Keterbukaan dan Sikap Kritis Kunci Pulih dari Virus Intoleransi dan Radikalisme

Kamis, 18 Agustus 2022 - 20:49 WIB
loading...
Keterbukaan dan Sikap Kritis Kunci Pulih dari Virus Intoleransi dan Radikalisme
Peneliti dan Kader Intelektual Muhammadiyah, Muhammad Abdullah Darraz. FOTO/IST
A A A
JAKARTA - Peneliti dan Kader Intelektual Muhammadiyah, Muhammad Abdullah Darraz mengatakan bahwa sejak proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, sejatinya Indonesia masih di bawah bayang-bayang disintegrasi akibat virus radikalisme dan intoleransi. Hal itu ditunjukkan dengan adanya perpecahan dan permusuhan di tengah masyarakat yang berakar dari kebencian.

"Jadi kalau kita mau pulih dari sikap radikalisme dan intoleransi, ada dua hal, yang pertama keterbukaan, yang kedua sikap kritis. Itu dibutuhkan dan wajib ditanamkan," kata Muhammad Abdullah Darraz, di Jakarta, Kamis (18/8/2022).

Darraz menjelaskan, proses radikalisasi sering kali masuk akibat keterbukaan yang tidak diiringi sikap kritis. Hal ini mengingat strategi infiltrasi kelompok radikal yang semakin halus, canggih dan cantik. Namun, kedua hal tersebut juga harus didorong dengan penanaman literasi yang baik, karena hal ini dapat dimanfaatkan untuk membangun benteng pencegahan yang kuat.



"Tentunya ini juga harus dibarengi dengan banyak literasi dan diskusi agar wawasan terbuka. Jadi ketika dihadapkan kepada oknum yang melakukan manipulasi (agama dan ideologi), maka kita bisa kita cegah dengan pengetahuan dan sikap kritis," ujar mantan Direktur Eksekutif Maarif Institute ini.

Ia menyebut Indonesia dalam konteks radikalisme dan intoleransi sedang dalam kondisi sakit. Menurutnya, virus itu mampu melemahkan bangsa, sehingga menjadi mudah dipecah-belah dan kian terjebak dalam pusaran konflik.

"Karena bangsa yang sehat adalah bangsa yang penuh toleransi, selalu damai, dan menghargai perbedaan. Sebab virus radikalisme dan intoleransi yang melemahkan bangsa ini, dapat menghambat kemajuan bangsa dan negara ke depannya," kata Darraz.

Karena itu, ia mengajak semua pihak untuk mampu merefleksikan diri melalui pesan kemerdekaan untuk bersatu dan bertekad melawan berbagai tantangan yang dihadapi sebagai sebuah bangsa. Salah satunya praktik radikalisme dan intoleransi yang mudah dijumpai sebagai politisasi agama oleh oknum dengan kepentingan politik.

"Konteks di 2017, 2019, itu kentara sekali peristiwa politiknya, menolak perbedaan atas nama agama dijadikan permainan, dijadikan kepentingan politik. Ini Tidak boleh terulang ke depannya. Agama harus digunakan untuk mencapai kebajikan, bukan kepentingan sesaat," katanya.

Darraz mengutip pernyataan Ustaz Yahya Zainul Maarif atau Buya Yahya, 'kalau tidak siap menerima perbedaan, jangan lahir ke dunia'. Hal tersebut menjadi bekal bagi anak, pemuda dan masyarakat untuk menerima perbedaan dan keragaman yang harus ditanamkan sejak dini agar menjadi sifat bawaan yang melekat pada anak bangsa. Untuk itu, peran pendidikan akan sangat efektif untuk menanamkan sikap kritis.

"Namun justru cara pandang kritis itu tidak betul-betul diajarkan dalam sistem pendidikan kita. Bahkan lembaga pendidikan dijadikan alat, salah satunya melalui guru-guru," katanya.

Padahal, menurutnya, guru dan sekolah seharusnya menjadi benteng resiliensi siswa, bukan malah menjadi aktor radikalisasi siswa. Dengan kondisi itu, dibutuhkan agenda besar dari pemerintah agar secara serius memberikan penguatan kepada masyarakat untuk mewujudkan Indonesia yang inklusif, berkeadilan, dan berkelanjutan.

"Pemerintah harus betul serius menggalang kerja sama dengan masyarakat sipil, tokoh, dan ormas moderat. Jadi penguatan di masyarakat sipil harus benar dilakukan yaitu bagaimana Pancasila bisa dibumikan dan berdampak positif," ujar Darraz.

Mengutip penelitian BNPT terkait indeks risiko terorisme, sejak 2010 terus mengalami penurunan hingga 12% dari seluruh penduduk Indonesia. Menurutnya, upaya kedua yang bisa dilakukan adalah kelompok toleran harus lebih aktif bernarasi dan masuk ke kelompok radikal, terutama kepada kelompok anak muda.

"Kelompok toleran harus lebih aktif bersuara dan masuk ke kelompok yang 12% itu, saya kira ini lebih efektif," ucapnya.

Tidak hanya itu, Darraz juga berharap pemerintah mampu membawa dan mewujudkan Indonesia yang berkeadilan dan sejahtera, sebagai pekerjaan rumah yang masih harus diselesaikan setelah 77 kemerdekaan RI, guna mengurangi potensi radikalisme.

"Ini bom waktu yang kalau sudah meledak akan sulit diperbaiki. Keadilan sosial ini yang masih harus kita perjuangkan dan dibenahi, ini pekerjaan rumah yang masih harus diselesaikan pascakemerdekaan," katanya.
(abd)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1035 seconds (0.1#10.140)