Dipimpin Edhy Prabowo, KKP Belum Pernah Didemo Nelayan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo, tengah disorot perihal kebijakannya mencabut larangan penangkapan benih bening lobster, baik untuk keperluan budidaya maupun ekspor. Menurut pengamat politik, Adi Prayitno, banyak pihak yang tidak memahami substansi dari pencabutan aturan itu.
Adi menjelaskan, dari perspektif kebijakan publik Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 12/2020 yang mengatur pengelolaan lobster, kepiting, dan rajungan, memuat sejumlah subtansi bagi keberlangsungan hidup nelayan, keberlanjutan losbter di alam, serta manfaat ekonomi dalam bentuk pemasukan untuk negara.
“Dalam hal substansi ini pastinya kita harus membandingkan saat (penangkapan dan ekspor) lobster ini dilarang dan saat larangan ini dicabut. Saya pikir ada adu opini di sini, tapi yang setuju (pencabutan larangan) lebih banyak. Yang menolak hanya bangunan argumentasi elite saja,” kata Adi saat dihubungi di Jakarta, Senin 6 Juli 2020.
Dia berpendapat, kebijakan-kebijakan Menteri KKP sebelumnya seperti larangan penangkapan dan ekspor lobster, serta larangan alat tangkap cantrang, banyak merugikan nelayan. Ini dibuktikan dengan maraknya demonstrasi menentang kebijakan-kebijakan itu.
“Selama delapan bulan Edhy Prabowo menjabat, tidak ada lagi demo nelayan di KKP, tidak ada lagi nelayan yang sampai menginap di Istana,” ujar Adi.
Demontrasi nelayan memang sering terjadi di masa sebelum Edhy. Seperti saat ribuan buruh dan nelayan menggeruduk kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan pada 2015 lalu. Nelayan memrotes Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 2 Tahun 2015 itu tentang Larangan Penggunaan Pukat Hela dan Tarik di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.
Adapun demo di Istana terjadi pada 2017 lalu. Kelompok buruh dan nelayan menuntut pemerintah melegalkan cantrang, payang dan lain-lain sebagai alat tangkap nelayan. Mereka juga mendesak Presiden Jokowi untuk membatalkan seluruh peraturan yang dibuat oleh Menteri KKP saat itu, karena disebut berdampak buruk pada sektor perikanan di Tanah Air.
Adi menilai masyarakat, khususnya didunia maya, kecendrungannya lebih banyak tertarik mengomentari hal-hal yang bersifat gimik dan melupakan persoalan substansial. Padahal, kata dia, kinerja Menteri Edhy lebih terukur dan dirasakan manfaatnya oleh nelayan ketimbang menteri sebelumnya.
“Edhy bekerja dalam sunyi. Ia tak peduli dibully netizen yang entah siapa orangnya. Tapi kebijakannya dipuji Presiden, sejumlah gubernur dan nelayan,” kata Adi.
Adi mencontohkan soal pro dan kontra ekspor benih lobster. Menurutnya, kritik terhadap Edhy hanya berasal dari sentimen elite yang kemudian dikomentari oleh netizen yang tidak paham secara utuh mengenai aturan ini.
Ekspor juga dikesankan merugikan nelayan, mengancam kelestarian lobster, dan hanya menguntungkan korporasi. Padahal, menurut Adi, ekspor positif bagi negara dan masyarakat. Tak hanya dari segi devisa, tapi juga berdampak luas kepada masyarakat, khususnya nelayan dan pembudidaya dari segi peningkatan ekonomi mereka serta semakin luasnya kesempatan usaha serta lapangan kerja. “Parahnya, di medsos seringkali ini dibenturkan dengan realitas yang sesungguhnya,” tutupnya.
Adi menjelaskan, dari perspektif kebijakan publik Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 12/2020 yang mengatur pengelolaan lobster, kepiting, dan rajungan, memuat sejumlah subtansi bagi keberlangsungan hidup nelayan, keberlanjutan losbter di alam, serta manfaat ekonomi dalam bentuk pemasukan untuk negara.
“Dalam hal substansi ini pastinya kita harus membandingkan saat (penangkapan dan ekspor) lobster ini dilarang dan saat larangan ini dicabut. Saya pikir ada adu opini di sini, tapi yang setuju (pencabutan larangan) lebih banyak. Yang menolak hanya bangunan argumentasi elite saja,” kata Adi saat dihubungi di Jakarta, Senin 6 Juli 2020.
Dia berpendapat, kebijakan-kebijakan Menteri KKP sebelumnya seperti larangan penangkapan dan ekspor lobster, serta larangan alat tangkap cantrang, banyak merugikan nelayan. Ini dibuktikan dengan maraknya demonstrasi menentang kebijakan-kebijakan itu.
“Selama delapan bulan Edhy Prabowo menjabat, tidak ada lagi demo nelayan di KKP, tidak ada lagi nelayan yang sampai menginap di Istana,” ujar Adi.
Demontrasi nelayan memang sering terjadi di masa sebelum Edhy. Seperti saat ribuan buruh dan nelayan menggeruduk kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan pada 2015 lalu. Nelayan memrotes Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 2 Tahun 2015 itu tentang Larangan Penggunaan Pukat Hela dan Tarik di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.
Adapun demo di Istana terjadi pada 2017 lalu. Kelompok buruh dan nelayan menuntut pemerintah melegalkan cantrang, payang dan lain-lain sebagai alat tangkap nelayan. Mereka juga mendesak Presiden Jokowi untuk membatalkan seluruh peraturan yang dibuat oleh Menteri KKP saat itu, karena disebut berdampak buruk pada sektor perikanan di Tanah Air.
Adi menilai masyarakat, khususnya didunia maya, kecendrungannya lebih banyak tertarik mengomentari hal-hal yang bersifat gimik dan melupakan persoalan substansial. Padahal, kata dia, kinerja Menteri Edhy lebih terukur dan dirasakan manfaatnya oleh nelayan ketimbang menteri sebelumnya.
“Edhy bekerja dalam sunyi. Ia tak peduli dibully netizen yang entah siapa orangnya. Tapi kebijakannya dipuji Presiden, sejumlah gubernur dan nelayan,” kata Adi.
Adi mencontohkan soal pro dan kontra ekspor benih lobster. Menurutnya, kritik terhadap Edhy hanya berasal dari sentimen elite yang kemudian dikomentari oleh netizen yang tidak paham secara utuh mengenai aturan ini.
Ekspor juga dikesankan merugikan nelayan, mengancam kelestarian lobster, dan hanya menguntungkan korporasi. Padahal, menurut Adi, ekspor positif bagi negara dan masyarakat. Tak hanya dari segi devisa, tapi juga berdampak luas kepada masyarakat, khususnya nelayan dan pembudidaya dari segi peningkatan ekonomi mereka serta semakin luasnya kesempatan usaha serta lapangan kerja. “Parahnya, di medsos seringkali ini dibenturkan dengan realitas yang sesungguhnya,” tutupnya.
(mhd)