3 Tahun Jokowi-Ma'ruf: Kredibilitas Kebijakan Menjadi Kunci
loading...
A
A
A
Tantangan lain datang dari tingginya inflasi. Mayoritas negara di dunia saat ini sedang menghadapi laju inflasi yang tinggi. Bahkan, beberapa negara maju, seperti Amerika Serikat (AS), Inggris, dan kawasan Eropa, sedang mengalami salah satu periode inflasi tertinggi dalam sejarahnya. Dampak lanjutan dari tingginya laju inflasi tersebut adalah pengetatan kebijakan moneter.
The Fed, bank sentral AS, telah menaikkan suku bunga acuan hingga 300 bps sepanjang 2022 ini. Demikian pula dengan Bank of England yang menaikkan suku bunga acuan sebesar 200 bps pada periode yang sama. Setali tiga uang, sejumlah bank sentral lainnya juga menaikkan suku bunga acuan untuk mengendalikan laju inflasi.
Pengetatan kebijakan moneter global tersebut tentu telah berdampak pada perekonomian. Sejumlah indikator ekonomi terpantau mulai melambat. Aktivitas di sektor manufaktur global, penjualan ritel, dan consumer confidence kembali memasuki tren penurunan.
Di sektor keuangan, sejumlah negara menghadapi pelemahan nilai tukar signifikan terhadap Dolar AS. Berkaca pada situasi tersebut, sejumlah negara diperkirakan akan masuk ke periode resesi. Survei yang dilansir Bloomberg menunjukkan adanya probability cukup tinggi terjadi resesi di sejumlah negara maju, seperti AS, Inggris, dan Eropa. Bahkan, China yang selama ini cukup resilien terhadap krisis ekonomi juga mulai mengalami perlambatan.
Proyeksi yang sama juga dikeluarkan oleh International Monetary Fund (IMF) melalui World Economic Outlook(WEO) edisi Oktober 2022. Dalam laporan tersebut, IMF menyatakan bahwa risiko terjadinya resesi pada tahun 2023 mendatang semakin meningkat. Bahkan, negara-negara yang diproyeksikan akan jatuh ke jurang resesi semakin bertambah banyak dibanding laporan pada periode sebelumnya.
Sejumlah negara maju tercatat di daftar tersebut, antara lain AS, Jerman, Inggris, Prancis, Jepang, Rusia, dan Italia. Untuk Indonesia, IMF mempertahankan proyeksi ekonomi sebesar 5,3% pada 2022 dan sedikit memangkas pertumbuhan ekonomi 2023 menjadi 5%, jauh di atas pertumbuhan ekonomi global yang sebesar 2,7% pada 2023 mendatang.
Tantangan-tantangan tersebut mau tidak mau akan mewarnai periode akhir pemerintahan Presiden dan Wakil Presiden. Untuk itu, beberapa respons kebijakan akan terus disiapkan untuk mengantisipasi risiko global yang semakin eskalatif. Sekaligus menyiapkan soft landing bagi Pemerintahan periode ini.
Kebijakan Fiskal: Waspada, Responsif, Optimis
Respons kebijakan utama tentu berasal dari kebijakan fiskal. Desain kebijakan fiskal dirancang dalam mode waspada, antisipatif dan responsif untuk mengantisipasi arah ekonomi global yang semakin tidak menentu, walaupun kita semua harus optimistis bisa mengatasi semua tantangan.
APBN sebagai shock absorber akan terus digunakan untuk mengendalikan risiko, menjaga daya beli masyarakat, dan menjaga momentum pemulihan ekonomi melalui penguatan belanja prioritas. Optimalisasi belanja negara juga terus dilakukan oleh pemerintah, termasuk penguatan kebijakan subsidi dan kompensasi, serta belanja perlindungan sosial menjadi beberapa prioritas utama untuk melindungi daya beli masyarakat.
Terkait dengan daya beli masyarakat, sejumlah indikator konsumsi masih menunjukkan tren positif. Angka penjualan penjualan ritel pada bulan Agustus 2022 tumbuh sebesar 4,9% (yoy). Selain itu, consumer confidence Indonesia pada September 2022 masih berada pada level optimis, yaitu 117,2.
The Fed, bank sentral AS, telah menaikkan suku bunga acuan hingga 300 bps sepanjang 2022 ini. Demikian pula dengan Bank of England yang menaikkan suku bunga acuan sebesar 200 bps pada periode yang sama. Setali tiga uang, sejumlah bank sentral lainnya juga menaikkan suku bunga acuan untuk mengendalikan laju inflasi.
Pengetatan kebijakan moneter global tersebut tentu telah berdampak pada perekonomian. Sejumlah indikator ekonomi terpantau mulai melambat. Aktivitas di sektor manufaktur global, penjualan ritel, dan consumer confidence kembali memasuki tren penurunan.
Di sektor keuangan, sejumlah negara menghadapi pelemahan nilai tukar signifikan terhadap Dolar AS. Berkaca pada situasi tersebut, sejumlah negara diperkirakan akan masuk ke periode resesi. Survei yang dilansir Bloomberg menunjukkan adanya probability cukup tinggi terjadi resesi di sejumlah negara maju, seperti AS, Inggris, dan Eropa. Bahkan, China yang selama ini cukup resilien terhadap krisis ekonomi juga mulai mengalami perlambatan.
Proyeksi yang sama juga dikeluarkan oleh International Monetary Fund (IMF) melalui World Economic Outlook(WEO) edisi Oktober 2022. Dalam laporan tersebut, IMF menyatakan bahwa risiko terjadinya resesi pada tahun 2023 mendatang semakin meningkat. Bahkan, negara-negara yang diproyeksikan akan jatuh ke jurang resesi semakin bertambah banyak dibanding laporan pada periode sebelumnya.
Sejumlah negara maju tercatat di daftar tersebut, antara lain AS, Jerman, Inggris, Prancis, Jepang, Rusia, dan Italia. Untuk Indonesia, IMF mempertahankan proyeksi ekonomi sebesar 5,3% pada 2022 dan sedikit memangkas pertumbuhan ekonomi 2023 menjadi 5%, jauh di atas pertumbuhan ekonomi global yang sebesar 2,7% pada 2023 mendatang.
Tantangan-tantangan tersebut mau tidak mau akan mewarnai periode akhir pemerintahan Presiden dan Wakil Presiden. Untuk itu, beberapa respons kebijakan akan terus disiapkan untuk mengantisipasi risiko global yang semakin eskalatif. Sekaligus menyiapkan soft landing bagi Pemerintahan periode ini.
Kebijakan Fiskal: Waspada, Responsif, Optimis
Respons kebijakan utama tentu berasal dari kebijakan fiskal. Desain kebijakan fiskal dirancang dalam mode waspada, antisipatif dan responsif untuk mengantisipasi arah ekonomi global yang semakin tidak menentu, walaupun kita semua harus optimistis bisa mengatasi semua tantangan.
APBN sebagai shock absorber akan terus digunakan untuk mengendalikan risiko, menjaga daya beli masyarakat, dan menjaga momentum pemulihan ekonomi melalui penguatan belanja prioritas. Optimalisasi belanja negara juga terus dilakukan oleh pemerintah, termasuk penguatan kebijakan subsidi dan kompensasi, serta belanja perlindungan sosial menjadi beberapa prioritas utama untuk melindungi daya beli masyarakat.
Terkait dengan daya beli masyarakat, sejumlah indikator konsumsi masih menunjukkan tren positif. Angka penjualan penjualan ritel pada bulan Agustus 2022 tumbuh sebesar 4,9% (yoy). Selain itu, consumer confidence Indonesia pada September 2022 masih berada pada level optimis, yaitu 117,2.