BRIN Rancang Pengawasan Intelijen Terintegratif, Ketua DPP Perindo Beri 3 Catatan Penting
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pusat Riset BRIN merancang adanya pengawasan integratif yang menggabungkan tiga dimensi pengawasan intelijen . Sebab selama ini pengawasan intelijen di Indonesia masih terfragmentasi antara sistem pengawasan, kapasitas institusional dan legal serta sistem klirens informasi.
BRIN dalam kajiannya menemukan ada tiga permasalahan utama dari pengawasan intelijen yakni, konflik kepentingan. Mengingat aktor-aktor pengawas berasal dari lembaga politik maka tentu memiliki kepentingan politik sehingga faktor risiko politisasi pengawasan ataupun pengabaian terhadap dugaan penyalahgunaan kewenangan intelijen sulit dihindari;
Selain itu, problem regulasi dan ketiadaan regulasi yang kuat, rigid, jelas, akuntabel dan operasional menjadi faktor utama dari kelemahan pengawasan intelijen. Termasuk di dalamnya kelemahan kapasitas.
Menanggapi wacana tersebut, Ketua DPP Partai Persatuan Indonesia (Perindo) Bidang Hankam dan Cyber Security Susaningtyas Kertopati memberikan beberapa catatan penting yakni, pertama, dalam dimensi sistem pengawasan terdapat empat jenis aktivitas pengawasan yang saling terkait, yaitu, Identifikasi, Deteksi, Investigasi, dan Evaluasi (INDIE).
Namun, keempat jenis aktivitas pengawasan ini perlu diadvokasi hingga dapat diatur dalam sebuah regulasi yang rigid, tidak mutitafsir, dan operasional bagi setiap aktor pengawas.
”Tanpa adanya pembenahan landasan regulasi secara fundamental, baik dalam bentuk UU dan turunannya hingga dalam bentuk petunjuk pelaksana dan petunjuk teknis (juklak/juknis), maka sistem pengawasan berisiko hanya bersifat normatif dan mudah dieksploitasi dalam ruang – ruang politis,” ujarnya.
Hal itu disampaikan Nuning, panggilan akrab Susaningtyas Kertopati dalam webinar bertajuk “Mengintegrasikan Pengawasan Intelijen Indonesia” yang digelar Rabu (29/6/2022). Hadir dalam webinar tersebut Peneliti Pusat Riset Politik BRIN Diandra M Mengko, Duta Besar Republik Indonesia untuk Republik Tunisia Ikrar Nusa Bhakti.
Pengamat militer dan intelijen ini menilai, dalam dimensi kapasitas institusional dan legal, setiap aktor – aktor pengawas semestinya memiliki kesepahaman pengetahuan, informasi yang memadai terhadap peran dan fungsi intelijen. Khususnya, dinamika kinerja intelijen sebagai first line of defense dalam menghadapi dinamika ancaman terkini yang non konvensional, asimetris dan irregular baik dari segi aktor, pola dan strategi.
”Untuk itu, pada segi politik anggaran intelijen dalam menghadapi dinamika ancaman tersebut, tidak bisa selalu terukur atau disamakan dengan kementerian dan lembaga lainnya,” ucapnya.
Selain itu, kata Nuning, dalam konteks penguatan kapasitas institusional, perlu juga dipertimbangkan keterlibatan pihak non partisan yang berasal dari kalangan akademisi atau ahli untuk membantu para aktor pengawas baik yang bersifat regular ataupun ad hoc melalui proses seleksi terbuka, ketat dan komprehensif.
Mantan anggota Komisi I DPR ini menambahkan, dalam dimensi sistem klirens informasi, prinsip good governance dalam demokrasi perlu mendapat penyelarasan dengan prinsip kerahasiaan dalam kerja-kerja intelijen.
”Untuk itu, pembenahan pada sistem klirens rahasia intelijen perlu dilakukan untuk menyediakan suatu mekanisme rigid dan terukur yang memungkinkan aktor pengawas mendapatkan informasi yang memadai dalam melakukan pengawasan tanpa menciderai prinsip kerahasiaan informasi intelijen yang dapat berdampak pada gangguan keamanan nasional,” katanya.
BRIN dalam kajiannya menemukan ada tiga permasalahan utama dari pengawasan intelijen yakni, konflik kepentingan. Mengingat aktor-aktor pengawas berasal dari lembaga politik maka tentu memiliki kepentingan politik sehingga faktor risiko politisasi pengawasan ataupun pengabaian terhadap dugaan penyalahgunaan kewenangan intelijen sulit dihindari;
Selain itu, problem regulasi dan ketiadaan regulasi yang kuat, rigid, jelas, akuntabel dan operasional menjadi faktor utama dari kelemahan pengawasan intelijen. Termasuk di dalamnya kelemahan kapasitas.
Menanggapi wacana tersebut, Ketua DPP Partai Persatuan Indonesia (Perindo) Bidang Hankam dan Cyber Security Susaningtyas Kertopati memberikan beberapa catatan penting yakni, pertama, dalam dimensi sistem pengawasan terdapat empat jenis aktivitas pengawasan yang saling terkait, yaitu, Identifikasi, Deteksi, Investigasi, dan Evaluasi (INDIE).
Namun, keempat jenis aktivitas pengawasan ini perlu diadvokasi hingga dapat diatur dalam sebuah regulasi yang rigid, tidak mutitafsir, dan operasional bagi setiap aktor pengawas.
”Tanpa adanya pembenahan landasan regulasi secara fundamental, baik dalam bentuk UU dan turunannya hingga dalam bentuk petunjuk pelaksana dan petunjuk teknis (juklak/juknis), maka sistem pengawasan berisiko hanya bersifat normatif dan mudah dieksploitasi dalam ruang – ruang politis,” ujarnya.
Hal itu disampaikan Nuning, panggilan akrab Susaningtyas Kertopati dalam webinar bertajuk “Mengintegrasikan Pengawasan Intelijen Indonesia” yang digelar Rabu (29/6/2022). Hadir dalam webinar tersebut Peneliti Pusat Riset Politik BRIN Diandra M Mengko, Duta Besar Republik Indonesia untuk Republik Tunisia Ikrar Nusa Bhakti.
Pengamat militer dan intelijen ini menilai, dalam dimensi kapasitas institusional dan legal, setiap aktor – aktor pengawas semestinya memiliki kesepahaman pengetahuan, informasi yang memadai terhadap peran dan fungsi intelijen. Khususnya, dinamika kinerja intelijen sebagai first line of defense dalam menghadapi dinamika ancaman terkini yang non konvensional, asimetris dan irregular baik dari segi aktor, pola dan strategi.
”Untuk itu, pada segi politik anggaran intelijen dalam menghadapi dinamika ancaman tersebut, tidak bisa selalu terukur atau disamakan dengan kementerian dan lembaga lainnya,” ucapnya.
Selain itu, kata Nuning, dalam konteks penguatan kapasitas institusional, perlu juga dipertimbangkan keterlibatan pihak non partisan yang berasal dari kalangan akademisi atau ahli untuk membantu para aktor pengawas baik yang bersifat regular ataupun ad hoc melalui proses seleksi terbuka, ketat dan komprehensif.
Mantan anggota Komisi I DPR ini menambahkan, dalam dimensi sistem klirens informasi, prinsip good governance dalam demokrasi perlu mendapat penyelarasan dengan prinsip kerahasiaan dalam kerja-kerja intelijen.
”Untuk itu, pembenahan pada sistem klirens rahasia intelijen perlu dilakukan untuk menyediakan suatu mekanisme rigid dan terukur yang memungkinkan aktor pengawas mendapatkan informasi yang memadai dalam melakukan pengawasan tanpa menciderai prinsip kerahasiaan informasi intelijen yang dapat berdampak pada gangguan keamanan nasional,” katanya.
(cip)