Pemerintah Indonesia yang tetap mengeksekusi mati dua anggota "Bali Nine" terkait kasus narkoba. Panas dingin hubungan Singapura-Indonesia juga terjadi ketika terungkap penyadapan terhadap pejabat negara Indonesia yang dilakukan intelijen Australia.

Kondisi ini membuat Indonesia dalam posisi sulit menentukan sikap menghadapi perkembangan situasi di wilayah Laut China Selatan. Namun, Indonesia perlu menjaga kedaulatan wilayahnya dari segala potensi ancaman yang ada.

Kondisi semakin rumit ketika kepentingan Amerika Serikat (AS) masuk di tengah eskalasi ketegangan meningkat di wilayah Laut China Selatan. Negeri Paman Sam itu mulai ikut intervensi dalam krisis di Laut China Selatan ketika China semakin masif memperluas pengaruhnya di wilayah tersebut dengan melakukan pembangunan secara besar-besaran.

Amerika Serikat memperkuat pengaruhnya di kawasan Asia Pasifik dengan meningkatkan operasional militernya di bagian barat dan utara benua Australia dan menjadikan Darwin sebagai pangkalan militer utama.

Perkembangan ini harusnya menjadi pertimbangan para pemimpin Indonesia, karena jarak antara Darwin dan pulau terdepan Indonesia di bagian selatan, yaitu Pulau Selaru, Nusa Tenggara Timur hanya 400 mil atau 20 menit waktu tempuh jika menggunakan pesawat tempur F-16 Fighting Falcon. Tentu saja perkembangan ini harus dicermati Indonesia.

Terlepas dari itu, apa keuntungan dan daya tarik Laut China Selatan yang menyebabkan terjadinya eekalasi ketegangan di wilayah tersebut. Laut China Selatan, ternyata menjadi jalur strategis yang menghubungkan Samudera Hindia dengan Samudera Pasifik sekaligus menjadi pintu masuk yang vital bagi perdagangan di Asia Timur.

Sedikitnya, 85% impor energi China dan suplai minyak untuk Jepang dan Korea melalui perairan tersebut. Sementara 55% hasil produk India yang diperdagangkan dengan Asia Pasifik melalui Laut China Selatan menuju China, Jepang, Korea dan Amerika Serikat.

Potensi lain yang dimiliki Laut China Selatan adalah ekosistem laut yang luas dengan keanekaragaman hayati tertinggi di dunia mampu menghasilkan ikan dengan jumlah tertinggi dunia untuk kebutuhan ekspor maupun rumah tangga.

Potensi lainnya yang bisa diambil dari Laut China Selatan adalah kandungan 50 miliar ton minyak mentah dan lebih dari 20 triliun meter kubik kandungan gas alamnya.
(kur)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.5217 seconds (0.1#10.140)