Revolusi Kertas Putih di China Bisa Mengubah Sistem Otoriter di Taiwan?

Selasa, 06 Desember 2022 - 21:09 WIB
loading...
Revolusi Kertas Putih...
Harryanto Aryodiguno, Ph.D, Dosen Jurusan Hubungan Internasional President University, Jababeka-Cikarang. Foto/Istimewa
A A A
Harryanto Aryodiguno, Ph.D
Dosen Jurusan Hubungan Internasional President University, Jababeka-Cikarang

REVOLUSI Kertas Putih adalah sebuah revolusi untuk mengevaluasi ketaatan rakyat kepada pemimpin. Ketaatan atau kepatuhan adalah syarat utama dari sistem otoriter. Tanpa ketaatan yang buta tidak akan ada kediktatoran atau otoriter yang abadi. Ketika kebijakan penahanan, kontrol, dan pengawasan yang begitu ketat terhadap rakyat yang patuh sehingga menyebabkan rakyat yang patuh tidak tahu bagaimana mematuhi dan bagaimana mempertahankan hak asasi diri sendiri lagi, maka orang-orang yang patuh ini akan kehilangan kemampuan untuk patuh dan taat, sehingga sistem otoriter tidak akan bertahan.

Revolusi Kertas Putih ini secara tidak langsung mengingatkan Taiwan pada dilema urusan dalam dan luar negerinya. Ini karena hubungan antara pengunjuk rasa dan Partai Komunis China sangat mirip dengan hubungan antara Taiwan dan Amerika Serikat. Juga sangat mirip dengan hubungan antara pendukung atau netizen pro-kemerdekaan Taiwan dan Democratic Progressive Party/DPP, partai penguasa yang ingin memerdekan diri dari China. Kesamaan yang mereka miliki adalah bahwa bentuk otoriter apa pun yang dilakukan untuk mengendalikan rakyat dalam jangka waktu yang lama akan melumpuhkan panca indera pemerintah atau rasa simpati dari rakyat untuk pemerintah maupun sebaliknya.

Singkatnya, pemrotes yang memegang kertas putih di seantero China, termasuk Hong Kong, Taiwan , dan Makau maupun keturunan China di luar negeri bukanlah perjuangan untuk mendukung kemerdekaan etnis minoritas di Xinjiang. Mereka juga bukan rakyat yang miskin dan kelaparan seperti kaum buruh dan tani pada era Chiang Kai-shek di China. Mereka adalah kaum terpelajar yang selama ini patuh pada pemerintahan yang otoriter.

Secara tidak langsung kita sering menghakimi bahwa yang namanya diktator dalam kasus ini adalah pemerintah China, tetapi kita sering lupa, bahwa beberapa kasus, yang menjadi diktator adalah Amerika Serikat, dan Taiwan seperti rakyat Amerika yang patuh kepada kediktatoran atau sistem otoriter Amerika. Kepatuhan Taiwan terhadap Amerika sering dianggap sebagai perjuangan demokratis untuk membebaskan diri dari Daratan China, sebaliknya, senyuman dan perhatian Amerika kepada Taiwan, sering dianggap kasih sayang dari negara super power kepada rakyat yang tertindas.



Kediktatoran Amerika terhadap Taiwan telah terlihat ketika Taiwan menyerahkan diri sepenuhnya ke dalam perlindungan Amerika. Taiwan menerima mentah-mentah semua kebijakan Amerika serikat, termasuk penjualan senjata, rudal, maupun perlengkapan militer kepada Taiwan. Taiwan selalu dilecehkan oleh Amerika Serikat, termasuk kasus pramugari salah satu maskapai Taiwan yang dipaksa membersihkan pantat seorang penumpang berbangsa barat di dalam pesawat. Akan tetapi, Taiwan tidak pernah merasakan bahwa ini adalah keotoriteran Amerika terhadap rakyat Taiwan yang patuh. Akhirnya dengan alasan perlindungan diri, kepatuhan rakyat Taiwan membuat keotoriteran Amerika mengakar di Asia timur, paling tidak terhadap Taiwan dan Jepang yang menyerahkan Okinawa sebagai pangkalan militer untuk Amerika.

Kebijakan Nol Covid-19 dari China memang terlalu ekstrem dan kejam. Rakyat yang selama ini patuh dan taat telah lelah, dan akhirnya mereka turun ke jalan sambil memegang kertas putih di atas kepala mereka, dan inilah yang dinamakan Revolusi Kertas Putih. Selain itu, muncul juga slogan-slogan seperti menuntut pengunduran diri Xi Jinping dan tidak ada masa jabatan presiden seumur hidup di China.

Mereka melampiaskan kemarahan mereka yang terpendam selama ini. Mereka mengubah wajah dan senyuman yang taat menjadi pandangan yang sinis dan penuh dendam kepada pemerintah otoriter komunis. Kepatuhan rakyat China dan kemampuan menyesuaikan diri rakyat China dengan diktator berubah dengan cepat hanya karena kebijakan pembatasan kebebasan bergerak selama hampir tiga tahun dari pemerintah. Kepatuhan rakyat terhadap pemerintah yang diktator menghilang dalam semalam saja.

Demikian juga hal yang sama terjadi di Taiwan. Para pemuda Taiwan yang mulai muak dengan propaganda China dan propaganda kelompok pro-kemerdekaan mulai menyuarakan pendapat mereka. Selama ini, para pemuda Taiwan yang terbuai oleh janji manis dari pemerintah yang manjanjikan kemerdekaan selalu menganggap diri mereka adalah sebuah entitas yang berbeda dengan China. Mereka selalu memandang saudara-saudara mereka di daratan China sebagai musuh yang terbelakang, tidak berpendidikan, kasar, dan tidak mengerti sopan santun.

Peristiwa di Xinjiang yang menewaskan 10 orang dalam kebakaran dan menyulut demonstrasi besar-besaran di seantero China telah menyadarkan kelompok pemuda Taiwan, bahwa ternyata selama ini mereka mempunyai nasib yang sama. Mereka patuh pada pemerintah yang salah, patuh pada pemerintah yang otoriter. Ini dibuktikan dengan gagalnya pemilihan kepala daerah di Taiwan yang dilaksanakan akhir November lalu.

Kemudian, kenapa Partai Komunis China mengumumkan segera menghapus segala bentuk pembatasan bergerak? Ini hanya semata-mata ingin mempertahankan kediktatorannya kembali. Konghucu pernah berkata, bahwa diktator harus memiliki pengikut yang patuh, kalau tidak, diktator akan seperti tubuh yang kehilangan nutrisi. Oleh karena itu, Partai Komunis harus segera memposisikan bahwa Revolusi Kertas Putih bukanlah revolusi rakyat yang menentang diktator, akan tetapi kebebasan bersuara yang “nyata” dari rakyat China. Partai Komunis siap menampung aspirasi rakyat, sebagaimana mereka adalah pasukan pembebasan rakyat di zaman Chiang Kai-shek, dan tentu ini semata-mata demi memenangkan hati rakyat kembali.

Kembali ke kekalahan kelompok pro-kemerdekaan di pilkada Taiwan, mengapa pemerintah diktator di Taiwan mengabaikan suara rakyat? Berbeda dengan saudaranya Partai Komunis, Partai DPP yang berkuasa di Taiwan mengetahui dengan jelas bahwa mereka dan rakyat yang taat berada di perahu yang sama, sehingga pemerintah diktator di Taiwan tidak akan gentar dengan perlawanan rakyat, karena mereka mempunyai musuh bersama, yaitu Daratan China dan komunis China. Lebih tepatnya lagi, otoritas yang berkuasa di Taiwan menjiplak ilmu politik Amerika dan menganggap yang berasal dari Amerika itu sebagai demokrasi rakyat. Pemerintah Taiwan bahkan tidak sadar bahwa mereka bersama Amerika telah membentuk sistem otoriter yang membungkam kebebasan rakyat Taiwan.

Sementara itu, para pendukung pemerintah pro kemerdekaan Taiwan tidak hanya tidak peduli dengan demokrasi, bahkan mereka tidak bisa berdemokrasi, karena sistem demokrasi menganggap bahwa setiap orang memiliki preferensinya sendiri, dan pilihan para pendukung pemerintah Taiwan adalah mereka rela dikibuli oleh kelompok pemecah belah bangsa yang berkuasa.

Hampir seluruh rakyat Taiwan yang mendukung kemerdekaan, tidak ada identitas atau pilihan yang layak dipertahankan, karena mereka atas nama kemerdekaan, berusaha keras menipu diri mereka sendiri dengan menghapus identitas kecinaan mereka. Bahkan, sesungguhnya mereka takut demokrasi yang benar-benar demokrasi. Oleh karena itu, mereka selalu berteriak bahwa nasib rakyat Taiwan ditentukan oleh rakyat Taiwan sendiri, bukan oleh negara lain, akan tetapi mereka selalu mengandalkan Amerika untuk menentukan nasib mereka.
(zik)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1262 seconds (0.1#10.140)