Tapera Untuk Siapa?

Selasa, 23 Juni 2020 - 18:09 WIB
loading...
Tapera Untuk Siapa?
Dr. Rio Christiawan,S.H.,M.Hum.,M.Kn.
A A A
Dr. Rio Christiawan,S.H.,M.Hum.,M.Kn.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Prasetiya Mulya

Terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) No. 25/2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang ditandatangani Presiden Joko Widodo masih menimbulkan polemik hingga saat ini. Persoalannya adalah momentum penyelenggaraan Tapera dipandang tidak tepat dan belum sesuai dengan kondisi perekonomian. Lesunya kondisi perekonomian menjadi penyebab utama tidak tepatnya kebijakan Tapera untuk diterapkan saat ini. Dengan kondisi skenario perekonomian ‘super berat’ sebagai dampak dari pandemi Covid-19 maka kebijakan Tapera dirasa memberatkan pekerja maupun pemberi kerja.

Kebijakan Tapera dirasa kontraproduktif karena hingga saat ini angka pemutusan hubungn kerja (PHK) bertambah menjadi 2 juta (sepanjang tahun 2020) sebagai dampak dari pandemi Covid-19, angka ini tentu semakin meningkatkan angka pengangguran, ditambah lagi dengan fakta lesunya perekonomian dan banyaknya usaha terdampak pandemi akan sangat berdampak pada penyerapan kembali tenaga kerja. Sebaliknya kebijakan kartu pra kerja masih belum terbukti dapat menyerap tenaga kerja secara signifikan atau menciptakan lapangan kerja.

Sementara kondisi tenaga kerja yang tidak terkena PHK dalam kondisi saat ini juga berada pada fase untuk ‘survive’, artinya berusaha agar tidak terkena PHK, demikian juga pada kondisi pemberi kerja yang berada dalam fase yang sama yakni berusaha agar tidak melakukan PHK. Artinya jika pekerja dan pemberi kerja berada dalam fase ini maka perbaikan renumerasi bukan menjadi hal yang penting. Kini fakta empiris yang harus dihadapi terkait kondisi tenaga kerja di Indonesia pasca pandemi adalah selain masih terus bertambahnya angka PHK, yakni kondisi pemotongan remunerasi seperti pemotongan tunjangan, hingga pemotongan gaji pokok.

Mengacu pada kondisi riil saat ini jika PP Tapera diberlakukan maka setidaknya akan timbul tiga persoalan yakni: pertama, harapan melalui PP Tapera adalah terkumpul sejumlah dana tunai sehingga akan dapat menunjang peruntukan sebagaimana dimaksud dalam PP Tapera. Permasalahannya adalah jika angka PHK dan pengangguran masih tinggi namun PP Tapera tetap diberlakukan maka justru akan kontraproduktif dengan tujuan awalnya. Maka kini persoalan yang lebih penting untuk dapat dijawab oleh pemerintah adalah melakukan recovery atas dampak PHK dan meningkatkan serapan tenaga kerja produktif Indonesia ke dalam lapangan kerja.

Persoalan kedua, adalah jika PP Tapera ini diberlakukan dengan kondisi empiris tenaga kerja yang ada (bagi yang tidak terkena PHK) adalah adanya penyesuaian remunerasi (penurunan akibat berbagai pemotongan). Dalam kondisi tersebut jika ditambah pemotongan tapera akan menambah beban bagi tenaga kerja, khususnya bagi tenaga kerja yang memiliki remunerasi yang tidak besar. Persoalan ketiga, pengelolaan dan tanggung jawab pemerintah sendiri yang belum diatur secara jelas dalam PP Tapera (masih membutuhkan aturan pelaksanaan) sehingga pelaksanaan PP Tapera tanpa dilengkapi dengan aturan pelaksanaan akan berpotensi merugikan tenaga kerja.

Semangat Versus Momentum
Kelsen (1987), menyebutkan dalam memaknai peraturan perundangan harus dimaknai dari tiga aspek yakni filosofis, yuridis dan sosiologis (empiris). Secara filosofis PP Tapera ini sebenarnya memiliki tujuan yang baik, yakni agar seluruh masyarakat memiliki rumah yang layak huni baik dengan dengan mekanisme pengadaan rumah maupun renovasi rumah. Hal ini menunjukkan kontribusi PP Tapera bagi kesejahteraan masyarakat. Secara konstitusional Pasal 28 H ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin , bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik.

Jabaran konstitusi terkait kewajiban negara dijabarkan dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No.1/2011 tentang Perumahan dan Kawasan permukiman, dijabarkan bahwa negara bertanggung jawab atas penyelenggaraan perumahan dan Kawasan permukiman yang pembinaannya dilakukan oleh pemerintah dan, Pasal 19 ayat (1) Undang-UndangNo. 1/2011 tentang Perumahan dan Kawasan permukiman yang berorientasi pada pemerataan kesejahteraan masyarakat. Kini Peraturan Pemerintah (PP) No. 25/2020 sejatinya merupakan bentuk pelaksanaan dari Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 19 ayat (1) Undang-UndangNo. 1/2011 tentang Perumahan dan Kawasan permukiman.

Jadi perlu digaris bawahi sebenarnya secara filosofis bahwa semangat dan tujuan Peraturan Pemerintah (PP) No. 25/2020 adalah berorientasi pada kesejahteraan masyarakat. Hal ini diperkuat fakta bahwa pada tahun 2019 lembaga survei rumah 123 merilis hasil surveynya yang juga dimuat di sejumlah koran nasional, dalam survey tersebut menyatakan bahwa 45 persen dari seluruh penduduk di Jawa dan Bali termasuk Jabodetabek tidak mampu membeli perumahan karena faktor harga dan sisanya tinggal di rumah warisan. Fakta ini semakin menunjukkan bahwa Peraturan Pemerintah (PP) No. 25/2020 adalah berorientasi pada kesejahteraan masyarakat.

Hanya saja, semangat yang baik ini kini terhalang oleh kondisi sosiologis (empiris), utamanya kondisi para pekerja. Sebagaimana telah diuraikan di bagian awal bahwa kondisi tingginya angka PHK dan pengangguran serta penyesuaian remunerasi (cenderung menurun) membuat PP Tapera saat ini bertentangan dengan tujuan awalnya yakni pemerataan kesejahteraan pemilikan hunian layak. Dalam situasi saat ini potongan dalam PP Tapera akan memberatkan kondisi pekerja itu sendiri, karena idealnya tapera dilaksanakan dalam kondisi angka PHK dan tingkat pengangguran yang rendah serta adanya remunerasi tenaga kerja yang baik sehingga tapera yang sifatnya investasi tidak mengganggu kondisi perekonomian tenaga kerja.

Artinya, saat ini penting bagi pemerintah untuk membenahi fondasi dari pelaksanaan tapera itu sendiri. PHK menjadi faktor yang penting untuk dikurangi serta percepatan penyerapan tenaga kerja akan sangat membantu efektifitas pelaksanaan tapera itu sendiri. Faktor lainnya adalah percepatan pemulihan perekonomian sehingga dapat dibarengi dengan upaya perbaikan remunerasi dari tenaga kerja. Jika pemulihan perekonomian dan penyerapan tenaga kerja telah berlangsung secara efektif maka PP Tapera dapat dikatakan sebagai instrumen hukum untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28 H ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.

Terakhir, secara yuridis instrumen hukum akan dapat berlaku efektif jika tidak mengandung cacat hukum. Jika mencermati PP Tapera tersebut masih perlu dilengkapi banyak aturan pelaksanaan guna menjamin terlaksananya hak masyarakat yang telah menyetorkan dananya dan juga untuk memastikan tanggung jawab pemerintah yang telah menerima dana dari masyarakat sehingga nantinya PP Tapera tidak merugikan masyarakat.

Dalam hal ini perlu dipastikan bahwa penghimpunan dana dari masyarakat baru dapat dimulai setelah semua instrument hukum aturan pelaksanaan sudah siap. Dengan menimbang pada seluruh aspek maka dapat dikatakan bahwa tapera bersifat positif bagi masyarakat pekerja, hanya saja momentum peluncuran PP Tapera terkendala lesunya perekonomian. (*)
(ras)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1846 seconds (0.1#10.140)