Politikus PDIP Pertanyakan Aturan Perusahaan Sawit Wajib Berkantor di Indonesia

Senin, 30 Mei 2022 - 20:46 WIB
loading...
Politikus PDIP Pertanyakan Aturan Perusahaan Sawit Wajib Berkantor di Indonesia
Anggota Komisi VI DPR Deddy Yevri Sitorus. FOTO/DOK. DPR RI
A A A
JAKARTA - Anggota Komisi VI DPR Deddy Yevri Sitorus mengapresiasi pernyataan Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan bahwa perusahaan sawit harus berkantor pusat di Indonesia. Menurutnya, statement itu sangat progresif, populis, dan heroik.

"Saya sih senang dengan pernyataan Pak Luhut itu, tetapi apa memang ada regulasinya? Apakah memang ada UU atau aturan pemerintah yang menyatakan dan mengharuskan semua investor yang berinvestasi harus berkantor pusat di Indonesia?" kata politikus PDIP ini dalam keterangan tertulisnya, Senin (30/5/2022).

Deddy mengaku sangat mendukung pernyataan Luhut jika kebijakan itu serius dilakukan. Namun perlu dipikirkan juga apakah hal itu tidak berdampak pada investasi di Indonesia.



"Apakah dulu Exxon dan Freeport kantor pusatnya ada di Indonesia? Atau apakah sekarang PWC, McKenzie, Huadian, Newmont, Chingsan, Huawei, Virtue Dragon, Obsidian, Silk Road dan sebagainya itu juga harus berkantor pusat di Indonesia?" ujar legislator dari Dapil Kalimantan Utara ini.

Menurut Deddy, ada banyak persoalan hulu di industri sawit yang seharusnya diurusi Luhut Binsar Pandjaitan sebagai orang yang ditugasi membereskan sengkarut minyak goreng. Contoh paling hulu adalah terkait Domestic Price Obligation (DPO) yang meliputi penetapan harga Tandan Buah Sawit (TBS), minyak sawit mentah (CPO), dan produk minyak goreng yang masih mengacu pada harga internasional.

"Selain itu juga terkait mekanisme pemungutan dan kontrol CPO hasil DMO (Domestic Market Obligation), kemampuan pemerintah menyiapkan fasilitas cadangan nasional hingga distribusi," tuturnya.

Baca juga: Luhut Usul Perusahaan Sawit Wajib Ngantor di RI, Ternyata Ini Manfaatnya

Persoalan hulu lain terkait jangka waktu HGU lahan, pengembalian aset kepada negara, plasma dan luasan HGU yang merugikan petani kecil serta masyarakat adat, sehingga menimbulkan konflik. Lalu juga soal banyaknya perkebunan sawit yang belum memberikan upah buruh sesuai ketentuan.

"Kenapa soal-soal hulu yang fundamental seperti itu tidak dipikirkan," katanya.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1111 seconds (0.1#10.140)