Baleg DPR RI Minta Pemerintah Segera Buat Aturan Turunan UU TPKS

Jum'at, 08 Juli 2022 - 13:28 WIB
loading...
Baleg DPR RI Minta Pemerintah...
Anggota Baleg DPR RI Luluk Nur Hamidah meminta pemerintah segera menyusun aturan turunan UU No 12 Tahun 2022 tentang TPKS. Foto/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Luluk Nur Hamidah meminta pemerintah segera menyusun aturan turunan UU No 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).

Sebab kasus kekerasan seksual masih banyak terjadi, termasuk pencabulan yang melibatkan anak ulama di Jombang, Moch Subchi Azal Tsani (MSAT) alias Mas Bechi (42).

“Pengesahan UU TPKS patut dirayakan sebagai momentum penting (milestone) dari agenda pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia khususnya perlindungan bagi korban kekerasan seksual di Indonesia,” kata Luluk, Jumat (8/7/2022).



Namun demikian, dirinya menilai belum melihat keseriusan pemerintah pascadiundangkannya UU TPKS. Menurut dia, kejahatan seksual masih banyak terjadi seusai UU TPKS resmi diundangkan. Kurangnya sosialisasi dan belum adanya pedomanan teknis dari UU TPKS menjadi salah satu alasannya.

UU TPKS sendiri mengamanatkan pembentukan 10 Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Presiden (Perpres) sebagai pedoman teknis pelaksanaan. “Meskipun UU memberikan waktu hingga 2 tahun dari sejak ditetapkannya sebagai UU, namun mengingat urgensi dan kedaruratan situasi dan kondisi kekerasan seksual di Tanah Air maka mestinya pemerintah menyegerakan dan memprioritaskan PP dan Perpres turunan UU TPKS,” kata Luluk.



Aturan teknis terkait UU TPKS sangat diperlukan dengan mengintensifkan koodinasi antar Kementerian/Lembaga terkait. Sebab berdasarkan informasi, Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker) dan Kementerian Agama (Kemenag) belum diajak berkoordinasi mengenai UU TPKS.

Untuk kasus di Jombang, kata Luluk, pihak yang menghalangi jika mengacu UU TPKS maka bisa dijerat pidana. "Bapaknya sudah jelas terbuka minta agar anaknya tidak ditangkap. Lalu simpatisan yang secara sengaja menghalangi aparat melakukan penangkapan, apalagi dengan perlawanan,” tutur Luluk.

Aturan yang dimaksud Luluk tertuang dalam Pasal 19 UU TPKS, yang berbunyi Setiap Orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan/atau pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka, terdakwa, atau saksi dalam perkara TPKS dapat diancam Pidana penjara paling lama 5 tahun.

Oleh karenanya, Luluk meminta pihak kepolisan turut menerapkan UU TPKS dalam kasus Mas Bechi. Baik untuk kasus pencabulannya, maupun terkait pihak-pihak yang menghalangi penyidikan.

“Pembelaan harus dilakukan sesuai dengan mekanisme dan prosedur yang dibenarkan secara hukum, misalnya melalui lawyer atau pengacara,” ucap Legislator dari Dapil Jateng IV tersebut.

Anggota Komisi IV DPR itu juga menyoroti bagaimana aparat penegak hukum di lapangan yang masih kesulitan menjadikan UU TPKS sebagai rujukan dalam penanganan kasus kekeraaan seksual.

Hal tersebut, kata Luluk, lantaran tidak adanya sosialisasi, SOP, pelatihan dan bimbingan teknis terkait hukum acara yang digunakan dalam UU TPKS. “Korban Kekerasan seksual pascadisahkannya UU TPKS tidak serta ditangani menggunakan hukum acara sesuai UU TPKS, karena tidak adanya pedoman teknis. Ini seharusnya menjadi atensi serius bagi pemerintah, jangan terkesan masih memiliki waktu 2 tahun lalu tidak ada alasan untuk menyegerakan PP dan Perpres,” tukasnya.

Luluk melihat proses penyidikan yang dilakukan pihak kepolisian masih menggunakan prosedur lama. Bukti dan saksi dianggap tidak cukup, sementara kesaksian korban dianggap tidak cukup untuk membuat pelaku sebagai tersangka. “Meski sekarang ada UU TPKS, polisi masih tidak mau menggunakan keterangan korban dan visum sebagai alat bukti yang cukup,” papar Luluk.

Luluk menilai, Indonesia akan terus mengalami darurat kekerasan seksual apabila tidak ada keseriusan pihak-pihak terkait. Selain sosialisasi yang masif, pemerintah juga diminta untuk mempercepat pelatihan bagi Aparat Penegak Hukum (APH).

“Minimal SOP yang dapat digunakan dalam penanganan kasus kekerasan seksual pasca UU TPKS disahkan. Ini yang terjadi justru adanya kebingungan di lapangan. Akhirnya cara-cara dan prosedur lama yang tetap dilakukan, begitupun rujukannya, masih menggunakan UU lama,” kata Luluk.
(cip)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1900 seconds (0.1#10.140)