Ini Konsep Adaptasi Kebiasaan Baru di Sektor Transportasi Darat
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kementerian Perhubungan melalui Direktorat Jenderal Perhubungan Darat telah mempersiapkan beberapa hal selama masa new normal atau Adaptasi Kebiasaan Baru (AKB). Dalam konferensi pers yang digelar secara daring pada Jumat (26/6/2020), Direktur Jenderal Perhubungan Darat, Budi Setiyadi menjelaskan bahwa untuk sektor transportasi darat akan berpedoman pada Surat Edaran Nomor SE 11 Tahun 2020 Tentang Pedoman dan Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Transportasi Darat Pada Masa Adaptasi Kebiasaan Baru Untuk Mencegah Penyebaran Covid-19.
“Dalam masa transisi adaptasi kebiasaan baru memang ada beberapa permasalahan yang mungkin saya dapat di lapangan. Dari sektor darat ini jumlah operator dan asosiasinya banyak, semuanya memang sudah setuju untuk mendukung pelaksanaan SE 11/2020 ini tapi begitu pelaksanaan mungkin agak berbeda. Selain itu di sektor transportasi darat juga mengalami persaingan (ekonomi), selain antar operator sendiri juga oleh moda transportasi misalnya jenis-jenis mobil yang sering dipakai sebagai travel gelap,” demikian disampaikan Dirjen Budi.
Dalam masa Adaptasi Kebiasaan Baru ini, menurut Dirjen Budi pemberlakuan 3 fase dan sistem zona merah, oranye, kuning, atau hijau akan menjadi pembeda yang cukup signifikan dalam penyelenggaraan transportasi darat.
Adapun 3 fase yang membedakan tiap pedoman dan petunjuk teknis penyelenggaraan transportasi darat pada masa adaptasi kebiasaan baru dibedakan sesuai waktunya menjadi:
1. Fase I merupakan pembatasan bersyarat, yaitu mulai 9 Juni 2020 sampai dengan 30 Juni 2020;
2. Fase II merupakan masa pemulihan/penyebaran terkendali, yaitu mulai 1 Juli 2020 sampai dengan 31 Juli 2020;
3. Fase III merupakan normal baru (new normal), yatu mulai 1 Agustus 2020 sampai dengan 31 Agustus 2020.
“Dengan penerapan pedoman dan petunjuk teknis yang berbeda sesuai zona maupun fasenya, kita jadi tahu di mana posisi tiap daerah sehingga kita memberikan satu kebijakan yang berbeda. Jadi misalnya kalau zona merah itu tidak boleh sama sekali beroperasi untuk angkutan umumnya. Namun demikian kita sudah mencoba merespon dengan mengakomodir masukan dari para operator, kami sudah pertimbangkan apakah sesuai dengan perhitungan ekonomi, apakah sudah dapat Break Even Point (BEP) atau belum,” lanjut Dirjen Budi.
Selama masa adaptasi kebiasaan baru ini, Kemenhub juga akan mengikuti kebijakan yang telah dikeluarkan oleh Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19. “Pada prinsipnya seperti arahan Bapak Menteri Perhubungan yang menekankan kepada kami bahwa protokol kesehatan penanganan Covid-19 adalah yang utama jadi kita hanya mengikuti kebijakan dari Surat Edaran Gugus Tugas dan menerapkan bagaimana refleksinya di angkutan umum, prasarana, sarana, hingga ketentuan pada penumpang. Memang kami membuat kebijakan makro yang berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia namun kebijakan di daerah juga harus kita akomodir,” lanjut Dirjen Budi.
Salah satu wacana kenaikan tarif angkutan umum pun sempat disinggung oleh Dirjen Budi dalam kererangannya kepada media hari ini. Menurutnya, beberapa angkutan umum, misalnya Damri yang melayani lintasan dari dan ke bandara Soekarno-Hatta mengalami kenaikan tarif dari semula Rp50.000 menjadi Rp100.000, meski demikian ia menegaskan bahwa penumpang saat ini masih dalam taraf memaklumi kenaikan tarif tersebut. Lebih lanjut lagi, ia menjelaskan bahwa penumpang memahami bahwa kenaikan ini untuk menutup biaya operasional yang harus dikeluarkan dengan jumlah penumpang lebih sedikit.
“Meski demikian, nanti jika kapasitas penumpang sudah diizinkan sebesar 70% maka harapan saya (tarifnya) akan kembali normal. Load factor ini nanti setelah sudah 70% makan akan naik, tapi selain pembatasan kuota ini, apakah permintaan masyarakat sudah kembali? Kalau demand belum normal kembali, masih jauh dari yang diharapkan maka sepanjang itu operator mungkin saja masih menaikkan tarif karena operasional kendaraan masih sama dengan sebelum Covid-19,” urai Dirjen Budi.
Dirjen Budi menerangkan bahwa dalam kesempatan sebelumnya, pihaknya telah berdiskusi dengan Organisasi Angkutan Darat (Organda) dan Ikatan Pengusaha Otobus Muda Indonesia atau (IPOMI) bahwa ada wacana dari kedua asosiasi untuk menaikkan tarif sebesar 25%-50% untuk bus premium.
Minat Bersepeda Melonjak selama Pandemi
“Dalam masa transisi adaptasi kebiasaan baru memang ada beberapa permasalahan yang mungkin saya dapat di lapangan. Dari sektor darat ini jumlah operator dan asosiasinya banyak, semuanya memang sudah setuju untuk mendukung pelaksanaan SE 11/2020 ini tapi begitu pelaksanaan mungkin agak berbeda. Selain itu di sektor transportasi darat juga mengalami persaingan (ekonomi), selain antar operator sendiri juga oleh moda transportasi misalnya jenis-jenis mobil yang sering dipakai sebagai travel gelap,” demikian disampaikan Dirjen Budi.
Dalam masa Adaptasi Kebiasaan Baru ini, menurut Dirjen Budi pemberlakuan 3 fase dan sistem zona merah, oranye, kuning, atau hijau akan menjadi pembeda yang cukup signifikan dalam penyelenggaraan transportasi darat.
Adapun 3 fase yang membedakan tiap pedoman dan petunjuk teknis penyelenggaraan transportasi darat pada masa adaptasi kebiasaan baru dibedakan sesuai waktunya menjadi:
1. Fase I merupakan pembatasan bersyarat, yaitu mulai 9 Juni 2020 sampai dengan 30 Juni 2020;
2. Fase II merupakan masa pemulihan/penyebaran terkendali, yaitu mulai 1 Juli 2020 sampai dengan 31 Juli 2020;
3. Fase III merupakan normal baru (new normal), yatu mulai 1 Agustus 2020 sampai dengan 31 Agustus 2020.
“Dengan penerapan pedoman dan petunjuk teknis yang berbeda sesuai zona maupun fasenya, kita jadi tahu di mana posisi tiap daerah sehingga kita memberikan satu kebijakan yang berbeda. Jadi misalnya kalau zona merah itu tidak boleh sama sekali beroperasi untuk angkutan umumnya. Namun demikian kita sudah mencoba merespon dengan mengakomodir masukan dari para operator, kami sudah pertimbangkan apakah sesuai dengan perhitungan ekonomi, apakah sudah dapat Break Even Point (BEP) atau belum,” lanjut Dirjen Budi.
Selama masa adaptasi kebiasaan baru ini, Kemenhub juga akan mengikuti kebijakan yang telah dikeluarkan oleh Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19. “Pada prinsipnya seperti arahan Bapak Menteri Perhubungan yang menekankan kepada kami bahwa protokol kesehatan penanganan Covid-19 adalah yang utama jadi kita hanya mengikuti kebijakan dari Surat Edaran Gugus Tugas dan menerapkan bagaimana refleksinya di angkutan umum, prasarana, sarana, hingga ketentuan pada penumpang. Memang kami membuat kebijakan makro yang berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia namun kebijakan di daerah juga harus kita akomodir,” lanjut Dirjen Budi.
Salah satu wacana kenaikan tarif angkutan umum pun sempat disinggung oleh Dirjen Budi dalam kererangannya kepada media hari ini. Menurutnya, beberapa angkutan umum, misalnya Damri yang melayani lintasan dari dan ke bandara Soekarno-Hatta mengalami kenaikan tarif dari semula Rp50.000 menjadi Rp100.000, meski demikian ia menegaskan bahwa penumpang saat ini masih dalam taraf memaklumi kenaikan tarif tersebut. Lebih lanjut lagi, ia menjelaskan bahwa penumpang memahami bahwa kenaikan ini untuk menutup biaya operasional yang harus dikeluarkan dengan jumlah penumpang lebih sedikit.
“Meski demikian, nanti jika kapasitas penumpang sudah diizinkan sebesar 70% maka harapan saya (tarifnya) akan kembali normal. Load factor ini nanti setelah sudah 70% makan akan naik, tapi selain pembatasan kuota ini, apakah permintaan masyarakat sudah kembali? Kalau demand belum normal kembali, masih jauh dari yang diharapkan maka sepanjang itu operator mungkin saja masih menaikkan tarif karena operasional kendaraan masih sama dengan sebelum Covid-19,” urai Dirjen Budi.
Dirjen Budi menerangkan bahwa dalam kesempatan sebelumnya, pihaknya telah berdiskusi dengan Organisasi Angkutan Darat (Organda) dan Ikatan Pengusaha Otobus Muda Indonesia atau (IPOMI) bahwa ada wacana dari kedua asosiasi untuk menaikkan tarif sebesar 25%-50% untuk bus premium.
Minat Bersepeda Melonjak selama Pandemi