Pakar Sebut Pemahaman Khilafatul Muslimin Atas Alquran dan Hadis Sempit
loading...
A
A
A
JAKARTA - Dipimpin oleh Direktur Ditres Kriminal Umum Kombes Hengky Haryadi, Polda Metro Jaya menangkap Pimpinan Tertinggi Khilafatul Muslimin Abdul Qadir Baraja di Lampung, Selasa (7/6/2022).
Para pakar dari berbagai bidang ilmu sepakat ideologi khilafah yang diserukan sekelompok masyarakat, bukanlah ideologi yang konkret dan karenanya tidak relevan bagi bangsa Indonesia pada masa kini dan mendatang.
"Dasar ideologi kelompok Khilafatul Muslimin adalah tafsir dan pemahaman sempit atas Al-Qur’an dan Hadis," ujar Ahli Literasi dan Ideologi dari Universitas Islam Negeri Jakarta, JM Muslimin.
"Sistem khilafah yang dimaksud dalam Al-Qur’an dan Hadis sebenarnya bukanlah dalam bentuk sistem pemerintahan atau negara, tetapi lebih mencerminkan kepemimpinan akhlaq serta moral yang paripurna," sambung dia.
Jadi, lanjut dia, jelas pemahaman konsep Khilafatul Muslimin yang dikampanyekan kelompok tersebut tergolong menyimpang, menyesatkan serta membahayakan hukum, ketertiban publik, jauh dari kemaslahatan dan kebaikan.
"Kelompok ini hanya menerima pandangan yang sesuai dengan pandangan mereka, tidak menerima pandangan yang berbeda," kata Muslimin yang juga mantan Wakil Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta.
Lebih jauh Muslimin mengingatkan kelompok seperti ini akan terus menyebarkan tafsir Islam sesuai pemahaman mereka yang menyesatkan. Karena itu, kata dia, jangan heran Khilafatul Muslimin akan terus berupaya mendelegitimasi sistem sosial dan kenegaraan yang ada dengan menyebutnya sebagai thogud (durjana).
"Dengan demikian apa yang dilakukan oleh mereka berpotensi membahayakan negara, menyebabkan munculnya tindakan sewenang-wenang dan merusak aturan yang berlaku sekaligus memberikan kesempatan untuk munculnya tindakan pidana yang menggunakan bahasa agama," tandasnya.
Ahli Filsafat Bahasa Prof Dr Wahyu Wibowo berpandangan serupa. Prof Wahyu mengungkapkan sejumlah kebohongan.
"Misalnya yang bersangkutan mengklaim Islam tidak ada toleransi. Makna dari kata-kata tersebut Islam tidak memiliki sikap untuk menahan diri, tidak saling menghargai, tidak menghormati, tidak membiarkan pendapat pandangan kepercayaan antar sesama manusia yang bertentangan dengan dirinya sendiri. Kata-kata ini dapat dikategorikan sebagai berita bohong."
Dalam hal demokrasi, dia menunjukkan pernyataan Abdul Qodir Baraja yang menyebutkan aneh jika umat Islam mencoba untuk memadukan antara sistem Islam dan sistem demokrasi untuk kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara akan ada benturan prinsip yang tidak mungkin bisa dibuat kompromi, kecuali dengan mengorbankan prinsip-prinsip Islam. Di titik inilah umat Islam akan selamanya menjadi pecundang.
"Makna dari kata-kata tersebut adalah Islam menolak segala macam yang datang dari olah pikir manusia, oleh karena itu tidak bisa dibenarkan jika memadukan antara sistem Islam dengan sistem demokrasi," tegas Prof Wahyu.
Dengan menyerukan umat Islam menarik diri dari kancah pesta demokrasi, lanjut dia, Abdul Qodir Baraja menolak legitimasi hasil Pemilu dan Pilkada. "Karena dianggap tidak legitimate, ya tinggal ganti dengan sistem Islam. Kata-kata ini tergolong bohong dan bersifat provokatif karena mengajak tidak berpartisipasi dalam Pemilu dan Pilkada."
Atas semua pernyataan dan tindakan tersebut, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Pancasila Prof Dr Agus Surono menegaskan Abdul Qadir Baraja yang mengaku sebagai Khalifah atau Amirul Mu'minin ceramah saat acara harlah PPUI Bekasi berjudul: Hanya Orang Biadab yang Mau Tunduk dan Patuh kepada Aturan Selain Aturan Allah, yang diupload pada 21 April 2021, dapat dikualifikasikan dalam Pasal 14 Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Baca juga: Begini Kronologi Penangkapan Pimpinan Khilafatul Muslimin Abdul Qadir Hasan Baraja
"Orang-yang melakukan konvoi rombongan membagikan selebaran khilafah dikategorikan dalam Pasal 15 Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 1946, tentang Peraturan Hukum Pidana karena para peserta konvoi telah menyiarkan kabar yang tidak pasti atau kabar yang berlebihan atau yang tidak lengkap. Sedangkan ia mengerti setidak-tidaknya patut dapat menduga, bahwa kabar demikian akan atau mudah dapat menerbitkan keonaran di kalangan rakyat," tegas Prof Agus.
Para pakar dari berbagai bidang ilmu sepakat ideologi khilafah yang diserukan sekelompok masyarakat, bukanlah ideologi yang konkret dan karenanya tidak relevan bagi bangsa Indonesia pada masa kini dan mendatang.
"Dasar ideologi kelompok Khilafatul Muslimin adalah tafsir dan pemahaman sempit atas Al-Qur’an dan Hadis," ujar Ahli Literasi dan Ideologi dari Universitas Islam Negeri Jakarta, JM Muslimin.
"Sistem khilafah yang dimaksud dalam Al-Qur’an dan Hadis sebenarnya bukanlah dalam bentuk sistem pemerintahan atau negara, tetapi lebih mencerminkan kepemimpinan akhlaq serta moral yang paripurna," sambung dia.
Jadi, lanjut dia, jelas pemahaman konsep Khilafatul Muslimin yang dikampanyekan kelompok tersebut tergolong menyimpang, menyesatkan serta membahayakan hukum, ketertiban publik, jauh dari kemaslahatan dan kebaikan.
"Kelompok ini hanya menerima pandangan yang sesuai dengan pandangan mereka, tidak menerima pandangan yang berbeda," kata Muslimin yang juga mantan Wakil Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta.
Lebih jauh Muslimin mengingatkan kelompok seperti ini akan terus menyebarkan tafsir Islam sesuai pemahaman mereka yang menyesatkan. Karena itu, kata dia, jangan heran Khilafatul Muslimin akan terus berupaya mendelegitimasi sistem sosial dan kenegaraan yang ada dengan menyebutnya sebagai thogud (durjana).
"Dengan demikian apa yang dilakukan oleh mereka berpotensi membahayakan negara, menyebabkan munculnya tindakan sewenang-wenang dan merusak aturan yang berlaku sekaligus memberikan kesempatan untuk munculnya tindakan pidana yang menggunakan bahasa agama," tandasnya.
Ahli Filsafat Bahasa Prof Dr Wahyu Wibowo berpandangan serupa. Prof Wahyu mengungkapkan sejumlah kebohongan.
"Misalnya yang bersangkutan mengklaim Islam tidak ada toleransi. Makna dari kata-kata tersebut Islam tidak memiliki sikap untuk menahan diri, tidak saling menghargai, tidak menghormati, tidak membiarkan pendapat pandangan kepercayaan antar sesama manusia yang bertentangan dengan dirinya sendiri. Kata-kata ini dapat dikategorikan sebagai berita bohong."
Dalam hal demokrasi, dia menunjukkan pernyataan Abdul Qodir Baraja yang menyebutkan aneh jika umat Islam mencoba untuk memadukan antara sistem Islam dan sistem demokrasi untuk kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara akan ada benturan prinsip yang tidak mungkin bisa dibuat kompromi, kecuali dengan mengorbankan prinsip-prinsip Islam. Di titik inilah umat Islam akan selamanya menjadi pecundang.
"Makna dari kata-kata tersebut adalah Islam menolak segala macam yang datang dari olah pikir manusia, oleh karena itu tidak bisa dibenarkan jika memadukan antara sistem Islam dengan sistem demokrasi," tegas Prof Wahyu.
Dengan menyerukan umat Islam menarik diri dari kancah pesta demokrasi, lanjut dia, Abdul Qodir Baraja menolak legitimasi hasil Pemilu dan Pilkada. "Karena dianggap tidak legitimate, ya tinggal ganti dengan sistem Islam. Kata-kata ini tergolong bohong dan bersifat provokatif karena mengajak tidak berpartisipasi dalam Pemilu dan Pilkada."
Atas semua pernyataan dan tindakan tersebut, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Pancasila Prof Dr Agus Surono menegaskan Abdul Qadir Baraja yang mengaku sebagai Khalifah atau Amirul Mu'minin ceramah saat acara harlah PPUI Bekasi berjudul: Hanya Orang Biadab yang Mau Tunduk dan Patuh kepada Aturan Selain Aturan Allah, yang diupload pada 21 April 2021, dapat dikualifikasikan dalam Pasal 14 Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Baca juga: Begini Kronologi Penangkapan Pimpinan Khilafatul Muslimin Abdul Qadir Hasan Baraja
"Orang-yang melakukan konvoi rombongan membagikan selebaran khilafah dikategorikan dalam Pasal 15 Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 1946, tentang Peraturan Hukum Pidana karena para peserta konvoi telah menyiarkan kabar yang tidak pasti atau kabar yang berlebihan atau yang tidak lengkap. Sedangkan ia mengerti setidak-tidaknya patut dapat menduga, bahwa kabar demikian akan atau mudah dapat menerbitkan keonaran di kalangan rakyat," tegas Prof Agus.
(kri)