Dilema PPP

Sabtu, 27 Agustus 2022 - 16:26 WIB
loading...
Dilema PPP
Pernyataan Ketua Umum PPP Suharso Monoarfa menuai kontroversi karena menyinggung kalangan pesantren. FOTO/WAWAN BASTIAN/KORAN SINDO
A A A
Konflik internal tengah mengguncang Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Gara-garanya, sang ketua umum partai bergambar kakbah tersebut, Suharso Monoarfa, mengeluarkan pernyataan yang dinilai menyinggung dan melecehkan marwah kiai dan pesanten. Bila tidak segara diatasi, konflik dan pernyataan tersebut akan menggelinding dan membesar, lalu ujungnya bisa membuat konsolidasi PPP menghadapi Pemilu 2024 berantakan.

Pernyataan kontroversi seperti apa hingga bisa membawa dampak politik begitu besar? Inti pernyataan Suharso mengidentikkan kiai dengan amplop. Cerita ini terjadi saat dia menyampaikan pidato di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada pertengahan Agustus ini. Kala itu Suharso menceritakan pengalamannya mengunjungi pondok pesantren besar untuk meminta doa. Dia pun lantas menyampaikan rasa herannya tentang adanya tradisi memberikan amplop yang disebut sebagai cikal bakal korupsi.

Apa yang disampaikan Suharso kontan saja memicu kontroversi. Apalagi yang menyampaikan adalah ketua umum PPP, sebuah partai yang berbasis Islam yang mengandalkan dukungan kiai dan ponpes. Melalui pernyataan tersebut, Suharso seolah membangun jurang pemisah yang antara partainya dengan basis politik yang selama ini menopang hidup dan mati partainya.

Pernyataan Suharso dari sisi manapun bisa dibilang sangat fatal. Dari sisi tradisi misalnya, fakta tersebut mencerminkan dia tidak memahami bagaimana kehidupan kiai yang mencurahkan hidupnya mengajar dan mendidik santri, serta mengembangkan pesantren. Perjuangan tersebut tentu sangat berat dan membutuhkan dukungan dari semua pihak, termasuk para dermawan.

Dari sisi adab, pernyataan Suharso juga dinilai bermasalah. Dia tidak memahami bahwa memberi amplop atau oleh-oleh saat sowan ke kiai sebagai bentuk penghormatan kepada guru atau sesepuh. Langkah yang sama hampir selalu dilakukan ketika bertamu pada orang yang dituakan atau pada orang tua kita sendiri.

Apapun bentuk dan berapapun besar pemberian bukanlah masalah, karena poin yang lebih penting bentuk perhatian orang yang lebih muda dan masih diberikan kekuatan untuk mencari rejeki kepada orang lebih tua.

Dari perspektif tersebut pun secara logis memunculkan dua dugaan. Pertama, Suharso tidak memahami dengan baik kultur kiai dan pesantren. Kedua, selama ini Suharso tidak ikhlas, sehingga melihat pemberian amplop kepada kiai sangat memberatkan dan sebagai masalah serius. Bila dua dugaan ini benar, maka merupakan sikap tidak tepat yang ditunjukkan Suharso sebagai ketua umum sebuah partai berideologi Islam.

Terlepas maksud dan sikap seperti apa yang ditunjukkan Suharso, faktanya pernyataan Suharso tentang kiai dan amplop bukan hanya memicu reaksi pihak eksternal seperti Pengurus Besar (PB) Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), tapi juga internal partai. Majelis Syariah, Majelis Pertimbangan, dan Majelis Kehormatan DPP PPP bahkan menuntut mundur Suharso dari jabatan ketua umum partai.

Merespons dinamika tersebut, Suharso telah telah menemui Ketua Majelis Syariah PPP KH Afifudin Muhajir dan Sekretaris Majlis Syariah H Chaerul Saleh Rasyid. Kepada keduanya, dia mengaku telah mengklarifikasi duduk perkara dan meminta maaf telah membuat contoh tidak tepat. Karena itu dia pun meyakini dinamika internal partai akan terselesaikan.

Benarkah bisa demikian? Tentu tidak bakal mudah. Sikap yang ditunjukkan Suharso sudah terlanjur meluncur ke publik dan menjadi catatan kiai dan pesantren. Di sisi lain, dalam perspektif politik, sekecil apapun celah yang muncul bisa menjadi modal untuk menyerang seteru politik. Termasuk sebagai amunisi saling sikut di internal PPP.

Apalagi, tuntutan mundur tiga majelis PPP juga membuka kotak pandora persoalan Suharso bukan saja terkait pernyataan amplop dan kiai, tapi juga terkait rendahnya elektabilitas PPP selama kepemimpinannya. Survei Charta Politika yang dirilis medio Juni lalu, misalnya, menyebut elektabilitas PPP bersama PAN tidak mencapai parliamentary threshold 4%. Bahkan survei Parameter Politik menemukan elektabilitas PPP semakin menurun hingga hanya menyentuh angka 2,9%.

Segala fakta tersaji menunjukkan posisi PPP yang kini sulit. Bila tuntutan Suharso mundur berlanjut, konsolidasi partai menghadapi Pemilu 2024 nanti bakal terganggu.
(ynt)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1240 seconds (0.1#10.140)