Menteri LHK Minta Penilaian Soal Karhutla Harus Objektif dan Akurat
loading...
A
A
A
''Api dan asap tidak bisa menunggu anggaran ketok palu. Bahkan ada juga temuan Pemda Tingkat II hanya pasrah menunggu satgas Provinsi atau satgas nasional turun. Jika gagal direncanakan dan dicegah dengan baik mulai dari tingkat tapak, api hampir pasti akan membesar dan makin sulit dipadamkan,'' kata Afni.
Kesalahan persepsi berikutnya adalah pemahaman mengenai hotspot atau titik api. Banyak yang menggunakan dan menyampaikan data tanpa edukasi yang benar ke publik, terutama soal tingkat kepercayaan (confident level) hotspot. Semua titik panas yang ditangkap satelit, dari tingkat confidence 0-80% malah dilaporkan sebagai hotspot. Padahal tidak semua hotspot adalah firespot (lokasi yang sudah terverifikasi kebakaran).
Mengambil contoh dari data yang disajikan Walhi pada kegiatan yang sama, menyebutkan bahwa periode 1 Januari-20 Juni 2020, terdapat 44.093 titik panas di Indonesia. Ternyata dengan confident level 80%, hotspot pada periode yang sama terpantau hanya ada 870 titik. Monitoring hotspot ini bahkan sudah dapat diakses terbuka dalam bentuk aplikasi android di Web Sipongi KLHK, LAPAN, BMKG, dan BNPB.
Dengan membandingkan jumlah hotspot baseline tahun 2015, berdasarkan Satelit Terra/Aqua (NASA), jumlah hotspot sebanyak 70.971 titik. Artinya perbandingan hotspot 2015 dan 2020 per Juni, terdapat penurunan jumlah hotspot sebanyak 70.101 titik atau 98,77 %.
''Ternyata angkanya beda jauh, karena satelit itu memang menangkap citra dengan polos. Kalau dari confident level 0 % jadi rujukan buat publish ke publik, jelas kurang tepat. Karena atap seng rumah orang juga sering ditangkap satelit sebagai hotspot. Jadi hotspot itu belum tentu ada kebakaran (firespot),'' kata Afni.
''Harusnya yang jadi rujukan informasi ke publik itu hotspot pada confident level 80 % ke atas. Itupun masih harus dilakukan groundcheck ke lapangan guna memastikan benarkah itu hotspot dari kebakaran atau bukan? Harusnya yang seperti ini publik diedukasi, bukan terus diberikan data yang kurang tepat. Informasi yang kurang tepat akan melahirkan persepsi atau bahkan rekomendasi yang juga tidak tepat,'' tambahnya.
Keseluruhan hotspot dengan confident level 80% juga telah langsung dilakukan groundchek dan intervensi pemadaman oleh tim satgas di lapangan. Semua data-data ini juga bisa diakses secara terbuka melalui website: sipongi.menlhk.go.id.
Kesalahan persepsi berikutnya adalah menganggap KLHK satu-satunya lembaga penegak hukum, kesalahan persepsi mengenai penetapan status dini kesiagaan, termasuk kesalahan persepsi memahami keragaman status hutan di Indonesia. Hal ini menjadi penting karena ada bermacam-macam hutan dengan pemegang mandat administratif berbeda-beda.
''Mandat pengawasannya ada di lintas kementerian, Pemda ataupun Swasta. Sementara titik api tidak mengenal batasan administratif begini. Andai tidak terjadi kesalahan persepsi, maka rekomendasi untuk evaluasi dan strategi menghindari kebakaran berulang juga bisa dilakukan dengan tepat oleh para pemangku kepentingan,'' kata Afni.
Dosen Universitas Lancang Kuning Riau ini mengatakan, masih banyak kesalahan persepsi lain yang ditemukannya di ruang publik terkait karhutla. Untuk itu diperlukan peran aktif semua pihak memberikan edukasi dan informasi dengan tepat.
Kesalahan persepsi berikutnya adalah pemahaman mengenai hotspot atau titik api. Banyak yang menggunakan dan menyampaikan data tanpa edukasi yang benar ke publik, terutama soal tingkat kepercayaan (confident level) hotspot. Semua titik panas yang ditangkap satelit, dari tingkat confidence 0-80% malah dilaporkan sebagai hotspot. Padahal tidak semua hotspot adalah firespot (lokasi yang sudah terverifikasi kebakaran).
Mengambil contoh dari data yang disajikan Walhi pada kegiatan yang sama, menyebutkan bahwa periode 1 Januari-20 Juni 2020, terdapat 44.093 titik panas di Indonesia. Ternyata dengan confident level 80%, hotspot pada periode yang sama terpantau hanya ada 870 titik. Monitoring hotspot ini bahkan sudah dapat diakses terbuka dalam bentuk aplikasi android di Web Sipongi KLHK, LAPAN, BMKG, dan BNPB.
Dengan membandingkan jumlah hotspot baseline tahun 2015, berdasarkan Satelit Terra/Aqua (NASA), jumlah hotspot sebanyak 70.971 titik. Artinya perbandingan hotspot 2015 dan 2020 per Juni, terdapat penurunan jumlah hotspot sebanyak 70.101 titik atau 98,77 %.
''Ternyata angkanya beda jauh, karena satelit itu memang menangkap citra dengan polos. Kalau dari confident level 0 % jadi rujukan buat publish ke publik, jelas kurang tepat. Karena atap seng rumah orang juga sering ditangkap satelit sebagai hotspot. Jadi hotspot itu belum tentu ada kebakaran (firespot),'' kata Afni.
''Harusnya yang jadi rujukan informasi ke publik itu hotspot pada confident level 80 % ke atas. Itupun masih harus dilakukan groundcheck ke lapangan guna memastikan benarkah itu hotspot dari kebakaran atau bukan? Harusnya yang seperti ini publik diedukasi, bukan terus diberikan data yang kurang tepat. Informasi yang kurang tepat akan melahirkan persepsi atau bahkan rekomendasi yang juga tidak tepat,'' tambahnya.
Keseluruhan hotspot dengan confident level 80% juga telah langsung dilakukan groundchek dan intervensi pemadaman oleh tim satgas di lapangan. Semua data-data ini juga bisa diakses secara terbuka melalui website: sipongi.menlhk.go.id.
Kesalahan persepsi berikutnya adalah menganggap KLHK satu-satunya lembaga penegak hukum, kesalahan persepsi mengenai penetapan status dini kesiagaan, termasuk kesalahan persepsi memahami keragaman status hutan di Indonesia. Hal ini menjadi penting karena ada bermacam-macam hutan dengan pemegang mandat administratif berbeda-beda.
''Mandat pengawasannya ada di lintas kementerian, Pemda ataupun Swasta. Sementara titik api tidak mengenal batasan administratif begini. Andai tidak terjadi kesalahan persepsi, maka rekomendasi untuk evaluasi dan strategi menghindari kebakaran berulang juga bisa dilakukan dengan tepat oleh para pemangku kepentingan,'' kata Afni.
Dosen Universitas Lancang Kuning Riau ini mengatakan, masih banyak kesalahan persepsi lain yang ditemukannya di ruang publik terkait karhutla. Untuk itu diperlukan peran aktif semua pihak memberikan edukasi dan informasi dengan tepat.