Sejarah G30S PKI: Latar Belakang, Tujuan, dan Kronologinya
loading...
A
A
A
JAKARTA - G30S PKI memiliki sejarah, latar belakang, dan tujuan yang patut diketahui oleh seluruh masyarakat Indonesia. Tragedi dua hari satu malam ini berdampak besar terhadap perjalanan bangsa Indonesia ke depan.
Istilah G30S PKI merujuk pada gerakan yang dilakukan Partai Komunis Indonesia (PKI) pada 30 September 1965. Gerakan ini menyebabkan korban di kalangan petinggi militer dan sipil. Sebanyak 10 perwira tewas dalam peristiwa tersebut, yakni Letjen Ahmad Yani, Mayjen R Suprapto, Mayjen MT Haryono, Mayjen S Parman, Brigjen DI Panjaitan, Brigjen Sutoyo Siswomiharjo, Lettu Piere Tendean, Brigadir Polisi KS Tubun, Kolonel Katamso, dan Letkol Sugiono. Sementara satu korban tewas dari warga sipil adalah adalah Ade Irma Suryani, putri Jenderal AH Nasution yang berhasil selamat dari penculikan yang dilakukan PKI.
PKI merupakan salah satu partai resmi di Indonesia. Partai berpaham komunis ini telah berdiri jauh sebelum Indonesia merdeka. Berdasarkan buku berjudul Kehancuran Golongan Komunis di Indonesia (Abdul Syukur, 2008), cikal bakal PKI adalah serikat buruh bernama Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV) yang dibentuk oleh Hendricus Josephus Fransiscus Marie Sneevliet dan koleganya. Anggotanya adalah 85 orang Belanda yang bekerja di pelabuhan-pelabuhan Hindia Belanda.
Baca juga: Pangkat Terakhir 7 Pahlawan Revolusi Setelah Mendapatkan Penghargaan Anumerta
ISDV memperkenalkan ide-ide Marxis kepada pribumi, terutama buruh, untuk menentang kolonial. Dalam perkembangannya, penyebaran Marxisme juga menyasar intelektual, agamawan, hingga kaum nasionalis.
Belanda melihat organisasi ini sebagai ancaman, sehingga memulangkan para pentolan ISDV ke Belanda, termasuk Sneevliet pada 1918. Sneevliet meninggalkan 400 anggota ISDV di Hindia Belanda yang mayoritas adalah orang pribumi.
Sepeninggal Sneevliet, anggota ISDV kemudian mendirikan Perserikatan Komunis di Hindia (PKH) pada 1920. Sebagai ketua adalah Semaun dan wakil ketua Darsono. Pada 1924, PKH mengubah namanya menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI) dan meresmikan posisinya sebagai organisasi politik yang bertujuan dalam perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia.
Meski berpaham komunitas, nyatanya PKI cukup diterima oleh masyarakat Indonesia. Berdasarkan buku Sejarah Indonesia Modern (MC Ricklefs, 2004), pada Pemilu 1955, dari 39 juta pemilih, PKI meraih 6.176.914 suara. PKI berada di urutan keempat setelah PNI (8.434.653 suara), Masyumi (7.903.886 suara), NU (6.955.141 suara). Dengan perolehan suara itu, PKI berhasil menempatkan 39 wakilnya duduk di Parlemen.
Baca juga: Cerita 200 Ribu Warga Malang Sesaki Rapat Akbar PKI saat Pemilu 1955
Sejarah G30S PKI
Mengutip Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 28 Tahun 1975, G30S PKI adalah peristiwa pengkhianatan/pemberontakan yang dilancarkan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) dan atau pengikut-pengikutnya terhadap Pemerintah Republik Indonesia pada tanggal 30 September 1965, termasuk gerakan/kegiatan persiapan serta gerakan kegiatan lanjutannya.
Gerakan yang dimotori PKI pimpinan Dipa Nusantara (DN) Aidit ini terjadi di Jakarta dan Yogyakarta dengan melibatkan Pasukan Cakrabirawa di bawah kendali Letnan Kolonel Untung Syamsuri. Gerakan ini awalnya mengincar Perwira Tinggi dan Dewan Jenderal dengan menculik mereka untuk dibawa ke Lubang Buaya. Namun dalam pelaksanaanya, tiga orang langsung dibunuh di tempat.
Mereka yang menjadi korban G30S PKI adalah Letjen Ahmad Yani (Menteri/Panglima TNI Angkatan Darat/Pangad), Mayjen R Soeprapto (Deputy II Men/Pangad), Mayjen Mas Tirtodarmo Harjono (Deputy III Men/Pangad), Mayjen S Parman (Asisten I Men/Pangad), Brigjen DI Panjaitan (Asisten VI Men/Pangad), dan Brigjen Soetojo Siswomihardjo (Inspektur Kehakiman AD).
Pada peristiwa ini Jenderal AH Nasution (Menhankam) berhasil lolos dari usaha penculikan. Namun putrinya yang bernama Ade Irma Suryani yang berusia 5 tahun serta ajudannya yang bernama Lettu Piere Andreas Tendean meninggal dunia dalam peristiwa tersebut.
Gerakan ini juga menyebar di Yogyakarta. Kolonel Katamso dan Letkol Sugiono menjadi korban karena tidak mendukung gerakan ini.
Tujuan G30S PKI
Tujuan utama G30S PKI adalah untuk menggulingkan pemerintahan Presiden Soekarno. PKI ingin mengubah ideologi bangsa Indonesia, dari Pancasila menjadi komunis.
Rangkaian penculikan dan pembunuhan terhadap Perwira Tinggi dan Dewan Jenderal pada 30 September hingga 1 Oktober 1965 dilakukan untuk menyingkirkan TNI Angkatan Darat yang menjadi penghalang bagi PKI untuk mewujudkan cita-citanya menjadikan ideologi komunis menjadi sistem pemerintahan. PKI sangat ingin menjadi Indonesia sebagai negara komunis.
Latar Belakang G30S PKI
PKI menjelma menjadi partai besar dan memiliki pengaruh cukup kuat di dalam perpolitikan Indonesia. Berdasarkan buku Communism and Econimic Development karya Roger W Benjamin dan John H Kautsky (1968), jumlah anggota PKI telah mencapai 3 juta orang pada 1965. PKI juga memiliki sejumlah suborganisasi, seperti Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), Pemuda Rakjat, Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia, Barisan Tani Indonesia, Himpunan Sardjana Indonesia, dan Lembaga Kebudayaan Rakjat (Lekra). Apabila dijumlahkan keseluruhan anggotanya mencapai seperlima dari total penduduk Indonesia kala itu.
Peristiwa G30S PKI dilatar belakangi persaingan politik antara PKI dan TNI. PKI sebagai kekuatan politik merasa khawatir dengan kondisi kesehatan Presiden Soekarno yang memburuk. PKI saat itu tengah mendapatkan tempat di pemerintahan Soekarno. Sejumlah usulannya diterima oleh Soekarno dan diterapkan. Misalnya saja soal pembentukan Angkatan Kelima yang menjadikan buruh dan petani sebagai kekuatan militer untuk mendukung operasi-operasi militer, seperti Dwikora yang sedang dilaksanakan waktu itu. Juga soal pembubaran Partai Masyumi yang dianggap bertanggung jawab atas peristiwa PRRI/Persemesta.
TNI sebagai kekuatan militer Indonesia di bawah pimpinan Jenderal AH Nasution sebenarnya tidak sepakat dengan usulan Angkatan Kelima. TNI khawatir PKI akan menyalahgunakan penggunaan senjata oleh buruh dan tani untuk melakukan pemberontakan. Apalagi saat itu muncul rumor PKI sedang mempersiapkan rencana kudeta.
Pada awal Agustus 1965, Presiden Soekarno tiba-tiba pingsan setelah berpidato. Banyak pihak yang beranggapan bahwa usia beliau tidak akan lama lagi, sehingga muncul pertanyaan besar yakni, siapa pengganti Presiden Soekarno nantinya? Pertanyaan tersebut yang menyebabkan persaingan semakin tajam antara PKI dengan TNI.
Kronologi G30S PKI
Mengutip buku Sejarah Indonesia Modern (MC Ricklefs, 2004), pada 27 September 1965, Panglima TNI Angkatan Darat (Pangad) Letjen Ahmad Yani mengumumkan TNI AD menentang pembentukan Angkatan Kelima.
Tiga hari setelahnya, tepatnya 30 September, malam hari, satu batalyon pengawal Istana pimpinan Letnan Kolonel Untung Syamsuri, satu batalyon dari Divisi Diponegoro, satu batalyon dari Divisi Brawijaya dan orang-orang sipil dari Pemuda Rakjat meninggalkan Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma. Mereka bertugas menculik para perwira dan Dewan Jenderal.
Pasukan bergerak mulai pukul 03.00 WIB. Enam jenderal berhasil diculik, dua di antaranya dibunuh di tempat, sementara sisanya dibawa ke Lubang Buaya, Pondok Gede, Jakarta Timur, yang akhirnya juga tewas akibat disiksa. Mereka yang menjadi korban pembunuhan adalah Letjen Ahmad Yani, Mayjen S Parman, Mayjen R Soeprapto, Brigjen DI Panjaitan, Mayjen MT Harjono, dan Brigjen Soetojo Siswomihardjo. Jenazah mereka baru ditemukan beberapa hari kemudian.
Satu Jenderal selamat dalam penculikkan ini yakni Jenderal AH Nasution. Namun putrinya menjadi korban yakni Ade Irma Suryani serta ajudannya Lettu Piere Tandean. Korban lain ialah Brigadir Polisi KS Tubun wafat ketika mengawal rumah Dr J Leimana.
Gerakan ini menyebar juga ke Yogyakarta. Kolonel Katamso dan Letkol Sugiono menjadi korban karena tidak mendukung gerakan G30S PKI.
Setelah berhasil menculik dan membunuh petinggi TNI AD, PKI menguasai gedung Radio Republik Indonesia (RRI). PKI mengumumkan sebuah Dekrit yang diberi nama Dekrit No 1 yang menyatakan bahwa gerakan G30S adalah upaya penyelamatan negara dari Dewan Jenderal yang ingin mengambil alih negara.
Mengutip buku berjudul Kehancuran Golongan Komunis di Indonesia (Abdul Syukur, 2008), pada hari berikutnya, para petinggi militer mengumpulkan seluruh ketua partai politik tapi PKI dan Parkindo tidak hadir. Para ketua partai dimintai untuk menentukan pilihan apakah akan mendukung Angkatan Darat atau Komunisme.
Setelah itu, para pemimpin partai dan ormas mengadakan ceramah umum di Taman Sunda Kelapa. Di akhirnya kegiatan, mereka membacakan pernyataan bersama yang mengutuk tindakan kudeta 30 September yang telah memakan korban 6 Jenderal. Pernyataan ini secara tegas menyatakan bahwa PKI sebagai dalang kudeta oleh karenannya PKI dan ormas-ormasnya harus dibubarkan. Akhirnya pada 12 Maret 1966, PKI resmi dibubarkan oleh pemerintah.
Istilah G30S PKI merujuk pada gerakan yang dilakukan Partai Komunis Indonesia (PKI) pada 30 September 1965. Gerakan ini menyebabkan korban di kalangan petinggi militer dan sipil. Sebanyak 10 perwira tewas dalam peristiwa tersebut, yakni Letjen Ahmad Yani, Mayjen R Suprapto, Mayjen MT Haryono, Mayjen S Parman, Brigjen DI Panjaitan, Brigjen Sutoyo Siswomiharjo, Lettu Piere Tendean, Brigadir Polisi KS Tubun, Kolonel Katamso, dan Letkol Sugiono. Sementara satu korban tewas dari warga sipil adalah adalah Ade Irma Suryani, putri Jenderal AH Nasution yang berhasil selamat dari penculikan yang dilakukan PKI.
PKI merupakan salah satu partai resmi di Indonesia. Partai berpaham komunis ini telah berdiri jauh sebelum Indonesia merdeka. Berdasarkan buku berjudul Kehancuran Golongan Komunis di Indonesia (Abdul Syukur, 2008), cikal bakal PKI adalah serikat buruh bernama Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV) yang dibentuk oleh Hendricus Josephus Fransiscus Marie Sneevliet dan koleganya. Anggotanya adalah 85 orang Belanda yang bekerja di pelabuhan-pelabuhan Hindia Belanda.
Baca juga: Pangkat Terakhir 7 Pahlawan Revolusi Setelah Mendapatkan Penghargaan Anumerta
ISDV memperkenalkan ide-ide Marxis kepada pribumi, terutama buruh, untuk menentang kolonial. Dalam perkembangannya, penyebaran Marxisme juga menyasar intelektual, agamawan, hingga kaum nasionalis.
Belanda melihat organisasi ini sebagai ancaman, sehingga memulangkan para pentolan ISDV ke Belanda, termasuk Sneevliet pada 1918. Sneevliet meninggalkan 400 anggota ISDV di Hindia Belanda yang mayoritas adalah orang pribumi.
Sepeninggal Sneevliet, anggota ISDV kemudian mendirikan Perserikatan Komunis di Hindia (PKH) pada 1920. Sebagai ketua adalah Semaun dan wakil ketua Darsono. Pada 1924, PKH mengubah namanya menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI) dan meresmikan posisinya sebagai organisasi politik yang bertujuan dalam perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia.
Meski berpaham komunitas, nyatanya PKI cukup diterima oleh masyarakat Indonesia. Berdasarkan buku Sejarah Indonesia Modern (MC Ricklefs, 2004), pada Pemilu 1955, dari 39 juta pemilih, PKI meraih 6.176.914 suara. PKI berada di urutan keempat setelah PNI (8.434.653 suara), Masyumi (7.903.886 suara), NU (6.955.141 suara). Dengan perolehan suara itu, PKI berhasil menempatkan 39 wakilnya duduk di Parlemen.
Baca juga: Cerita 200 Ribu Warga Malang Sesaki Rapat Akbar PKI saat Pemilu 1955
Sejarah G30S PKI
Mengutip Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 28 Tahun 1975, G30S PKI adalah peristiwa pengkhianatan/pemberontakan yang dilancarkan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) dan atau pengikut-pengikutnya terhadap Pemerintah Republik Indonesia pada tanggal 30 September 1965, termasuk gerakan/kegiatan persiapan serta gerakan kegiatan lanjutannya.
Gerakan yang dimotori PKI pimpinan Dipa Nusantara (DN) Aidit ini terjadi di Jakarta dan Yogyakarta dengan melibatkan Pasukan Cakrabirawa di bawah kendali Letnan Kolonel Untung Syamsuri. Gerakan ini awalnya mengincar Perwira Tinggi dan Dewan Jenderal dengan menculik mereka untuk dibawa ke Lubang Buaya. Namun dalam pelaksanaanya, tiga orang langsung dibunuh di tempat.
Mereka yang menjadi korban G30S PKI adalah Letjen Ahmad Yani (Menteri/Panglima TNI Angkatan Darat/Pangad), Mayjen R Soeprapto (Deputy II Men/Pangad), Mayjen Mas Tirtodarmo Harjono (Deputy III Men/Pangad), Mayjen S Parman (Asisten I Men/Pangad), Brigjen DI Panjaitan (Asisten VI Men/Pangad), dan Brigjen Soetojo Siswomihardjo (Inspektur Kehakiman AD).
Pada peristiwa ini Jenderal AH Nasution (Menhankam) berhasil lolos dari usaha penculikan. Namun putrinya yang bernama Ade Irma Suryani yang berusia 5 tahun serta ajudannya yang bernama Lettu Piere Andreas Tendean meninggal dunia dalam peristiwa tersebut.
Gerakan ini juga menyebar di Yogyakarta. Kolonel Katamso dan Letkol Sugiono menjadi korban karena tidak mendukung gerakan ini.
Tujuan G30S PKI
Tujuan utama G30S PKI adalah untuk menggulingkan pemerintahan Presiden Soekarno. PKI ingin mengubah ideologi bangsa Indonesia, dari Pancasila menjadi komunis.
Rangkaian penculikan dan pembunuhan terhadap Perwira Tinggi dan Dewan Jenderal pada 30 September hingga 1 Oktober 1965 dilakukan untuk menyingkirkan TNI Angkatan Darat yang menjadi penghalang bagi PKI untuk mewujudkan cita-citanya menjadikan ideologi komunis menjadi sistem pemerintahan. PKI sangat ingin menjadi Indonesia sebagai negara komunis.
Latar Belakang G30S PKI
PKI menjelma menjadi partai besar dan memiliki pengaruh cukup kuat di dalam perpolitikan Indonesia. Berdasarkan buku Communism and Econimic Development karya Roger W Benjamin dan John H Kautsky (1968), jumlah anggota PKI telah mencapai 3 juta orang pada 1965. PKI juga memiliki sejumlah suborganisasi, seperti Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), Pemuda Rakjat, Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia, Barisan Tani Indonesia, Himpunan Sardjana Indonesia, dan Lembaga Kebudayaan Rakjat (Lekra). Apabila dijumlahkan keseluruhan anggotanya mencapai seperlima dari total penduduk Indonesia kala itu.
Peristiwa G30S PKI dilatar belakangi persaingan politik antara PKI dan TNI. PKI sebagai kekuatan politik merasa khawatir dengan kondisi kesehatan Presiden Soekarno yang memburuk. PKI saat itu tengah mendapatkan tempat di pemerintahan Soekarno. Sejumlah usulannya diterima oleh Soekarno dan diterapkan. Misalnya saja soal pembentukan Angkatan Kelima yang menjadikan buruh dan petani sebagai kekuatan militer untuk mendukung operasi-operasi militer, seperti Dwikora yang sedang dilaksanakan waktu itu. Juga soal pembubaran Partai Masyumi yang dianggap bertanggung jawab atas peristiwa PRRI/Persemesta.
TNI sebagai kekuatan militer Indonesia di bawah pimpinan Jenderal AH Nasution sebenarnya tidak sepakat dengan usulan Angkatan Kelima. TNI khawatir PKI akan menyalahgunakan penggunaan senjata oleh buruh dan tani untuk melakukan pemberontakan. Apalagi saat itu muncul rumor PKI sedang mempersiapkan rencana kudeta.
Pada awal Agustus 1965, Presiden Soekarno tiba-tiba pingsan setelah berpidato. Banyak pihak yang beranggapan bahwa usia beliau tidak akan lama lagi, sehingga muncul pertanyaan besar yakni, siapa pengganti Presiden Soekarno nantinya? Pertanyaan tersebut yang menyebabkan persaingan semakin tajam antara PKI dengan TNI.
Kronologi G30S PKI
Mengutip buku Sejarah Indonesia Modern (MC Ricklefs, 2004), pada 27 September 1965, Panglima TNI Angkatan Darat (Pangad) Letjen Ahmad Yani mengumumkan TNI AD menentang pembentukan Angkatan Kelima.
Tiga hari setelahnya, tepatnya 30 September, malam hari, satu batalyon pengawal Istana pimpinan Letnan Kolonel Untung Syamsuri, satu batalyon dari Divisi Diponegoro, satu batalyon dari Divisi Brawijaya dan orang-orang sipil dari Pemuda Rakjat meninggalkan Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma. Mereka bertugas menculik para perwira dan Dewan Jenderal.
Pasukan bergerak mulai pukul 03.00 WIB. Enam jenderal berhasil diculik, dua di antaranya dibunuh di tempat, sementara sisanya dibawa ke Lubang Buaya, Pondok Gede, Jakarta Timur, yang akhirnya juga tewas akibat disiksa. Mereka yang menjadi korban pembunuhan adalah Letjen Ahmad Yani, Mayjen S Parman, Mayjen R Soeprapto, Brigjen DI Panjaitan, Mayjen MT Harjono, dan Brigjen Soetojo Siswomihardjo. Jenazah mereka baru ditemukan beberapa hari kemudian.
Satu Jenderal selamat dalam penculikkan ini yakni Jenderal AH Nasution. Namun putrinya menjadi korban yakni Ade Irma Suryani serta ajudannya Lettu Piere Tandean. Korban lain ialah Brigadir Polisi KS Tubun wafat ketika mengawal rumah Dr J Leimana.
Gerakan ini menyebar juga ke Yogyakarta. Kolonel Katamso dan Letkol Sugiono menjadi korban karena tidak mendukung gerakan G30S PKI.
Setelah berhasil menculik dan membunuh petinggi TNI AD, PKI menguasai gedung Radio Republik Indonesia (RRI). PKI mengumumkan sebuah Dekrit yang diberi nama Dekrit No 1 yang menyatakan bahwa gerakan G30S adalah upaya penyelamatan negara dari Dewan Jenderal yang ingin mengambil alih negara.
Mengutip buku berjudul Kehancuran Golongan Komunis di Indonesia (Abdul Syukur, 2008), pada hari berikutnya, para petinggi militer mengumpulkan seluruh ketua partai politik tapi PKI dan Parkindo tidak hadir. Para ketua partai dimintai untuk menentukan pilihan apakah akan mendukung Angkatan Darat atau Komunisme.
Setelah itu, para pemimpin partai dan ormas mengadakan ceramah umum di Taman Sunda Kelapa. Di akhirnya kegiatan, mereka membacakan pernyataan bersama yang mengutuk tindakan kudeta 30 September yang telah memakan korban 6 Jenderal. Pernyataan ini secara tegas menyatakan bahwa PKI sebagai dalang kudeta oleh karenannya PKI dan ormas-ormasnya harus dibubarkan. Akhirnya pada 12 Maret 1966, PKI resmi dibubarkan oleh pemerintah.
(abd)