PPP dan PAN Tolak Presidential Threshold 20%, Ini Alasannya

Selasa, 07 Juli 2020 - 18:55 WIB
loading...
PPP dan PAN Tolak Presidential Threshold 20%, Ini Alasannya
PPP dan PAN kompak tolak presidential threshold 20%. Ilustrasi/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Ambang batas pencalonan presiden ( presidential threshold ) sebesar 20% seperti yang ada dalam draf Rancangan Undang-Undang Pemilihan Umum (RUU Pemilu) yang saat ini masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020 di Badan Anggaran (Baleg) DPR berpotensi terpental.

Wakil Ketua Komisi II DPR Arwani Thomafi mengatakan, belajar dari pengalaman Pemilu 2019, presidential threshold sebesar 20% berpotensi menimbulkan pembelahan di masyarakat. "Di kalangan fraksi-fraksi, sudah ada pemikiran baru bahwa Pilpres 2019 lalu, ada pemahaman yang saya kira harus diapresiasi, pengalaman pembelahan politik di kemarin, menjadi pelajaran kita semua sehingga kita ingin menghindari pembelahan itu," tutur Arwani dalam diskusi Forum Legislasi bertema 'Ke Mana Arah RUU Pemilu?" di Media Center Parlemen, Gedung Nusantara III, Senayan, Jakarta, Selasa (7/7/2020).

Politikus PPP ini mengatakan, selain persoalan potensi terjadinya pembelahan di masyarakat, ada hal yang lebih penting yakni bagaimana negara bisa membuka ruang seluas-luasnya terhadap potensi warga negara untuk menjadi pemimpin nasional. "Potensi untuk munculnya calon-calon presiden, potensi munculnya aspirasi yang berkembang sehingga pada akhirnya kita tidak membuka seluas-luasnya, tetapi setidaknya partisipasi masyarakat untuk bisa ikut kontestasi presiden itu tidak dalam ruang yang sempit," katanya. ( ).

Atas dasar itu, Fraksi PPP mengusulkan presidential threshold pada Pemilu 2024 diturunkan dari sebelumnya 20%, menjadi kisaran 10-15%. "Saya melihat kecenderungan fraksi-fraksi dalam soal presidential threshold tersebut seperti itu," ujarnya.

Namun, Arwani menegaskan bahwa presidential threshold memang berbeda dengan parliamentary threshold. Meski tidak setuju dipatok 20%, bukan berarti juga harus sangat rendah bahkan nol persen. "Kita juga tidak ingin partai-partai itu terlalu gampang mencalonkan presiden, karena ada satu perbedaan prinsip lah soal bagaimana kita memilih anggota DPR dan Presiden,"

Senada dengan Arwani, anggota Komisi II DPR RI Fraksi PAN Guspardi Gaus mengatakan, pada Pilpres 2019, terjadinya pembelahan yang sangat keras di masyarakat antara kubu pendukung Joko Widodo-KH Ma'ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. "Itu pelajaran yang sangat berharga, masyarakat terbelah, ini pertama saya lihat," katanya. ( ).

Menurut Guspardi, Indonesia dengan jumlah penduduk mencapai 267,7 juta data per 2018, semakin banyak calon maka akan semakin baik. "Artinya masyarakat banyak pilihan siapa yang akan diharapkan untuk memimpin bangsa dan negara lima tahun mendatang, pilihannya banyak, yang lebih gawat itu apa? Polarisasi, kita nggak ingin. Kebinekaan ini kita jaga, keberagaman kita rangkul. Jangan menimbulkan masalah. Oleh karena itu, pengalaman yang berharga ini harusnya jangan diteruskan."

Dia mencontohkan ketika Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terpilih menjadi Presiden pada periode pertama, saat itu ada lima pasangan calon. Guspardi mengatakan, seandainya presidential threshold diturunkan, tidak mungkin lantas muncul terlalu banyak calon. "Tidak bakal muncul pimpinan itu 10 calon, paling banyak lima orang. Itu pengalaman sejarah," katanya.

Karena itu, politikus PAN ini menyarankan presidential threshold seandainya memang tidak nol persen sebagaimana diatur oleh UUD 1945, paling tidak partai politik yang punya kursi di Senayan bisa mengusung calon sendiri. "Jadi sesuai antara parliamentary threshold dengan presidential threshold," pungkasnya.
(zik)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.0839 seconds (0.1#10.140)