RUU PKS Dicabut Dari Prolegnas 2020, Empati Kosong Wakil Rakyat?
loading...
A
A
A
Anita Karolina
Pengurus KOPRI PB PMII, Mahasiswa Pascasarjana UI
SEPEKAN terakhirjagad pemberitaan tengah dihebohkan dengan adanya pencabutan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) dari daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2020, bersama dengan 15 RUU lainnya.Tentu, hal ini mengundang kekecewaan bagi sebagian besar pihak yang sedari awal memperjuangkan dan mendukung disahkannya RUU PKS. Yang menjadi pertanyaan adalah, bagaimana bisa anggota DPR RI dengan mudahnya mencabut RUU PKS justru di tengah meningkatnya kasus kekerasan seksual?
Lebih pedih lagi ketika mengetahui alasan dibalik pencabutan ini, yaitu sulitnya pembahasan RUU PKS baik dari judul atau defisini kekerasan seksual maupun perdebatan mengenai aturan pemidanaan, seperti yang dikutip dalam beberapa media.Alasan tersebut menunjukkan tidak adanya empati anggota DPR RI terhadap para korban yang kian hari kian bertambah. Sulitnya pembahasan? Apakah anggota DPR RI tidak memikirkan sulitnya hidup yang harus dilalui para korban kekerasan seksual?
Atau mungkin anggota DPR RI tidak mengetahui data statistik korban kekerasan seksual yang semakin bertambah setiap tahunnya? Bisa jadi. Atau memang RUU PKS ini tidak “sepenting itu” untuk mereka bahas? Bisa jadi juga.Kekerasan seksual tidak pandang bulu siapa korbannya, pun tidak mengenal tempat terjadinya. Kekerasan seksual bisa terjadi kepada siapa saja dan di mana saja, baik itu di lingkungan kerja, sekolah maupun rumah, semua bisa jadi tempat kekerasan seksual. Komnas Perempuan sendiri membagi kekerasan terhadap perempuan ke dalam tiga ranah. Pertama, ranah personal atau privat, di mana pelaku adalah orang yang memiliki hubungan darah, kekerabatan, perkawinan, maupun relasi intim (pacaran) dengan korban.Kedua, yaitu ranah publik, dimana pelaku dan korban tidak memiliki hubungan kekerabatan, darah, ataupun perkawinan, misal pelaku adalah majikan, tetangga, guru, teman kerja, teman kuliah, teman sekolah, tokoh masyarakat, atau orang yang tidak dikenal. Dan ketiga, yaitu ranah negara, dimana pelakunya adalah aparatur negara dalam kapasitas tugas.
Boleh dikatakan bahwa perempuan tidak memiliki tempat yang benar-benar aman. Bahkan di Lembaga yang biasa disebut sebagai “Rumah Aman” dan dipercaya menjadi satu-satunya tempat untuk perlindungan korban pun bisa menjadi “neraka” baru bagi korban.Seperti pada kasus perkosaan terhadap remaja putri oleh Anggota UPT P2TP2A Lampung Timur beberapa waktu lalu. Korban merupakan korban kekerasan seksual yang tengah didampingi oleh pelaku. Lembaga Pendidikan yang seharusnya menjadi tempat menimba ilmu juga rentan menjadi ranah terjadinya kekerasan seksual. Tentu masih sangat segar dalam ingatan tentang kasus Agni (bukan nama sebenarnya) seorang mahasiswi UGM yang menjadi korban kekerasan seksual. Kasus Agni di UGM memicu kasus serupa mencuat ke publik.
Menurut Catatan Tahunan (Catahu) Komnas Perempuan tahun 2020, tercatat sebanyak 431.471 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan dan ditangani sepanjang tahun 2019. Angka tersebut besarannya naik sebanyak 6% dari tahun sebelumnya (406.178 kasus).Komnas Perempuan juga mencatat selama kurun waktu 12 tahun kekerasan terhadap perempuan meningkat hampir 8 kali lipat. Tentu saja, hal tersebut merupakan fenomena gunung es, dimana dalam kondisi yang sebenarnya dan tidak terlaporkan lebih banyak lagi kasus serupa.
Selama tahun 2019, kekerasan seksual terhadap anak perempuan mengalami lonjakan menjadi 2.341 kasus, yang sebelumnya 1.417 kasus. Dari angka tersebut, jenis kekerasan seksual paling tinggi adalah kasus inses, yaitu sebesar 65%.Catahu tahun 2020 juga mencatat kasus terbanyak yaitu di ranah privat/personal, baik berasal dari pengaduan melalui mitra pengada layanan (75%) maupun pengaduan langsung ke Komnas Perempuan (74%).
Di ranah publik dan komunitas, dari total 3.062 kasus kekerasan terhadap perempuan, 58% nya merupakan kasus kekerasan seksual, yakni pencabulan (531 kasus), perkosaan (715 kasus) dan pelecehan seksual (520 kasus).Angka kekerasan seksual terhadap perempuan di ranah siber juga mengalami peningkatan sebanyak 3 kali lipat (281 kasus), yaitu dalam bentuk ancaman dan intimidasi penyebaran foto dan video porno korban.
Data tersebut baru data yang tercatat di Komnas Perempuan sepanjang tahun 2019. Di tahun 2020, menurut data dari SIMFONI PPA (Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak), dari Januari hingga 19 Juni lalu terdapat kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dewasa sebanyak 329 kasus dan 1.849 kasus kekerasan seksual terhadap anak perempuan maupun laki-laki.
SIMFONI PPA merupakan sistem aplikasi pencatatan dan pelaporan kekerasan perempuan dan anak yang dikembangkan dan dikelola oleh Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, dan dapat diakses oleh semua unit layanan penanganan korban kekerasan perempuan dan anak.
Konstruk sosial masyarakat Indonesia yang masih patriarkis seringkali tidak mendengar dari sisi perempuan sebagai korban, sehingga tidak jarang korban kekerasan seksual mengalami reviktimisasi.Kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak perempuan yang semakin meningkat, serta tidak adanya peraturan yang mengakomodir hak korban, maka RUU PKS menjadi harapan satu-satunya untuk menjawab permasalahan yang ada. RUU PKS merupakan terobosan di bidang hukum dalam hal mengakomodir kepentingan dan kebutuhan para korban. Saat ini, banyak kasus kekerasan seksual tidak dapat diproses secara hukum karena pengaturan tentang kekerasan seksual dalam hukum yang ada saat ini masih sangat terbatas, terutama yang berkaitan dengan korban. Mau sampai kapan DPR RI mengulur waktu pengesahan RUU PKS ini? Angka korban kekerasan semakin tinggi, dan payung hukum untuk korban sangat urgen dibutuhkan. Tidak hanya hukuman bagi pelaku, tapi mengakomodir hak dan kepentingan korban juga harus diatur secara sistemik.
DPR RI harus mengakomodir dan mendukung hak dan kepentingan korban dengan jalan kembali membahas dan mengesahkan RUU PKS ini. Terlebih DPR RI periode ini memiliki pimpinan perempuan untuk pertama kalinya, yang seharusnya lebih mengerti dan memahami isu yang berkaitan dengan perempuan, Puan Maharani. Puan Maharani selaku pucuk pimpinan tertinggi DPR RI harus jadi momentum untuk menelurkan payung hukum yang pro terhadap perlindungan perempuan. Agar kami para perempuan Indonesia tidak merasa sia-sia memiliki Pimpinan DPR RI dari unsur sesama perempuan.Oleh karena itu, penulis menilai RUU PKS harus kembali dimasukkan ke dalam Prolegnas Prioritas 2020. Para wakil rakyat di Senayan juga harus segera mengesahkannya agar dapat menjadi payung hukum perlindungan perempuan dan anak di seluruh pelosok nusantara.
Pengurus KOPRI PB PMII, Mahasiswa Pascasarjana UI
SEPEKAN terakhirjagad pemberitaan tengah dihebohkan dengan adanya pencabutan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) dari daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2020, bersama dengan 15 RUU lainnya.Tentu, hal ini mengundang kekecewaan bagi sebagian besar pihak yang sedari awal memperjuangkan dan mendukung disahkannya RUU PKS. Yang menjadi pertanyaan adalah, bagaimana bisa anggota DPR RI dengan mudahnya mencabut RUU PKS justru di tengah meningkatnya kasus kekerasan seksual?
Lebih pedih lagi ketika mengetahui alasan dibalik pencabutan ini, yaitu sulitnya pembahasan RUU PKS baik dari judul atau defisini kekerasan seksual maupun perdebatan mengenai aturan pemidanaan, seperti yang dikutip dalam beberapa media.Alasan tersebut menunjukkan tidak adanya empati anggota DPR RI terhadap para korban yang kian hari kian bertambah. Sulitnya pembahasan? Apakah anggota DPR RI tidak memikirkan sulitnya hidup yang harus dilalui para korban kekerasan seksual?
Atau mungkin anggota DPR RI tidak mengetahui data statistik korban kekerasan seksual yang semakin bertambah setiap tahunnya? Bisa jadi. Atau memang RUU PKS ini tidak “sepenting itu” untuk mereka bahas? Bisa jadi juga.Kekerasan seksual tidak pandang bulu siapa korbannya, pun tidak mengenal tempat terjadinya. Kekerasan seksual bisa terjadi kepada siapa saja dan di mana saja, baik itu di lingkungan kerja, sekolah maupun rumah, semua bisa jadi tempat kekerasan seksual. Komnas Perempuan sendiri membagi kekerasan terhadap perempuan ke dalam tiga ranah. Pertama, ranah personal atau privat, di mana pelaku adalah orang yang memiliki hubungan darah, kekerabatan, perkawinan, maupun relasi intim (pacaran) dengan korban.Kedua, yaitu ranah publik, dimana pelaku dan korban tidak memiliki hubungan kekerabatan, darah, ataupun perkawinan, misal pelaku adalah majikan, tetangga, guru, teman kerja, teman kuliah, teman sekolah, tokoh masyarakat, atau orang yang tidak dikenal. Dan ketiga, yaitu ranah negara, dimana pelakunya adalah aparatur negara dalam kapasitas tugas.
Boleh dikatakan bahwa perempuan tidak memiliki tempat yang benar-benar aman. Bahkan di Lembaga yang biasa disebut sebagai “Rumah Aman” dan dipercaya menjadi satu-satunya tempat untuk perlindungan korban pun bisa menjadi “neraka” baru bagi korban.Seperti pada kasus perkosaan terhadap remaja putri oleh Anggota UPT P2TP2A Lampung Timur beberapa waktu lalu. Korban merupakan korban kekerasan seksual yang tengah didampingi oleh pelaku. Lembaga Pendidikan yang seharusnya menjadi tempat menimba ilmu juga rentan menjadi ranah terjadinya kekerasan seksual. Tentu masih sangat segar dalam ingatan tentang kasus Agni (bukan nama sebenarnya) seorang mahasiswi UGM yang menjadi korban kekerasan seksual. Kasus Agni di UGM memicu kasus serupa mencuat ke publik.
Menurut Catatan Tahunan (Catahu) Komnas Perempuan tahun 2020, tercatat sebanyak 431.471 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan dan ditangani sepanjang tahun 2019. Angka tersebut besarannya naik sebanyak 6% dari tahun sebelumnya (406.178 kasus).Komnas Perempuan juga mencatat selama kurun waktu 12 tahun kekerasan terhadap perempuan meningkat hampir 8 kali lipat. Tentu saja, hal tersebut merupakan fenomena gunung es, dimana dalam kondisi yang sebenarnya dan tidak terlaporkan lebih banyak lagi kasus serupa.
Selama tahun 2019, kekerasan seksual terhadap anak perempuan mengalami lonjakan menjadi 2.341 kasus, yang sebelumnya 1.417 kasus. Dari angka tersebut, jenis kekerasan seksual paling tinggi adalah kasus inses, yaitu sebesar 65%.Catahu tahun 2020 juga mencatat kasus terbanyak yaitu di ranah privat/personal, baik berasal dari pengaduan melalui mitra pengada layanan (75%) maupun pengaduan langsung ke Komnas Perempuan (74%).
Di ranah publik dan komunitas, dari total 3.062 kasus kekerasan terhadap perempuan, 58% nya merupakan kasus kekerasan seksual, yakni pencabulan (531 kasus), perkosaan (715 kasus) dan pelecehan seksual (520 kasus).Angka kekerasan seksual terhadap perempuan di ranah siber juga mengalami peningkatan sebanyak 3 kali lipat (281 kasus), yaitu dalam bentuk ancaman dan intimidasi penyebaran foto dan video porno korban.
Data tersebut baru data yang tercatat di Komnas Perempuan sepanjang tahun 2019. Di tahun 2020, menurut data dari SIMFONI PPA (Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak), dari Januari hingga 19 Juni lalu terdapat kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dewasa sebanyak 329 kasus dan 1.849 kasus kekerasan seksual terhadap anak perempuan maupun laki-laki.
SIMFONI PPA merupakan sistem aplikasi pencatatan dan pelaporan kekerasan perempuan dan anak yang dikembangkan dan dikelola oleh Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, dan dapat diakses oleh semua unit layanan penanganan korban kekerasan perempuan dan anak.
Konstruk sosial masyarakat Indonesia yang masih patriarkis seringkali tidak mendengar dari sisi perempuan sebagai korban, sehingga tidak jarang korban kekerasan seksual mengalami reviktimisasi.Kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak perempuan yang semakin meningkat, serta tidak adanya peraturan yang mengakomodir hak korban, maka RUU PKS menjadi harapan satu-satunya untuk menjawab permasalahan yang ada. RUU PKS merupakan terobosan di bidang hukum dalam hal mengakomodir kepentingan dan kebutuhan para korban. Saat ini, banyak kasus kekerasan seksual tidak dapat diproses secara hukum karena pengaturan tentang kekerasan seksual dalam hukum yang ada saat ini masih sangat terbatas, terutama yang berkaitan dengan korban. Mau sampai kapan DPR RI mengulur waktu pengesahan RUU PKS ini? Angka korban kekerasan semakin tinggi, dan payung hukum untuk korban sangat urgen dibutuhkan. Tidak hanya hukuman bagi pelaku, tapi mengakomodir hak dan kepentingan korban juga harus diatur secara sistemik.
DPR RI harus mengakomodir dan mendukung hak dan kepentingan korban dengan jalan kembali membahas dan mengesahkan RUU PKS ini. Terlebih DPR RI periode ini memiliki pimpinan perempuan untuk pertama kalinya, yang seharusnya lebih mengerti dan memahami isu yang berkaitan dengan perempuan, Puan Maharani. Puan Maharani selaku pucuk pimpinan tertinggi DPR RI harus jadi momentum untuk menelurkan payung hukum yang pro terhadap perlindungan perempuan. Agar kami para perempuan Indonesia tidak merasa sia-sia memiliki Pimpinan DPR RI dari unsur sesama perempuan.Oleh karena itu, penulis menilai RUU PKS harus kembali dimasukkan ke dalam Prolegnas Prioritas 2020. Para wakil rakyat di Senayan juga harus segera mengesahkannya agar dapat menjadi payung hukum perlindungan perempuan dan anak di seluruh pelosok nusantara.
(ras)