Gender Gap di Sektor Pertanian

Kamis, 18 Agustus 2022 - 11:13 WIB
loading...
A A A
Memerdekakan Petani Perempuan
Merdeka yang dimaksud bukan saja dari aspek terpenuhinya aset (memiliki lahan garapan) namun kepastian kehidupan petani lebih sejahtera. Menyambut 100 tahun Indonesia merdeka tahun 2045 (Indonesia Emas) yang mana salah satu visinya adalah pemantapan ketahanan nasional. di sini peran pertanian sangat krusial, selain memberi makan, sektor ini juga menjadi basis dasar untuk menggerakan sektor lain. Oleh karena itu, petani perempuan dan secara keseluruhan petani harus di merdekakan.

Disini penting mengingatkan kembali apa yang dipertanyakan Vandana Shiva, Siapa yang memberi makan dunia? Ia menjawabnya dan mungkin sangat berbeda dengan sebagian orang bahwa yang memberi makan dunia adalah para perempuan dan petani kecil - berlandaskan keanekaragaman hayati sebagai penyedia pangan di negara-negara dunia ketiga.

Apa yang disampaikan Vandana Shiva menjadi sangat relevan dengan tugas dan keterlibatan petani perempuan, terlibat dari pembukaan lahan, produksi, pascapanen sampai menjamin kecukupan gizi keluarga. Jadi sejatinya petani perempuan adalah ibu kedaulatan pangan.

Dengan demikian sangat penting untuk menggunakan Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam pembangunan pertanian. Sebagai pendekatan, PUG dijalankan dengan teknik analisis gender mulai dari identifikasi masalah, monitoring, evaluasi, sampai tindak lanjutnya.

Secara teoritis, identifikasi difokuskan pada tujuh prasyarat pelaksanaan PUG: komitmen pemimpin, kerangka kebijakan pembangunan, proses pelembagaan PUG, pengembangan sumber daya (SDM, modal), serta pengembangan partisipasi masyarakat. Implementasti PUG diharapkan dapat meningkatkan efektivitas dan efesiensi pemanfaatan sumberdaya pertanian, dan mengakselerasikan kesejahteraan rumah petani.

Dalam konteks komitmen pemimpin, menurut Sukesi dan Novia (2007) bahwa dalam PUG pertanian, apakah PUG pertanian telah menjadi komitmen politik terutama dari kepala daerah? Bila belum, berarti perlu sosialisasi masalah gender dalam pembangunan pertanian, apabila sudah dipahami, apakah menjadi kerangka kebijakan daerah? bagaimana SDM pelaksanannya?

Dalam hal kebijakan, harus terlihat dalam pendeligitimasian peranan petani perempuan dalam berbagai proses produksi mulai dari mendistribusikan lahan, jaminan modal, informasi, kemudian penggunaan teknologi ramah perempuan, peningkatan kapasitas meliputi pengetahuan dan manajemen usaha tani dan keterampilan melaui pendidikan dan pelatihan khususnya pasca panen--mengolah produk turunan pertanian. Minimnya kapasitas berdampak pada lemahnya aspek kelembagaan yang ada.

Kelembagaan sangat dibutuhkan dalam rangka pengembangan organisasi yang menjadi sarana untuk meningkatkan kapasitas petani perempuan secara bersama. Ini semua diharapkan mempertipis ketimpangan struktural. Hal yang sama juga pada aspek kelembagaan, apakah PUG didukung dengan peraturan yang memadai, bagaimana pula dengan tanggapan masyarakat, apakah mendukung atau sebaliknya?

Dalam permodalan, dipahami jika pengaruh petani perempuan memiliki tingkat yang berbeda-beda, tergantung wilayah, jenis kegiatan, dan dinamika rumah tangga. Berbagai temuan studi memperlihatkan bahwa menjangkau petani perempuan merupakan salah satu cara untuk meningkatkan serapan KUR Pertanian yang saat ini terus didorong oleh pemerintah.

Jika ini berjalan baik, ekonomi kerakyatan berbasis UMKM agricultre yang sudah teruji kuat menghadapi resesi ekonomi seperti tahun 1997-1998, 2008, dan saat pandemi Covid 19. Dalam kaitannya dengan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) yang dikelola perempuan, data Badan Pusat Statistik (BPS) 2019 menunjukan 64% dikelola perempuan dan temuan survei Katadata Insight Center (KIC) dimana 42,5% UMKM agriculture dari sektor pertanian disusul perkebunan 16,8%, perikanan 16,4%, peternakan 12,6% dan kehutanan 11,7%.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1687 seconds (0.1#10.140)