Operasi Sapta Marga Menumpas Gerakan Separatis PRRI/Permesta
loading...
A
A
A
JAKARTA - Operasi Sapta Marga merupakan operasi yang dilakukan TNI untuk menumpas gerakan separatisme Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera dan Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta) Sulawesi pada awal-awal kemerdekaan Indonesia pada 1950.
Dikutip dari buku berjudul “Sejarah TNI-AD, 1945-1973: Peranan TNI-AD dalam Mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dinas Sejarah Militer Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat yang diterbitkan Dinas Sejarah Militer Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat. (2018)” dijelaskan pemberontakan PRRI/Permesta dilatarbelakangi ketidakpuasan daerah terhadap kebijakan pemerintah pusat.
Mereka menganggap pemerintah pusat lebih mengistimewakan pembangunan di Pulau Jawa dibandingkan dengan pulau-pulau lainnya. Beberapa tokoh seperti, Letnan Kolonel Ahmad Husein, Mr. Sjafruddin Prawiranegara, Mayor Syoe’ib, Dahlan Djambek dan sebagainya membentuk Dewan Banteng Sumatera Tengah.
Berdirinya Dewan Banteng tersebut kemudian diikuti dengan pembentukan dewan serupa di berbagai daerah yakni, Dewan Gajah di Sumatera Utara pimpinan Kolonel Maludin Simbolon; Dewan Garuda di Sumatera Selatan pimpinan Letkol Barlian; dan Dewan Manguni di Sulawesi Utara dengan pimpinan Letkol Ventje Sumual. Di Sulawesi Letkol Ventje Sumual mendeklarasikan Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta).
Setelah pembentukan Dewan Banteng pada 20 Desember 1956, Ketua Dewan Banteng Letkol Ahmad Husein kemudian merebut kekuasaan pemerintah daerah dari Gubernur Ruslan Muljohardjo. Letkol Ahmad Husein kemudian mendeklarasikan PRRI pada 15 Februari 1958.
Baca Juga: Gagalnya Operasi CIA dalam Pemberontakan PRRI/Permesta
Sedangkan, di Sulawesi, pada 2 Maret 1957 pukul 03.00 di kediaman gubernur di Makassar, Sumual memproklamasikan keadaan perang untuk seluruh wilayah TT-VII yaitu seluruh wilayah Indonesia timur. Sumual kemudian mengumumkan Piagam Perjuangan Permesta. Pembacaan piagam dilakukan oleh Letkol Saleh Lahade, melalui Radio Makassar.
Pada waktu yang bersamaan, Panglima Tentara dan Teritorium Indonesia bagian Timur Letnan Kolonel Samual mengangkat diri sebagai penguasa perang daerah itu. Piagam itu menuntut agar keempat provinsi yang termasuk dalam TT VII, yaitu Sulawesi Selatan-Tenggara, Sulawesi Utara-Tengah, Maluku, dan Kepulauan Sunda Kecil diberi otonomi keuangan yang seluas-luasnya untuk kemakmuran di daerah.
Menanggapi persoalan ini, pemerintah kemudian melakukan diplomasi dengan menggelar musyawarah nasional. Namun upaya tersebut tidak berhasil. Untuk menumpas pemberontakan PRRI/Permesta, pemerintah akhirnya melancarkan serangkaian operasi militer. Salah satunya Operasi Merdeka yang dipimpin oleh Komandan Operasi Merdeka Letkol Inf. Rukminto Hendraningrat dengan wakilnya Letkol KKO Huhnholtz dan Mayor (U) Leo Wattimena.
Operasi Merdeka ini mencakup Operasi Sapta Marga yang dibagi dalam beberapa tahap yaitu:
Operasi Sapta Marga I
Operasi yang dipimpin oleh Letkol Sumarsono ini ditujukan untuk menumpas pemberontakan di Sulawesi Tengah. Tepat pada 1 April 1958 pasukan ini berhasil menguasai Palu, kemudian daerah Kuwali dan Donggala. Pada 1 Juni 1958 seluruh Sulawesi Tengah akhirnya berhasil dikuasai TNI.
Operasi Sapta Marga II
Setelah Sulawesi Tengah berhasil dikuasai TNI dalam Operasi Sapta Marga I selanjutnya digelar Operasi Sapta Marga II yang dipimpin oleh Mayor Agus Prasmono untuk merebut Kota Gorontalo, Lapangan Terbang Tolotio dan daerah sekitarnya. Untuk merebut titik-titik tersebut, Mayor Agus Prasmono diperkuat oleh pasukan Yon 512/Brawijaya, Yon 715/Hasanuddin, dan 1 detasemen Koandait.
Sebenarnya pada 25 Februari 1958 di Gorontalo timbul gerakan untuk membebaskan diri dari tangan pemberontak yang dipimpin oleh Nanti Wartabone. Namun karena tidak mendapat bantuan akhirnya Gorontalo dikuasai pemberontak. Dengan kedatangan pasukan TNI akhirnya Gorontalo dapat dikuasai kembali pada 19 Mei 1958.
Pemberontak Permesta di bawah pimpinan Letnan Pantow berusaha merebut Kota Gorontalo kembali. Setelah melalui pertempuran sengit, upaya tersebut berhasil digagalkan TNI dengan memukul mundur musuh. Selanjutnya, TNI melakukan gerakan ke arah barat laut Gorontalo untuk merebut Lapangan TerbangTolotio.
Meski lapangan terbang ini dipertahankan oleh anggota-anggota bekas KNIL yang menjadi kebanggaan Permesta, namun pada 1 Juni 1958 TNI berhasil menguasai lapangan terbang tersebut.
Operasi Sapta Marga III
Operasi yang dipimpin oleh Letkol Magenda dilakukan untuk membebaskan Sangir-Talaud, dan Manado dari tangan pemberontak. Dalam pergerakannya, pasukan ini bekerja sama dengan pasukan yang tergabung dalam Operasi Mena pimpinan Letkol H Pieters dan Letkol KKO Huhnholtz.
Pasukan yang tergabung dalam Operasi Sapta Marga III ini terdiri dari 35 anggota Divisi Siliwangi, 44 pelajar, mahasiswa, dan pegawai sebagai combat troops. Pada 23 Mei 1958 Sangir-Talaud dapat dikuasai tanpa kesulitan karena anggota Yon X yang mempertahankan daerah tersebut menyadari telah diperalat. Setelah berhasil mengusai sejumlah pulau, jalan untuk menguasai Manado dari darat maupun laut terbuka.
Operasi Sapta Marga IV
Untuk menguasai Manado, digelar Operasi Sapta Marga IV yang dipimpin oleh Letkol Rukminto Hendraningrat. Dalam operasi ini, Angkatan Darat mengerahkan Yon 501/Brawijaya pimpinan Mayor Sumadi, Yon 432/Diponegoro pimpinan Mayor Kusworo, Yon A 601/Tanjungpura pimpinan Mayor Suharto dan RPKAD.
Dari arah laut, pendaratan akan dilakukan pasukan yang dipimpin oleh Letkol (L) John Lie. Pada 16 Juni 1958 dilakukan pendaratan besar-besaran di Kema. Dengan mendaratkan semua pasukan dalam Operasi Sapta Marga IV di Kema maka semua operasi yang ada di daratan Sulawesi Utara dirubah sebutannya menjadi Operasi Merdeka.
Setelah Kema berhasil dikuasai, penyerbuan dilakukan ke tiga arah yakni, ke utara menuju Manado, ke timur menuju Bitung, dan ke barat menuju Makalisung. Pada 18 Juni 1958 Airmadidi sejauh 14 Km sebelah selatan Manado berhasil direbut. Sehari sebelumnya Bitung yang merupakan kota pelabuhan berhasil juga berhasil dikuasai TNI.
Pasukan TNI kemudian merebut wilayah Wori sebagai batu loncatan untuk merebut Manado. Pada 26 Juni 1958 dalam serangan serentak akhirnya Kota Manado berhasil dikuasai.
Pada Oktober 1961, akhirnya seluruh wilayah yang dikuasai oleh pasukan Permesta berhasil kembali ke Republik Indonesia. Permesta resmi berakhir dengan pemberian amnesti dan abolisi kepada mereka yang terlibat melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 322 Tahun 1961.
Dikutip dari buku berjudul “Sejarah TNI-AD, 1945-1973: Peranan TNI-AD dalam Mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dinas Sejarah Militer Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat yang diterbitkan Dinas Sejarah Militer Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat. (2018)” dijelaskan pemberontakan PRRI/Permesta dilatarbelakangi ketidakpuasan daerah terhadap kebijakan pemerintah pusat.
Mereka menganggap pemerintah pusat lebih mengistimewakan pembangunan di Pulau Jawa dibandingkan dengan pulau-pulau lainnya. Beberapa tokoh seperti, Letnan Kolonel Ahmad Husein, Mr. Sjafruddin Prawiranegara, Mayor Syoe’ib, Dahlan Djambek dan sebagainya membentuk Dewan Banteng Sumatera Tengah.
Berdirinya Dewan Banteng tersebut kemudian diikuti dengan pembentukan dewan serupa di berbagai daerah yakni, Dewan Gajah di Sumatera Utara pimpinan Kolonel Maludin Simbolon; Dewan Garuda di Sumatera Selatan pimpinan Letkol Barlian; dan Dewan Manguni di Sulawesi Utara dengan pimpinan Letkol Ventje Sumual. Di Sulawesi Letkol Ventje Sumual mendeklarasikan Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta).
Setelah pembentukan Dewan Banteng pada 20 Desember 1956, Ketua Dewan Banteng Letkol Ahmad Husein kemudian merebut kekuasaan pemerintah daerah dari Gubernur Ruslan Muljohardjo. Letkol Ahmad Husein kemudian mendeklarasikan PRRI pada 15 Februari 1958.
Baca Juga: Gagalnya Operasi CIA dalam Pemberontakan PRRI/Permesta
Sedangkan, di Sulawesi, pada 2 Maret 1957 pukul 03.00 di kediaman gubernur di Makassar, Sumual memproklamasikan keadaan perang untuk seluruh wilayah TT-VII yaitu seluruh wilayah Indonesia timur. Sumual kemudian mengumumkan Piagam Perjuangan Permesta. Pembacaan piagam dilakukan oleh Letkol Saleh Lahade, melalui Radio Makassar.
Pada waktu yang bersamaan, Panglima Tentara dan Teritorium Indonesia bagian Timur Letnan Kolonel Samual mengangkat diri sebagai penguasa perang daerah itu. Piagam itu menuntut agar keempat provinsi yang termasuk dalam TT VII, yaitu Sulawesi Selatan-Tenggara, Sulawesi Utara-Tengah, Maluku, dan Kepulauan Sunda Kecil diberi otonomi keuangan yang seluas-luasnya untuk kemakmuran di daerah.
Menanggapi persoalan ini, pemerintah kemudian melakukan diplomasi dengan menggelar musyawarah nasional. Namun upaya tersebut tidak berhasil. Untuk menumpas pemberontakan PRRI/Permesta, pemerintah akhirnya melancarkan serangkaian operasi militer. Salah satunya Operasi Merdeka yang dipimpin oleh Komandan Operasi Merdeka Letkol Inf. Rukminto Hendraningrat dengan wakilnya Letkol KKO Huhnholtz dan Mayor (U) Leo Wattimena.
Operasi Merdeka ini mencakup Operasi Sapta Marga yang dibagi dalam beberapa tahap yaitu:
Operasi Sapta Marga I
Operasi yang dipimpin oleh Letkol Sumarsono ini ditujukan untuk menumpas pemberontakan di Sulawesi Tengah. Tepat pada 1 April 1958 pasukan ini berhasil menguasai Palu, kemudian daerah Kuwali dan Donggala. Pada 1 Juni 1958 seluruh Sulawesi Tengah akhirnya berhasil dikuasai TNI.
Operasi Sapta Marga II
Setelah Sulawesi Tengah berhasil dikuasai TNI dalam Operasi Sapta Marga I selanjutnya digelar Operasi Sapta Marga II yang dipimpin oleh Mayor Agus Prasmono untuk merebut Kota Gorontalo, Lapangan Terbang Tolotio dan daerah sekitarnya. Untuk merebut titik-titik tersebut, Mayor Agus Prasmono diperkuat oleh pasukan Yon 512/Brawijaya, Yon 715/Hasanuddin, dan 1 detasemen Koandait.
Sebenarnya pada 25 Februari 1958 di Gorontalo timbul gerakan untuk membebaskan diri dari tangan pemberontak yang dipimpin oleh Nanti Wartabone. Namun karena tidak mendapat bantuan akhirnya Gorontalo dikuasai pemberontak. Dengan kedatangan pasukan TNI akhirnya Gorontalo dapat dikuasai kembali pada 19 Mei 1958.
Pemberontak Permesta di bawah pimpinan Letnan Pantow berusaha merebut Kota Gorontalo kembali. Setelah melalui pertempuran sengit, upaya tersebut berhasil digagalkan TNI dengan memukul mundur musuh. Selanjutnya, TNI melakukan gerakan ke arah barat laut Gorontalo untuk merebut Lapangan TerbangTolotio.
Meski lapangan terbang ini dipertahankan oleh anggota-anggota bekas KNIL yang menjadi kebanggaan Permesta, namun pada 1 Juni 1958 TNI berhasil menguasai lapangan terbang tersebut.
Operasi Sapta Marga III
Operasi yang dipimpin oleh Letkol Magenda dilakukan untuk membebaskan Sangir-Talaud, dan Manado dari tangan pemberontak. Dalam pergerakannya, pasukan ini bekerja sama dengan pasukan yang tergabung dalam Operasi Mena pimpinan Letkol H Pieters dan Letkol KKO Huhnholtz.
Pasukan yang tergabung dalam Operasi Sapta Marga III ini terdiri dari 35 anggota Divisi Siliwangi, 44 pelajar, mahasiswa, dan pegawai sebagai combat troops. Pada 23 Mei 1958 Sangir-Talaud dapat dikuasai tanpa kesulitan karena anggota Yon X yang mempertahankan daerah tersebut menyadari telah diperalat. Setelah berhasil mengusai sejumlah pulau, jalan untuk menguasai Manado dari darat maupun laut terbuka.
Operasi Sapta Marga IV
Untuk menguasai Manado, digelar Operasi Sapta Marga IV yang dipimpin oleh Letkol Rukminto Hendraningrat. Dalam operasi ini, Angkatan Darat mengerahkan Yon 501/Brawijaya pimpinan Mayor Sumadi, Yon 432/Diponegoro pimpinan Mayor Kusworo, Yon A 601/Tanjungpura pimpinan Mayor Suharto dan RPKAD.
Dari arah laut, pendaratan akan dilakukan pasukan yang dipimpin oleh Letkol (L) John Lie. Pada 16 Juni 1958 dilakukan pendaratan besar-besaran di Kema. Dengan mendaratkan semua pasukan dalam Operasi Sapta Marga IV di Kema maka semua operasi yang ada di daratan Sulawesi Utara dirubah sebutannya menjadi Operasi Merdeka.
Setelah Kema berhasil dikuasai, penyerbuan dilakukan ke tiga arah yakni, ke utara menuju Manado, ke timur menuju Bitung, dan ke barat menuju Makalisung. Pada 18 Juni 1958 Airmadidi sejauh 14 Km sebelah selatan Manado berhasil direbut. Sehari sebelumnya Bitung yang merupakan kota pelabuhan berhasil juga berhasil dikuasai TNI.
Pasukan TNI kemudian merebut wilayah Wori sebagai batu loncatan untuk merebut Manado. Pada 26 Juni 1958 dalam serangan serentak akhirnya Kota Manado berhasil dikuasai.
Pada Oktober 1961, akhirnya seluruh wilayah yang dikuasai oleh pasukan Permesta berhasil kembali ke Republik Indonesia. Permesta resmi berakhir dengan pemberian amnesti dan abolisi kepada mereka yang terlibat melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 322 Tahun 1961.
(cip)