Dilema TKA China dan Pekerja Lokal

Jum'at, 26 Juni 2020 - 08:00 WIB
loading...
Dilema TKA China  dan Pekerja Lokal
Rencana kedatangan TKA China sebanyak 500 orang telah memantik polemik tajam, bukan hanya menjadi isu panas di masyarakat, tetapi juga menunjukkan kebijakan antara pemerintah pusat dan daerah tak sejalan. Ilustrasi/SINDOnews
A A A
KEDATANGAN gelombang pertama tenaga kerja asing (TKA) asal China diwarnai aksi demo mahasiswa di Bandara Halu Oleo Kendari, Sulawesi Tenggara (Sultra). Ratusan mahasiswa yang mengadang kedatangan TKA China yang akan bekerja di PT Virtue Dragon Nickel Industry (VDNI) Konawe, tidak mengindahkan imbauan pihak kepolisian yang meminta membubarkan diri dengan tertib. Ujungnya, kelompok aksi yang juga melibatkan masyarakat berakhir bentrok dengan petugas. Sekitar pukul 20.30 Wita, Selasa (23/6), rombongan TKA China yang berjumlah 152 orang mendarat dengan pesawat carteran. Demikian sepenggal drama penolakan kedatangan TKA dari Negeri Panda.

Sebelumnya, rencana kedatangan TKA China sebanyak 500 orang telah memantik polemik tajam, bukan hanya menjadi isu panas di masyarakat, tetapi juga menunjukkan kebijakan antara pemerintah pusat dan daerah tak sejalan. Gubernur Sultra Ali Mazi bersama DPRD Sultra menolak keras kedatangan TKA meski belakangan membuka pintu lebar-lebar lagi. Memang, kedatangan TKA tersebut di tengah pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) yang berawal dari Wuhan, China, menjadi salah satu alasan penolakan. Alasan lainnya bahwa kebijakan membuka pintu bagi TKA ke Indonesia di saat badai pemutusan hubungan kerja (PHK) bagi pekerja lokal dinilai telah melukai masyarakat. Penolakan yang keras dari pemerintah daerah membuat kedatangan TKA China sempat ditunda.

Merujuk pada kebijakan yang dikeluarkan Kementerian Hukum dan HAM terkait wabah virus korona, lembaga tersebut melarang orang asing masuk wilayah Indonesia sementara waktu. Persoalan kemudian bergulir dan dikabarkan sebanyak 500 TKA China segera tiba di Konawe, akhir April lalu. Pemerintah daerah dan sejumlah kalangan bereaksi keras. Sebaliknya, pemerintah pusat tetap pada pendirian bahwa menolak TKA China sama saja menghambat investasi yang sudah berjalan. Pasalnya, perusahaan tujuan TKA sudah mengantongi surat persetujuan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) yang diterbitkan Kementerian Ketenagakerjaan pada 15 April 2020.

Belakangan sikap Ali Mazi melunak. Kedatangan 500 TKA China yang sempat ditangguhkan itu mendapat lampu hijau lagi. Sikap orang nomor satu di Sultra tersebut justru balik dipertanyakan. Namun, Ali Mazi beralasan para pekerja asing yang akan masuk di Konawe telah memenuhi persyaratan dan telah diizinkan pemerintah pusat. Jadi, kebijakan pemerintah daerah tidak boleh bertentangan dengan kebijakan pemerintah pusat atas nama ketentuan undang-undang yang berlaku. Sementara itu, Ketua DPRD Sultra Abdurrahman Saleh masih memberi catatan bahwa TKA China boleh masuk Konawe sepanjang benar-benar bersih dari Covid-19.

Kisruh atas penolakan TKA Negeri Tirai Bambu itu ditanggapi Kedutaan Besar (Kedubes) China untuk Indonesia. Sebagaimana disampaikan Kanselor Bidang Ekonomi dan Bisnis, Kedubes China, Wang Liping bahwa para pekerja yang didatangkan ke Indonesia dipastikan negatif dari virus korona. Dan, perusahaan China tunduk sepenuhnya pada aturan yang berlaku di Indonesia. Para pekerja di bidang teknis dengan masa kontrak sekitar enam bulan telah dilengkapi sertifikat kesehatan. Bagi pihak China, kedatangan tenaga ahli, teknisi dan terampil sulit dihindari seiring terus meningkatnya kerja sama ekonomi antara China dan Indonesia.

Mendatangkan pekerja, seperti diakui pihak China bahwa perusahaan mengeluarkan biaya lebih besar ketimbang mempekerjakan pekerja lokal. Sebagai perbandingan, upah pekerja China sekitar USD30.000 atau sekitar Rp450 juta dengan kurs Rp15.000 per tahun ditambah biaya penerbangan dan akomodasi. Bandingkan pekerja lokal hanya digaji sekitar 10% dari total gaji pekerja China. Kalau disuruh memilih, sudah pasti perusahaan akan mencari pekerja lokal karena gajinya lebih murah. Namun, masalahnya, daerah sekitar proyek tak mampu menyediakan cukup pekerja terampil yang dibutuhkan. Itulah salah satu alasan mendatangkan pekerja dari China meski perusahaan harus membayar mahal daripada proyek tidak jalan.

Persoalan TKA memang selalu mengundang pertanyaan di tengah masyarakat. Apalagi, dalam situasi sekarang di mana jutaan masyarakat kena PHK sebagai dampak pandemi Covid-19, justru pemerintah mendatangkan pekerja asing. Bukan sepenuhnya salah masyarakat kalau memberikan penolakan. Pemerintah harus lebih intensif menyosialisasikan ke masyarakat aturan bagi pekerja asing. Pemerintah menetapkan penggunaan pekerja asing diizinkan sepanjang proyek yang dikerjasamakan menyangkut proyek strategis nasional (PSN). Nah , proyek yang dikerjakan VDNI masuk kategori PSN. Selain itu, perlu dikoreksi bahwa koordinasi pemerintah pusat dan daerah dalam kasus TKA di Konawe lemah sekali sehingga membuat masyarakat dalam kebingungan.
(ras)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1095 seconds (0.1#10.140)