New Normal Akreditasi Kampus Merdeka
loading...
A
A
A
Dr. Bramastia, M.Pd
Pemerhati Kebijakan Pendidikan dan Doktor Ilmu Pendidikan Alumnus UNS Surakarta
DUNIA pendidikan tengah bersiap menghadapi era new normal (normal baru) setelah penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Era new normal tanpa ada kompromi seakan memaksa dunia pendidikan tinggi senantiasa cepat dan tanggap beradaptasi. Babak baru new normal ini selarang dengan regulasi baru akreditasi sebagaimana Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) No. 5/2020 tentang akreditasi program studi (Prodi) dan perguruan tinggi (PT) mengatur kebijakan re-akreditasi yang bersifat otomatis bagi seluruh peringkat dan bersifat sukarela bagi perguruan tinggi sekaligus prodi yang sudah siap naik peringkat.
Kebijakan terbaru bahwa Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) bisa memperpanjang kembali jangka waktu akreditasi selama lima tahun tanpa melalui permohonan perpanjangan akreditasi dari perguruan tinggi menjadi poin baru di era new normal. Bahkan sebelum BAN-PT ada, akreditasi program studi dan institusi pendidikan tinggi pun sudah ada sejak 2005. Saat itu, sistem akreditasi hanya berlaku dan mengacu pada institusi saja, yakni terdaftar, diakui, dan disamakan. Adapun dasar rujukan hukum yang melandasi akreditasi pada saat itu justru produk masa Orde Lama, yakni Undang-Undang No. 22/1961 tentang Pendidikan Tinggi.
Lebih daripada itu, implementasi akreditasi “Kampus Merdeka” juga sudah ada sejak dulu. Ada kesederhanaan ‘implementasi’ akreditasi bisa dilihat dari ‘sangat sederhananya’ definisi tentang akreditasi yang terjadi pada masa itu. Bayangkan saja, dalam Undang-Undang No. 2/1989 bahwa kata akreditasi hanya terdapat pada penjelasan ayat 1 dari pasal 46 saja. Namun seiring waktu, ada penyempurnaan yang perlahan dilakukan pada definisi sistem pendidikan nasional sebagaimana Undang-Undang No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).
Pergulatan tentang akreditasi terus mengalami dinamika perbaikan secara regulasi. Bahkan, sebelum pemberlakuan SK Mendiknas No.184/U/2001 tentang Pedoman Pengawasan-Pengendalian dan Pembinaan Program Diploma, Sarjana, dan Pascasarjana di Perguruan Tinggi, ada tiga status (akreditasi) bagi perguruan tinggi swasta (PTS) pada saat itu yang masih berlaku, yakni terdaftar, diakui, dan disamakan. Stempel akreditasi inilah kemudian melahirkan strata kampus seluruh Tanah Air.
Kebijakan Berulang
Istilah akreditasi minimum bahkan bukan hal yang asing, mengingat penetapan akreditasi standar prodi terletak pada grade atau nilai C bagi prodi sudah berjalan atau perguruan tinggi yang baru mendapatkan izin penyelenggaraan oleh Dirjen Pendidikan Tinggi (atau Menteri Pendidikan saat itu). Grade atau nilai C ini sebagai bentuk pengakuan telah memenuhi persyaratan minimum akreditasi, baik untuk program studi maupun institusi pendidikan tinggi. Inilah implementasi dari sebuah akreditasi minimum dari bagi perguruan tinggi dan program studi.
Setelah mendapatkan nilai akreditasi minimum, baik prodi maupun perguruan tinggi harus memperbaiki dalam rentang waktu enam bulan, dengan cara mengajukan sebuah permohonan akreditasi ulang pada pihak BAN-PT. Bila tidak diajukan, maka penyelenggaraan program studi bisa dinyatakan tidak sah dan surat izin atas penyelenggaraan dapat dicabut. Maka itu, perguruan tinggi harus bekerja keras agar prodi mendapatkan nilai akreditasi minimal B, tapi andaikan belum diperoleh nilai B, maka akan ditetapkan lagi oleh BAN-PT bahwa nilai akreditasi program studi yang bersangkutan masih pada tingkat C.
Setelah diberlakunya Undang-Undang No. 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi dan Permendikbud No. 59/2012 tentang Badan Akreditasi Nasional, maka fungsi utama dalam peran dan tugas BAN-PT mengalami pergeseran yang signifikan. BAN-PT memiliki peran mengembangkan sistem akreditasi nasional, melaksanakan akreditasi institusi, melaksanakan penilaian kelayakan prodi dan perguruan tinggi baru bersama Ditjen Dikti, memberikan rekomendasi, dan evaluasi terhadap Lembaga Akreditasi Mandiri (LAM) sekaligus melaksanakan akreditasi program studi yang belum memiliki LAM serumpun.
Produk akreditasi ibaratnya sebuah stempel seksi. Upaya penertiban produk perguruan tinggi dilakukan dengan kewajiban perguruan tinggi untuk tunduk pada berbagai aturan dan tata tertib dalam mendapatkan akreditasi prodi. Dasar hukum yang utama adalah Undang-Undang No.12/2012 tentang Pendidikan Tinggi, khususnya paragraf 1 dari bagian IX yang membahas tentang proses pendidikan dan pembelajaran, atau tepatnya pada Pasal 33 dan 34.
Ironisnya, muncul Permendikbud No. 87/2014 tentang Akreditasi Program Studi dan Perguruan Tinggi, yang mencabut terhadap semua ketentuan untuk mengatur tentang akreditasi perguruan tinggi, program studi, serta BAN-PT sebagaimana Permendikbud No. 59/2012 tentang BAN. Proses akreditasi kemudian berubah dan semakin rumit membuat akreditasi seakan menjadi hantu bagi perguruan tinggi di seluruh kampus di Tanah Air. Kebijakan ini membuat kampus kembali terpasung dalam sebuah proses “penjajahan” akreditasi.
Pemerhati Kebijakan Pendidikan dan Doktor Ilmu Pendidikan Alumnus UNS Surakarta
DUNIA pendidikan tengah bersiap menghadapi era new normal (normal baru) setelah penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Era new normal tanpa ada kompromi seakan memaksa dunia pendidikan tinggi senantiasa cepat dan tanggap beradaptasi. Babak baru new normal ini selarang dengan regulasi baru akreditasi sebagaimana Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) No. 5/2020 tentang akreditasi program studi (Prodi) dan perguruan tinggi (PT) mengatur kebijakan re-akreditasi yang bersifat otomatis bagi seluruh peringkat dan bersifat sukarela bagi perguruan tinggi sekaligus prodi yang sudah siap naik peringkat.
Kebijakan terbaru bahwa Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) bisa memperpanjang kembali jangka waktu akreditasi selama lima tahun tanpa melalui permohonan perpanjangan akreditasi dari perguruan tinggi menjadi poin baru di era new normal. Bahkan sebelum BAN-PT ada, akreditasi program studi dan institusi pendidikan tinggi pun sudah ada sejak 2005. Saat itu, sistem akreditasi hanya berlaku dan mengacu pada institusi saja, yakni terdaftar, diakui, dan disamakan. Adapun dasar rujukan hukum yang melandasi akreditasi pada saat itu justru produk masa Orde Lama, yakni Undang-Undang No. 22/1961 tentang Pendidikan Tinggi.
Lebih daripada itu, implementasi akreditasi “Kampus Merdeka” juga sudah ada sejak dulu. Ada kesederhanaan ‘implementasi’ akreditasi bisa dilihat dari ‘sangat sederhananya’ definisi tentang akreditasi yang terjadi pada masa itu. Bayangkan saja, dalam Undang-Undang No. 2/1989 bahwa kata akreditasi hanya terdapat pada penjelasan ayat 1 dari pasal 46 saja. Namun seiring waktu, ada penyempurnaan yang perlahan dilakukan pada definisi sistem pendidikan nasional sebagaimana Undang-Undang No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).
Pergulatan tentang akreditasi terus mengalami dinamika perbaikan secara regulasi. Bahkan, sebelum pemberlakuan SK Mendiknas No.184/U/2001 tentang Pedoman Pengawasan-Pengendalian dan Pembinaan Program Diploma, Sarjana, dan Pascasarjana di Perguruan Tinggi, ada tiga status (akreditasi) bagi perguruan tinggi swasta (PTS) pada saat itu yang masih berlaku, yakni terdaftar, diakui, dan disamakan. Stempel akreditasi inilah kemudian melahirkan strata kampus seluruh Tanah Air.
Kebijakan Berulang
Istilah akreditasi minimum bahkan bukan hal yang asing, mengingat penetapan akreditasi standar prodi terletak pada grade atau nilai C bagi prodi sudah berjalan atau perguruan tinggi yang baru mendapatkan izin penyelenggaraan oleh Dirjen Pendidikan Tinggi (atau Menteri Pendidikan saat itu). Grade atau nilai C ini sebagai bentuk pengakuan telah memenuhi persyaratan minimum akreditasi, baik untuk program studi maupun institusi pendidikan tinggi. Inilah implementasi dari sebuah akreditasi minimum dari bagi perguruan tinggi dan program studi.
Setelah mendapatkan nilai akreditasi minimum, baik prodi maupun perguruan tinggi harus memperbaiki dalam rentang waktu enam bulan, dengan cara mengajukan sebuah permohonan akreditasi ulang pada pihak BAN-PT. Bila tidak diajukan, maka penyelenggaraan program studi bisa dinyatakan tidak sah dan surat izin atas penyelenggaraan dapat dicabut. Maka itu, perguruan tinggi harus bekerja keras agar prodi mendapatkan nilai akreditasi minimal B, tapi andaikan belum diperoleh nilai B, maka akan ditetapkan lagi oleh BAN-PT bahwa nilai akreditasi program studi yang bersangkutan masih pada tingkat C.
Setelah diberlakunya Undang-Undang No. 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi dan Permendikbud No. 59/2012 tentang Badan Akreditasi Nasional, maka fungsi utama dalam peran dan tugas BAN-PT mengalami pergeseran yang signifikan. BAN-PT memiliki peran mengembangkan sistem akreditasi nasional, melaksanakan akreditasi institusi, melaksanakan penilaian kelayakan prodi dan perguruan tinggi baru bersama Ditjen Dikti, memberikan rekomendasi, dan evaluasi terhadap Lembaga Akreditasi Mandiri (LAM) sekaligus melaksanakan akreditasi program studi yang belum memiliki LAM serumpun.
Produk akreditasi ibaratnya sebuah stempel seksi. Upaya penertiban produk perguruan tinggi dilakukan dengan kewajiban perguruan tinggi untuk tunduk pada berbagai aturan dan tata tertib dalam mendapatkan akreditasi prodi. Dasar hukum yang utama adalah Undang-Undang No.12/2012 tentang Pendidikan Tinggi, khususnya paragraf 1 dari bagian IX yang membahas tentang proses pendidikan dan pembelajaran, atau tepatnya pada Pasal 33 dan 34.
Ironisnya, muncul Permendikbud No. 87/2014 tentang Akreditasi Program Studi dan Perguruan Tinggi, yang mencabut terhadap semua ketentuan untuk mengatur tentang akreditasi perguruan tinggi, program studi, serta BAN-PT sebagaimana Permendikbud No. 59/2012 tentang BAN. Proses akreditasi kemudian berubah dan semakin rumit membuat akreditasi seakan menjadi hantu bagi perguruan tinggi di seluruh kampus di Tanah Air. Kebijakan ini membuat kampus kembali terpasung dalam sebuah proses “penjajahan” akreditasi.