Djumala Tegaskan Diplomasi Perdamaian Bukan Pabrik Tempe
loading...
A
A
A
JAKARTA - Dewan Pakar BPIP Bidang Strategi Hubungan Luar Negeri Darmansjah Djumala menjelaskan dalam fatsun diplomasi, perdamaian setidaknya harus melalui tiga proses. Hal itu di antaranya komunikasi, penghentian kekerasan dan dialog.
Tiga tahapan proses itu sering dirujuk sebagai adab diplomasi. Menurut pria pernah menjabat sebagai Dubes Indonesia untuk Austria dan PBB di Wina itu, pembicaraan dan negosiasi perdamaian tak akan bisa dimulai jika tidak ada komunikasi. Sebab, dari komunikasi itulah kedua seteru bisa mengetahui posisi dan apa yang diinginkan oleh masing-masing pihak.
Untuk itu dibutuhkan pihak ketiga untuk mediasi agar kedua pihak dapat berkomunikasi. Dengan mengadakan pertemuan empat mata dengan Zelensky dan Putin, Jokowi sejatinya sudah membuka pintu komunikasi.
Lebih jauh diungkapkan Djumala, untuk memulai dialog dan perundingan kekerasan harus diakhiri. Perang harus dihentikan. Inilah himbauan yang disampaikan kepada Zelensky dan Putin.
Menurutnya, jika kekerasan sudah tidak ada lagi, perang berhenti karena gencatan senjata, maka tersedia ruang kondusif untuk berunding mencari jalan damai. Jadi, tidak heran jika salah satu misi Jokowi ke Ukraina dan Rusia adalah menghentikan kekerasan dan peperangan.
Djumala juga mengungkapkan, dengan adanya proses komunikasi, penghentian kekerasan dan dialog dalam setiap upaya peredaan konflik, inisiatif perdamaian butuh waktu lama, bertahun-tahun, melalui proses panjang dan berliku. Sebab, perdamaian bukan barang sekali tepuk jadi. Kerja diplomasi perdamaian tentu beda dengan cara kerja pabrik tempe: hari ini kedele, besok jadi tempe.
Dewan Pakar BPIP itu meyakini bahwa pesan damai yang dibawa Presiden RI Joko Widodo ke Ukraina dan Rusia adalah manifestasi nilai yang terkandung dalam Pancasila, yaitu sila kedua tentang kemanusiaan dan sila ketiga terkait nasionalisme Indonesia. Seperti yang diajarkan Bung Karno, nasionalisme Indonesia bukanlah sikap bangga dengan negara dan cinta Tanah Air, tapi menarik diri dari pergaulan internasional.
Justru, nasionalisme Indonesia mekar dalam taman sari internasionalisme. Internasionalisme disini merujuk pada nilai kemanusiaan, menghargai harkat manusia tanpa membedakan bangsa, etnik, suku dan agama. Alhasil, misi perdamaian Jokowi ke Ukraina dan Rusia merupakan perwujudan nasionalisme kemanusiaan.
Nasionalisme, karena membawa nama baik Indonesia dalam pergaulan internasional. Kemanusiaan, karena penghentian kekerasaan dimaksudkan untuk menghindari hilangnya nyawa manusia tak berdosa akibat perang.
"Diplomasi perdamaian Jokowi adalah langkah awal membuka pintu komunikasi bagi kedua seteru agar dapat mengakhiri perang, sehingga damai tercipta," tutur Djumala. CM
Lihat Juga: Penghormatan Terakhir untuk Romo Benny di Malang, Ketua BPIP: Beliau Tidak Pernah Berhenti Bekerja
Tiga tahapan proses itu sering dirujuk sebagai adab diplomasi. Menurut pria pernah menjabat sebagai Dubes Indonesia untuk Austria dan PBB di Wina itu, pembicaraan dan negosiasi perdamaian tak akan bisa dimulai jika tidak ada komunikasi. Sebab, dari komunikasi itulah kedua seteru bisa mengetahui posisi dan apa yang diinginkan oleh masing-masing pihak.
Untuk itu dibutuhkan pihak ketiga untuk mediasi agar kedua pihak dapat berkomunikasi. Dengan mengadakan pertemuan empat mata dengan Zelensky dan Putin, Jokowi sejatinya sudah membuka pintu komunikasi.
Lebih jauh diungkapkan Djumala, untuk memulai dialog dan perundingan kekerasan harus diakhiri. Perang harus dihentikan. Inilah himbauan yang disampaikan kepada Zelensky dan Putin.
Menurutnya, jika kekerasan sudah tidak ada lagi, perang berhenti karena gencatan senjata, maka tersedia ruang kondusif untuk berunding mencari jalan damai. Jadi, tidak heran jika salah satu misi Jokowi ke Ukraina dan Rusia adalah menghentikan kekerasan dan peperangan.
Djumala juga mengungkapkan, dengan adanya proses komunikasi, penghentian kekerasan dan dialog dalam setiap upaya peredaan konflik, inisiatif perdamaian butuh waktu lama, bertahun-tahun, melalui proses panjang dan berliku. Sebab, perdamaian bukan barang sekali tepuk jadi. Kerja diplomasi perdamaian tentu beda dengan cara kerja pabrik tempe: hari ini kedele, besok jadi tempe.
Dewan Pakar BPIP itu meyakini bahwa pesan damai yang dibawa Presiden RI Joko Widodo ke Ukraina dan Rusia adalah manifestasi nilai yang terkandung dalam Pancasila, yaitu sila kedua tentang kemanusiaan dan sila ketiga terkait nasionalisme Indonesia. Seperti yang diajarkan Bung Karno, nasionalisme Indonesia bukanlah sikap bangga dengan negara dan cinta Tanah Air, tapi menarik diri dari pergaulan internasional.
Justru, nasionalisme Indonesia mekar dalam taman sari internasionalisme. Internasionalisme disini merujuk pada nilai kemanusiaan, menghargai harkat manusia tanpa membedakan bangsa, etnik, suku dan agama. Alhasil, misi perdamaian Jokowi ke Ukraina dan Rusia merupakan perwujudan nasionalisme kemanusiaan.
Nasionalisme, karena membawa nama baik Indonesia dalam pergaulan internasional. Kemanusiaan, karena penghentian kekerasaan dimaksudkan untuk menghindari hilangnya nyawa manusia tak berdosa akibat perang.
"Diplomasi perdamaian Jokowi adalah langkah awal membuka pintu komunikasi bagi kedua seteru agar dapat mengakhiri perang, sehingga damai tercipta," tutur Djumala. CM
Lihat Juga: Penghormatan Terakhir untuk Romo Benny di Malang, Ketua BPIP: Beliau Tidak Pernah Berhenti Bekerja
(srf)