Referendum Kepala Daerah

Selasa, 06 Oktober 2015 - 13:36 WIB
Referendum Kepala Daerah
Referendum Kepala Daerah
A A A
Konstitusi di negara mana pun, dirancang, selalu begitu, sebagai kerangka kerja bangsa itu menyelenggarakan kekuasaan. Pengisian jabatan, tunggal atau jamak, dalam semua konstitusi demokratis, karena tujuannya, dirancang dengan cara tertentu.Hampir semua negara, untuk tujuan itu, menjatuhkan pilihannya pada pemilihan umum atau pemilihan sebagai cara yang pantas dan tepat. Tepat, disebabkan cara itu dibayangkan paling menjamin kepastian terwujudnya kedaulatan rakyat. Rakyatlah yang menentukan sendiri siapa yang paling pantas, bukan saja menyelenggarakan kekuasaan yang akan mereka mandatkan, melainkan juga kekuasaan yang akan dimandatkan itu, bukan diselewengkan, melainkan didedikasikan sepenuhnya untuk kebaikan bersama.Subjeknya ManusiaTetapi, konstitusi, di mana pun, tidak pernah menuliskan semua impian manis para pembentuknya tentang satu beberapa hal secara utuh. Selalu seperti biasanya, konstitusi hanya menyatakan maksud pembentuknya secara garis besar. Sungguhpun harus diakui bukan lantaran itulah yang mengakibatkan kata dan atau kalimat konstitusi memerlukan interpretasi. Sebagai hukum yang mesti ditegakan, interpretasi menjadi tak terelakan.Ditenggelamkannya “penunjukan” karena akarnya yang tiranik dan monopolistik tentu dinilai berdasarkan lingkungan peradaban yang baru muncul yaitu status civilis menggantikan status naturalis. Status civilis itu mengharuskan ditemukannya cara yang senafas dengannya. Khusus pengisian jabatan publik tunggal dan jamak cara yang senafas itu adalah “pemilihan”, bukan “referendum.” Walau keduanya harus disebut anak kandung demokrasi, pemilihan dan referendum adalah dua hal berbeda, baik sifat intrinsiknya maupun hakikatnya.Dalam pelaksanaannya, keduanya tidak serta-merta sama dengan demokrasi. Derajat kebebasan menyalurkan kehendak memilih atau menyatakan pendapatlah kunci demokratis tidaknya pemilihan atau referendum itu. Memilih atau menyatakan pendapat hanya dapat ditunaikan oleh warga negara yang memiliki hak. Suka atau tidak, tatanan konstitusionalisme di mana pun menentukan secara spesifik tempat hak itu. Hak itu diletakkan dalam hukum.Konsekuensinya tidak semua warga negara dapat secara bebas menggunakannya. Hanya orang dewasa, tidak gila saja, terdaftar dalam daftar pemilihan, dan dalam kasus Indonesia diundang untuk memberikan suara, sekadar beberapa contoh, yang dapat menggunakan haknya itu. Tidak semua partai politik, yang sah sekalipun, dapat secara mandiri mencalonkan seseorang menjadi gubernur, bupati, atau wali kota. Hanya partai yang memenuhi syarat yang dapat menggunakannya.Limitasi terhadap partai politik untuk bisa mencalonkan seseorang menjadi calon gubernur, bupati, atau wali kota tentu harus rasional, sah dalam perspektif konstitusionalisme Brilian melihat adanya alternatif, berupa calon perseorangan, sering disebut calon independen. Sayang, entah karena syaratnya yang tidak rasional atau sebab lain tampaknya tak cukup memiliki daya tarik. Akibatnya, beberapa daerah tidak memiliki calon kepala daerah sama sekali. Daerahdaerah itu menemukan diri, untuk sementara tak bisa menggelar pemilihan kepala daerah.Petaka KonstitusiPetaka pun tiba. Mahkamah Konstitusi, tentu dengan pertimbangannya, mengesahkan calon tunggal sebagai pranata konstitusional baru dalam sistem pemilihan kepala daerah.Bernalar, sebagian sebagai cara memecahkan kebuntuan pencalonan di sejumlah daerah, sembari, seperti biasanya, memastikan hak konstitusional warga negara tak terisolasi, memang dapat mengolok-olok partai politik walau sulit untuk tak mengatakan pilihan itu bukan tanpa cacat. Alinea keempat UUD 1945 jelas menetapkan prinsip demokratis yang mesti ditunaikan dalam ihwal pengisian jabatan-jabatan tunggal dan jamak.Prinsip itu memperoleh bentuknya yang manis karena ketepatan pengaidahannya dalam Pasal 18 ayat (4). Praktis, pertalian kedua prinsip itu dikonkretkan bentuknya dengan “pemilihan,” bukan yang lain. Memilih, bukan “menanyakan” kepada rakyat “setuju” atau “tidak setuju” seseorang menjadi gubernur, bupati, atau wali kota adalah perintah konstitusi yang bersifat imperatif, bukan opsional. Menanyakan kepada rakyat “setuju” atau “tidak setuju” calon kepala daerah tidak lain adalah referendum, bukan pemilihan.Referendum bukan opsi konstitusi, setidaknya menurut Pasal 18 ayat (4) walau mengandung makna pemilihan. Makna itu diperoleh sematamata karena adanya keadaan yang memungkinkan warga negara memilih “setuju” atau “tidak setuju” itu. Memang hal yang ditanyakan itu dihubungkan dengan orang, tetapi bukan pemilihan dalam konteks hukum. Sifat, nilai, dan hakikatnya tidak sama dengan pemilihan menurut Pasal 18 ayat (4).Referendum menempatkan “isu” di jantung hakikatnya, sesuatu yang berbeda, tidak saja dalam nilai, sifat, dan maknanya dengan pemilihan, tetapi juga konteksnya. Menanyakan pendapat rakyat terhadap sebuah rencana, memperpanjang masa jabatan presiden, dan mengubah UUD misalnya, dalam sistem apapun, tak dikonsepkan sebagai pemilihan. Itu adalah referendum. Pemilihan, sedari awal, sesuai sejarahnya, selalu dan hanya itu, diasosiasikan dengan subjek hukum, manusia.Ada pemungutan suara dalam referendum, sama dengan pemilihan, tetapi suara yang dipungut dalam referendum adalah “setuju atau “tidak setuju” terhadap satu isu, bukan memilih seseorang menjadi presiden, gubernur, bupati, atau wali kota misalnya. Menyodorkan referendum, sesuatu yang tidak memiliki dasar dalam konstitusi, menjadi pranata konstitusional sistem pemilihan kepala daerah, bukan saja mengolok-olok Pasal 18 ayat (4) UUD 1945, melainkan juga alinea keempat UUD 1945 itu.Walau demokrasi selalu menghasilkan kontroversi demi kontroversi, menyodorkan referendum sebagai cara pengisian jabatan kepala daerah, entah sebagai cara paling akhir, pahit, dan melukai konstitusi yang dapat digunakan, positifisasi pranata ini menguatkan hipotesis konstitusi selalu tergerogoti oleh pertimbangan-pertimbangan tipikal praktis.Mengagungkan pemilihan langsung sebagai hal hebat demokrasi, dan mengisolasi pemilihan tak langsung sebagai hantu demokrasi, sembari memunculkan referendum sebagai pranata pelengkapnya, tak bisa dinyatakan tak mengandung luka. Alinea keempat UUD 1945, tempat jiwa demokrasi kita bersemayam, dan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang ditahbiskan sebagai cara yang senafas dengannya, mungkin tak sekarat, tetapi tak mungkin tak bisa disebut petaka.Margarito KamisDosen Fakultas Hukum Universitas Khairun Ternate
(bhr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4068 seconds (0.1#10.140)