Soetardjo Kartohadikusumo, Putra Blora yang Menjadi Gubernur Pertama Jawa Barat

Kamis, 22 September 2022 - 09:42 WIB
loading...
Soetardjo Kartohadikusumo, Putra Blora yang Menjadi Gubernur Pertama Jawa Barat
Soetardjo Kartohadikusumo, Gubernur Pertama Jawa Barat. Foto/Dok SINDOnews
A A A
JAKARTA - Soetardjo Kartohadikusumo adalah gubernur pertama Provinsi Jawa Barat . Jauh sebelum menjadi orang nomor satu di Jawa Barat, dia adalah seorang pembantu juru tulis.

Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) bersidang pada 19 Agustus 1945. Salah satu hasil sidang tersebut adalah pembagian wilayah Indonesia menjadi delapan provinsi.

Kedelapan provinsi tersebut adalah Sumatera, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sunda Kecil, Maluku, Sulawesi, dan Borneo. Masing-masing provinsi dipimpin oleh seorang gubernur. Jawa Barat dipimpin Soetardjo Kartohadikusomo.

Soetardjo lahir di Kunduran, Blora , 22 Oktober Oktober 1892. Dia merupakan anak dari pasangan Kiai Ngabehi Kartoredjo yang saat itu menjabat sebagai asisten wedana di Onderdistrik Kunduran, Distrik Ngawen, Blora. Sementara, ibunya adalah Mas Ajoe Kartoredjo yang merupakan keturunan keluarga pemerintahan dari Banten.

Dikutip dari buku "Soetardjo: Petisi Soetardjo dan Perjuangannya", Soetardjo menempuh pendidikan di Sekolah Dasar Belanda (Europese Lagere School atau ELS) di Tuban. Kemudian, Soetardjo melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Pamong Praja, Osvia (Opleiding School Voor Inlandse Ambtenaaren) di Magelang pada tahun 1907. Soetardjo menyelesaikan pendidikan di sana selama empat tahun.

Pada 19 Oktober 1911, Soetardjo diangkat sebagai pembantu juru tulis (hulpschrijver) berdasarkan keputusan residen Rembang. Gajinya 10 gulden. Sebanyak 7,5 gulden diberikan kepada ibunya, sementara sisanya dipakai mentraktir teman-temannya di Kantor Asisten Residen, collecteur, dan kejaksaan.

Dua bulan kemudian, Soetardjo mendapat promosi menjadi juru tulis jaksa. Pekerjaan itu dijalani selama lima bulan, kemudian naik pangkat menjadi mantri kabupaten.

Ketika menjadi mantri, Soetardjo kecewa karena konferensi bulanan di Kabupaten Blora yang pertama kali dia hadiri, seluruh pamong praja kecuali bupati, diharuskan berpakaian hitam serta memakai keris dan duduk bersila di atas tikar. Sementara, pegawai Belanda, termasuk inspektur polisi dan kapiten titulair bangsa China, duduk di atas kursi.

Setelah dia dan kawan-kawannya protes, pada konferensi bulanan berikutnya, semua pegawai pamong praja, termasuk dirinya sebagai mantri kabupaten, dibolehkan duduk di atas kursi dengan berpakaian sikepan putih atau baju pendek putih serta memakai keris.

Kemudian, Soetardjo menjadi asisten wedana (1913), pembantu jaksa (1915), jaksa (1915), dan sekolah lagi di Bestuurschool (sekolah pemerintahan) di Jakarta (1919-1921).

Setelah lulus Bestuurschool, Soetardjo diangkat menjadi asisten wedana lagi di Onderdistrik Sambong oleh residen Rembang. Tak sampai setahun, dia dipindahtugaskan menjadi asisten wedana di Onderdistrik Bangilan.

Pada tahun 1924, Soetardjo menjadi wedana di Distrik Tambakrejo (Kabupaten Bojonegoro). Distrik ini dikenal sebagai daerah yang berat dalam sisi pemerintahan, hal tersebut membuat daerah ini tidak disukai pamong praja. Meski dipromosikan, ada saja pamong praja yang tidak senang ketika ditempatkan di daerah tersebut.

Selanjutnya, pada 1931-1942, Soetardjo menjadi anggota College van Gedelegeerden Volksraad (Badan Pekerja Dewan Rakyat). Dan, saat itu pula dia dikenal dengan Petisi Soetardjo yang diajukan pada 15 Juli 1936. Petisi itu disampaikan kepada Ratu Wilhelmina serta Staten Generaal (parlemen) di negeri Belanda.



Petisi dibuat karena makin meningkatnya perasaan tidak puas di kalangan rakyat terhadap pemerintahan akibat kebijaksanaan politik yang dijalankan Gubernur Jenderal de Jonge. Petisi ini ditandatangani juga oleh IJ Kasimo, GSSJ Ratulangi, Datuk Tumenggung, dan Ko Kwat Tiong. Isi petisinya adalah permohonan supaya diselenggarakan musyawarah antara wakil-wakil Indonesia dan negeri Belanda dengan kedudukan dan hak yang sama.

Melalui keputusan Kerajaan Belanda Nomor 40 tanggal 14 November 1938, petisi yang diajukan atas nama Volksraad ditolak oleh Ratu Wilhelmina. Alasan ditolak adalah bangsa Indonesia belum siap untuk memikul tanggung jawab memerintah diri sendiri.

Pada 1943, Soetardjo menjadi syuutyookan atau residen di Jakarta. Karesidenan Jakarta saat itu mencakup sebagian daerah yang saat ini masuk Provinsi Jawa Barat, seperti Karawang, Cikampek, Sukamandi, Tangerang, dan Purwakarta. Karenanya, tak heran jika pada Agustus 1945 atau setelah Proklamasi, Soetardjo dipercaya menjadi gubernur pertama Jawa Barat. Soetardjo menjabat gubernur Jawa Barat hingga Desember 1945. Posisinya kemudian diduduki Datuk Djamin.

MG/Vadma Gempita
(zik)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1604 seconds (0.1#10.140)