Profil Ahmad Sanusi, Ulama Perumus Bentuk Negara RI yang Dianugerahi Gelar Pahlawan Nasional
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah tahun ini memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada 5 tokoh yang telah berjasa besar terhadap kemerdekaan Republik Indonesia. Salah satunya adalah ulama dari Jawa Barat KH Ahmad Sanusi .
Kiai Ahmad Sanusi merupakan salah satu anggota Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang belum mendapat gelar pahlawan nasional. Rekan seangkatannya, yakni Soekarno, Mohammad Hatta, KH Wahid Hasyim, KH Kahar Muzakir, dan Ki Bagus Hadi Kusumo telah menyandang gelar tersebut.
Ahmad Sanusi juga tokoh Islam yang memperjuangkan dasar negara yang menghasilkan kompromi lahirnya negara Republik Indonesia.
"Keturunan nabi semuanya ada 124.000 orang, tetapi tidak ada seorang dari mereka menjadi raja, semuanya adalah Imam. Maka Kepala Negara yang harus mengganti, yang harus merdeka, harus dipilih oleh rakyat. Maksud saya dengan imam itu republik," kata Ahmad Sanusi dalam sidang BUPKI dikutip dari buku Riwayat Perjuangan KH Ahmad Sanusi karya Miftahul Falah (2009), Jumat (4/11/2022).
Baca juga: Profil dr Soeharto, Dokter Pribadi Bung Karno yang Dianugerahi Pahlawan Nasional
Lalu bagaimana sosok Ahmad Sanusi? berikut ini profilnya:
Ahmad Sanusi lahir di Cantayan, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat pada 18 September 1889. Putra ketiga KH Abdurrahim bin H Yasin ini merupakan keturunan Syekh Abdul Muhyi, penyebar Islam di daerah Tasikmalaya.
Ahmad Sanusi hidup di lingkungan yang dekat dengan agama sejak kecil. Ia mendapatkan pendidikan agama langsung dari ayahnya, Kiai Abdurrahim, termasuk keterampilan menulis Arab dan Latin. Setelah berumur 17 tahun, Sanusi memperdalam ilmu agama di belasan pesantren, baik di Sukabumi maupun luar daerah.
Setelah menikah, pada 1910 Ahmad Sanusi pergi ke Mekkah, Arab Saudi bersama istrinya, Siti Djuwariyah. Ia sempat menetap untuk belajar agama kepada para ulama. Di Tanah Suci, Sanusi juga mengenal tulisan dari tokoh-tokoh pembaharu seperti Muhammad Abduh dan Rashid Rida.
Lima tahun belajar agama di Mekkah, Ahmad Sanusi lalu pulang ke kampung halamannya di Cantayan, Sukabumi. Ia kemudian didatangi Presiden Sarekat Islam Cabang Sukabumi, H Sirdo dan diminta menjadi penasihat organisasi.
Ahmad Sanusi hanya sebentar bergabung dengan Sarekat Islam, sekitar 10 bulan. Setelah itu, ia didaulat menjadi Ketua Al-Ittihadiyat al Islāmiyyah (AII) oleh para pengikutnya. Organisasi keagamaan dan kemasyarakatan itu berkembang hingga memiliki kantor pusat di Tanah Tinggi No 191, Kramat, Batavia.
Organiasasi AII terus berkembang hingga memiliki pesantren, sekolah, rumah sakit, yayasan anak yatim piatu, koperasi, toko, hingga bait al-mal. Bahkan AII mempunyai 26 cabang yang tersebar di Jawa Barat. AII juga menerbitkan majalah bulanan Attabligh al-Islām dan majalah Al-Hidāyat al-Islāmiyah.
Pada 1927, Ahmad Sanusi sempat dipenjara oleh pemerintah Hindia Belanda karena dituduh merusak jaringan telepon. Akibat tuduhan tanpa bukti itu, Ahmad Sanusi harus mendekam di hotel prodeo selama 9 bulan atau hingga Mei 1928.
Selama menjalani hukuman penjara dan diasingkan, Ahmad Sanusi memanfaatkannya untuk menulis kitab. Kebanyakan kitab yang ditulis adalah permintaan masyarakat yang membahas dan mengkaji permasalahan saat itu.
Menjelang kemerdekaan, Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dibentuk pada 29 April 1945. Total jumlah anggotanya 67 orang, terdiri dari 60 tokoh Indonesia serta 7 orang anggota Jepang dan minoritas non Indonesia tanpa hak suara.
Pada sidang kedua tanggal 10-17 Juli, Jepang menambah 6 orang anggota bangsa Indonesia. Ahmad Sanusi diangkat oleh Jepang sebagai wakil residen di Bogor dan kemudian diangkat menjadi anggota BPUPKI. Ia menempati kursi nomor 36 bersebelahan dengan R Soekardjo Wirjopranoto.
Keberadaan Ahmad Sanusi di BPUPKI tidak sebatas duduk dan mendengarkan para pemimpin bangsa melontarkan ide tentang negara Indonesia merdeka. Ia juga ikut berbicara.
Ketika sidang BPUPKI digelar pada 10 Juli 1945, salah satu anggota BPUPKI Mr Soesanto mengusulkan agar bentuk Negara itu berbentuk Kerajaan. Usulan ini di tentang oleh Prof Muhammad Yamin dari kelompok Nasionalis yang menghendaki negara berbentuk Republik.
Ahmad Sanusi lalu ikut bicara untuk menengahi kedua pengusul tersebut dengan menjelaskan kelebihan dan kekurangan bentuk kerajaan dan republik dari perspektif Al-Qur'an. Ia berpendapat bahwa sebaiknya Negara Indonesia ini berbentuk Imamat yang dipimpin oleh imam, dengan kata lain adalah berbentuk Republik yang dipimpin oleh seorang presiden. Usulan ini kemudian disetujui masih diterapkan hingga hingga saat ini.
Kiai Ahmad Sanusi merupakan salah satu anggota Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang belum mendapat gelar pahlawan nasional. Rekan seangkatannya, yakni Soekarno, Mohammad Hatta, KH Wahid Hasyim, KH Kahar Muzakir, dan Ki Bagus Hadi Kusumo telah menyandang gelar tersebut.
Ahmad Sanusi juga tokoh Islam yang memperjuangkan dasar negara yang menghasilkan kompromi lahirnya negara Republik Indonesia.
"Keturunan nabi semuanya ada 124.000 orang, tetapi tidak ada seorang dari mereka menjadi raja, semuanya adalah Imam. Maka Kepala Negara yang harus mengganti, yang harus merdeka, harus dipilih oleh rakyat. Maksud saya dengan imam itu republik," kata Ahmad Sanusi dalam sidang BUPKI dikutip dari buku Riwayat Perjuangan KH Ahmad Sanusi karya Miftahul Falah (2009), Jumat (4/11/2022).
Baca juga: Profil dr Soeharto, Dokter Pribadi Bung Karno yang Dianugerahi Pahlawan Nasional
Lalu bagaimana sosok Ahmad Sanusi? berikut ini profilnya:
Ahmad Sanusi lahir di Cantayan, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat pada 18 September 1889. Putra ketiga KH Abdurrahim bin H Yasin ini merupakan keturunan Syekh Abdul Muhyi, penyebar Islam di daerah Tasikmalaya.
Ahmad Sanusi hidup di lingkungan yang dekat dengan agama sejak kecil. Ia mendapatkan pendidikan agama langsung dari ayahnya, Kiai Abdurrahim, termasuk keterampilan menulis Arab dan Latin. Setelah berumur 17 tahun, Sanusi memperdalam ilmu agama di belasan pesantren, baik di Sukabumi maupun luar daerah.
Setelah menikah, pada 1910 Ahmad Sanusi pergi ke Mekkah, Arab Saudi bersama istrinya, Siti Djuwariyah. Ia sempat menetap untuk belajar agama kepada para ulama. Di Tanah Suci, Sanusi juga mengenal tulisan dari tokoh-tokoh pembaharu seperti Muhammad Abduh dan Rashid Rida.
Lima tahun belajar agama di Mekkah, Ahmad Sanusi lalu pulang ke kampung halamannya di Cantayan, Sukabumi. Ia kemudian didatangi Presiden Sarekat Islam Cabang Sukabumi, H Sirdo dan diminta menjadi penasihat organisasi.
Ahmad Sanusi hanya sebentar bergabung dengan Sarekat Islam, sekitar 10 bulan. Setelah itu, ia didaulat menjadi Ketua Al-Ittihadiyat al Islāmiyyah (AII) oleh para pengikutnya. Organisasi keagamaan dan kemasyarakatan itu berkembang hingga memiliki kantor pusat di Tanah Tinggi No 191, Kramat, Batavia.
Organiasasi AII terus berkembang hingga memiliki pesantren, sekolah, rumah sakit, yayasan anak yatim piatu, koperasi, toko, hingga bait al-mal. Bahkan AII mempunyai 26 cabang yang tersebar di Jawa Barat. AII juga menerbitkan majalah bulanan Attabligh al-Islām dan majalah Al-Hidāyat al-Islāmiyah.
Pada 1927, Ahmad Sanusi sempat dipenjara oleh pemerintah Hindia Belanda karena dituduh merusak jaringan telepon. Akibat tuduhan tanpa bukti itu, Ahmad Sanusi harus mendekam di hotel prodeo selama 9 bulan atau hingga Mei 1928.
Selama menjalani hukuman penjara dan diasingkan, Ahmad Sanusi memanfaatkannya untuk menulis kitab. Kebanyakan kitab yang ditulis adalah permintaan masyarakat yang membahas dan mengkaji permasalahan saat itu.
Menjelang kemerdekaan, Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dibentuk pada 29 April 1945. Total jumlah anggotanya 67 orang, terdiri dari 60 tokoh Indonesia serta 7 orang anggota Jepang dan minoritas non Indonesia tanpa hak suara.
Pada sidang kedua tanggal 10-17 Juli, Jepang menambah 6 orang anggota bangsa Indonesia. Ahmad Sanusi diangkat oleh Jepang sebagai wakil residen di Bogor dan kemudian diangkat menjadi anggota BPUPKI. Ia menempati kursi nomor 36 bersebelahan dengan R Soekardjo Wirjopranoto.
Keberadaan Ahmad Sanusi di BPUPKI tidak sebatas duduk dan mendengarkan para pemimpin bangsa melontarkan ide tentang negara Indonesia merdeka. Ia juga ikut berbicara.
Ketika sidang BPUPKI digelar pada 10 Juli 1945, salah satu anggota BPUPKI Mr Soesanto mengusulkan agar bentuk Negara itu berbentuk Kerajaan. Usulan ini di tentang oleh Prof Muhammad Yamin dari kelompok Nasionalis yang menghendaki negara berbentuk Republik.
Ahmad Sanusi lalu ikut bicara untuk menengahi kedua pengusul tersebut dengan menjelaskan kelebihan dan kekurangan bentuk kerajaan dan republik dari perspektif Al-Qur'an. Ia berpendapat bahwa sebaiknya Negara Indonesia ini berbentuk Imamat yang dipimpin oleh imam, dengan kata lain adalah berbentuk Republik yang dipimpin oleh seorang presiden. Usulan ini kemudian disetujui masih diterapkan hingga hingga saat ini.
(abd)