Imam Nahrawi Divonis 7 Tahun dan Hak Politik Dicabut 4 Tahun

Senin, 29 Juni 2020 - 19:56 WIB
loading...
Imam Nahrawi Divonis...
Terdakwa mantan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Imam Nahrawi menjalani sidang putusan secara virtual, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor ) Jakarta, Senin (29/6/2020). Foto/SINDOphoto/Sutikno
A A A
JAKARTA - Majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta memvonis mantan Menpora Imam Nahrawi dengan pidana penjara selama 7 tahun, pidana uang pengganti Rp18.154.230.882, dan hak politiknya dicabut selama 4 tahun.

Majelis hakim yang dipimpin Rosmina dengan anggota Saifuddin Zuhri, Muslim, Ugo, dan Agus Salim menilai, Imam Nahrawi selaku Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) periode 2014-2019 yang merupakan penyelenggara negara telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah menurut hukum melakukan dua delik tindak pidana korupsi (tipikor) secara bersama-sama dengan Miftahul Ulum (divonis 4 tahun penjara) selaku asisten pribadi Nahrawi saat itu, secara berlanjut, dan merupakan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan berdiri sendiri. (Lihat foto-foto: Terbukti Bersalah, Eks Menpora Imam Nahrawi Divonis 7 Tahun Penjara)

Delik pertama, Imam Nahrawi bersama Miftahul Ulum telah menerima suap dengan total Rp11,5 miliar dalam tiga tahap secara berlanjut. Pertama, Rp500 juta pada Januari 2018. Kedua, Rp2 miliar pada Maret 2018. Ketiga, Rp9 miliar terpecah dalam tiga kali serah terima. Masing-masing Rp3 miliar, Rp3 miliar yang ditukar dalam bentuk mata uang asing sejumlah USD71.400 dan SGD189.000, dan Rp3 miliar yang dimasukan dalam amplop-amplop coklat dan dimasukkan dalam beberapa kardus kertas A4.

Majelis menegaskan, uang suap terbukti berasal dari terpidana Ending Fuad Hamidy (divonis 2 tahun 8 bulan) selaku Sekretaris Jenderal (Sekjen) Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Pusat dan terpidana Johny E Awuy (divonis 1 tahun 8 bulan) selaku Bendahara Umum KONI Pusat. Uang suap terbukti untuk pengurusan pemulusan pengesahan dua proposal yang diajukan KONI Pusat ke Kemenpora dan pencairan anggarannya dari Kemenpora ke KONI Pusat. (Baca juga: Minta Maaf, Miftahul Ulum Sebut Tudingan ke Adi dan Achsanul Khilaf)

Proposal pertama yakni bantuan dana hibah dalam rangka pelaksanaan tugas pengawasan dan pendampingan (wasping) Program Peningkatan Prestasi Olahraga Nasional Pada Multi Event 18th Asian Games 2018 dan 3rd Asian Para Games 2018 yang diajukan sebesar Rp51.592.854.500 dan disetujui Rp30 miliar kemudian dicairkan dua tahap dengan total Rp30 miliar.

Proposal kedua, yakni dukungan KONI Pusat dalam wasping Seleksi Calon Atlet dan Pelatih Atlet Berprestasi Tahun Kegiatan 2018 yang semula diajukan Rp16.462.990.000 kemudian terjadi dua kali perubahan menjadi Rp27.506.610.000 dan Rp21.062.670.000 serta disetujui sejumlah Rp17.971.192.000. Angka terakhir kemudian dicairkan dalam satu tahap. (Baca juga: Imam Nahrawi Dituntut 10 Tahun Penjara dan Hak Politik Dicabut 5 Tahun)

Majelis menggariskan, uang suap yang diterima Nahrawi bersama Ulum merupakan realisasi kesepakatan Ulum bersama Hamidy untuk penyediaan fee 15 hingga 19 persen yang sebelumnya disodorkan hitung-hitungannya oleh Ulum melalui lembar tissue. Uang suap bersumber dari uang dana hibah yang dicairkan KONI Pusat. Saat Ulum menuliskan pembagian uang, terdapat berbagai macam kode atau sandi untuk nama para pejabat Kemenpora. Nama Nahrawi disandikan dengan 'M' dan Ulum dengan 'Ul'.

Delik kedua, Nahrawi bersama Ulum terbukti telah menerima gratifikasi Rp8.648.435.682 dengan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri sehingga merupakan beberapa kejahatan, yang harus dipandang sebagai suap. Gratifikasi ini diterima dari empat orang berbeda.

Satu, Rp300 juta dari Ending Fuad Hamidy saat Nahrawi dan Ulum menghadiri acara Muktamar Nahdlatul Ulama di Jombang, Jawa Timur pada 2015. Dua, Rp4.948.435.682 sebagai uang tambahan operasional Menpora dari Lina Nurhasanah selaku Bendahara Pengeluaran Pembantu (BPP) Program Indonesia Emas (Prima) Kemenpora Tahun Anggaran 2015 hingga 2016. Selain itu Lina juga memberikan Rp2 miliar yang kemudian dipakai sebagai pembayaran jasa desain Konsultan Arsitek Kantor Budipradono Architecs atas rumah milik Imam Nahrawi yang terletak di Jalan Manunggal II, Ceger, Cipayung, Jakarta Timur. Uang-uang yang diberikan Lina tersebut bersumber dari uang anggaran Satlak Prima.

Tiga, uang sejumlah Rp1 miliar dari Edward Taufan Pandjaitan alias Ucok selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) pada Program Satlak Prima Kemenpora RI Tahun Anggaran 2016-2017. Uang yang diberikan Ucok bersumber dari uang anggaran Satlak Prima. Uang lebih dulu dititipkan Ucok ke Tommy Suhartanto untuk dimintai tolong ke legenda bulutangkis Indonesia Taufik Hidayat selaku Wakil Ketua Satuan Pelaksana Program Indonesia Emas (Satlak Prima) sekaligus Staf Khusus Menpora. Taufik kemudian menyerahkan uang Rp1 miliar ke Nahrawi di rumah dinas Menpora.

Empat, Rp400 juta dari Supriyono selaku Bendahara Pengeluaran Pembantu (BPP) Peningkatan Prestasi Olahraga Nasional (PPON) periode 2017-2018. Uang yang diberikan Supriyono merupakan uang pinjaman Supriyono dari KONI Pusat. Uang diterima Ulum di dekat masjid yang berada di dalam kompleks Kemenpora.

"Mengadili, memutuskan, menjatuhkan pidana oleh karena itu terhadap terdakwa Imam Nahrawi dengan pidana penjara selama 7 tahun dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan dan pidana denda sebesar Rp400 juta subsider 3 bulan kurungan. Memerintahkan agar terdakwa tetap berada dalam tahanan," tegas hakim Rosmina saat membacakan amar putusan atas nama Imam Nahrawi di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (29/6/2020) malam.

Dia melanjutkan, dari seluruh uang suap dan gratifikasi yang diterima telah dinikmati dan dipakai Nahrawi untuk kebutuhan dan kepentingannya seperti biaya operasional hingga untuk keluarga. Karenanya terhadap politikus PKB ini majelis sepakat menjatuhkan pidana tambahan berupa membayar uang pengganti. Angka uang pengganti dikurangkan dengan jumlah yang telah dikembalikan oleh seorang saksi ke KPK.

"Menjatuhkan pidana tambahan terhadap terdakwa Imam Nahrawi untuk membayar uang pengganti kepada negara sejumlah Rp18.154.203.882 kepada KPK selambat-lambatnya 1 bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap, jika dalam waktu tersebut tidak dibayar maka harta benda terpidana disita dan dilelang untuk menutupi uang pengganti, dalam hal terpidana tidak punya harta yang cukup untuk membayar uang pengganti, terdakwa dipidana penjara selama 2 tahun," ungkapnya.

Dia membeberkan, majelis hakim juga sepakat untuk menjatuhkan pidana tambahan terhadap Nahrawi berupa pencabutan hak politik. Pasalnya perbuatan pidana penerimaan suap dan gratifikasi dilakukan Nahrawi saat menjabat sebagai Menpora. Selain itu sebagai penyelenggara negara atau pejabat publik, Nahrawi telah memanfaatkan jabatan tersebut untuk melakukan perbuatan pidana dan tidak memberikan contoh atau teladan bagi masyarakat.

"Menjatuhkan pidana tambahan berupa pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama 4 tahun yang setelah terdakwa selesai menjalani pidana pokoknya," tegas hakim Rosmina.

Vonis ini lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada KPK. Sebelumnya JPU menuntut Imam Nahrawi dengan pidana penjara selama 10 tahun, pidana denda sebesar Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan, pidana tambahan uang pengganti Rp19.154.203.882 subsider 3 tahun penjara, dan pencabutan hak politik selama 5 tahun.

Hakim Rosmina menambahkan, perbuatan Nahrawi bersama Ulum menerima suap terbukti melanggar Pasal 12 huruf a jo Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-(1) KUHPidana jo Pasal 64 ayat (1) KUHPidana.

Perbuatan Nahrawi bersama Ulum menerima gratifikasi terbukti melanggar Pasal 12B jo Pasal 18 UU Pemberantasan Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-(1) KUHPidana jo Pasal 65 ayat (1) KUHPidana. Seluruh pasal, tutur hakim Rosmina sebagaimana diatur pidana dalam dakwaan kesatu pertama dan dakwaan kedua.

"Menolak permohonan justice collaborator yang diajukan oleh terdakwa," ucap hakim Rosmina.

Saat menjatuhkan putusan maka majelis hakim mempertimbangkan hal-hal yang meringankan dan memberatkan. Pertimbangan memberatkan bagi Nahrawi yakni belum pernah dihukum, sopan, punya tanggungan keluarga. Sedangkan hal memberatkan di antaranya perbuatan Nahrawi tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan korupsi dan Nahrawi tidak mengakui perbuatannya.

Imam Nahrawi mengatakan, dia telah mendengar dan menyimak putusan yang telah dibacakan majelis hakim. Setelah berkonsultasi dengan tim penasihat hukumnya, Nahrawi menyatakan masih pikir-pikir selama selama tujuh hari apakah akan menerima putusan atau mengajukan banding. Pernyataan yang sama juga disampaikan oleh JPU pada KPK. "Pikir-pikir Yang Mulia," ujar Nahrawi.
(zik)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1377 seconds (0.1#10.140)