Kasus Dugaan Korupsi di Krakatau Steel, Kejagung Periksa 3 Orang Saksi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Penyidik Jampidsus Kejaksaan Agung (Kejagung) melakukan pemeriksaan terhadap tiga orang saksi. Ketiganya diperiksa dalam dugaan tidak pidana korupsi proyek pembangunan pabrik Blast Furnace oleh PT Krakatau Steel (KS).
Baca Juga: Krakatau Steel
Baca juga: Proyek Krakatau Steel Rp6 Triliun Terendus Kejagung Beraroma Korupsi
Saksi-saksi yang diperiksa di antaranya Direktur Utama PT Sentra Karya Mandiri berinisial AP. Saksi kedua Konsultan Kajian Material Flow Pasca Blast Furnace tahun 2012 berinisial HRS.
"Saksi ketiga, RB selaku Head of Corporate Banking pada Bank CIMB Niaga Pusat, diperiksa terkait dugaan tindak pidana Korupsi pada proyek pembangunan Pabrik Blast Furnace oleh PT Krakatau Steel," jelasnya.
Pemeriksaan saksi dilakukan untuk memperkuat pembuktian dan melengkapi pemberkasan dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi pada proyek pembangunan pabrik Blast Furnace oleh PT Krakatau Steel pada tahun 2011.
Dalam kasus ini, penyidik telah menaikan statusnya menjadi penyidikan berdasarkan Surat Perintah Penyidikan dari Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus Nomor: Print-14/F.2/Fd.2/03/2022 tanggal 16 Maret 2022.
Posisi kasus tersebut berawal pada 2011 sampai dengan 2019 PT Krakatau Steel membangun Pabrik Blast Furnace (BFC) bahan bakar batubara untuk memajukan industri baja nasional dengan biaya produksi yang lebih murah, karena dengan menggunakan bahan bakar Gas biaya produksi lebih mahal.
Pada tanggal 31 Maret 2011, dilakukan lelang pengadaan pembangunan Pabrik BFC yang dimenangkan oleh Konsorsium MCC CERI dan PT Krakatau Engineering. Sumber pendanaan pembangunan Pabrik BFC awalnya dibiayai Bank Eksport Credit Agency (ECA) dari China.
Namun dalam pelaksanaannya, ECA tidak menyetujui pembiayaan proyek dimaksud karena Ebitda atau kinerja keuangan perusahaan PT Krakatau Steel tidak memenuhi syarat. Pihak PT Krakatau Steel kemudian mengajukan pinjaman ke sindikasi Bank BRI, Mandiri, BNI, OCBC, ICBC, CIMB, dan LPEI.
Nilai kontrak setelah mengalami perubahan adalah Rp6.921.409.421.190 dan pembayaran yang telah dilaksanakan adalah sebesar Rp5.351.089.465.278 dengan rincian, porsi luar negeri Rp3.534.011.770.896 dan porsi lokal Rp1.817.072.694.382.
Pekerjaan pun dihentikan pada tanggal 19 Desember 2019 dikarenakan pekerjaan belum 100 persen dan setelah dilakukan uji coba bahwa operasi biaya produksi lebih besar dari harga baja di pasar. Pekerjaan pun belum diserahterimakan dengan kondisi tidak dapat beroperasi lagi alias mangkrak.
"PT Krakatau Steel melakukan pembangunan pabrik Blast Furnace dengan tujuan untuk peningkatan produksi baja nasional, proyek tersebut dimulai pada tahun 2011 sampai tahun 2015 dan dilakukan beberapa kali addendum sampai dengan tahun 2019," kata Ketut.
Adapun dilakukan pemberhentian di tahun 2019 karena biaya produksi lebih tinggi dari harga di pasar dan berdasarkan hal tersebut, terindikasi adanya tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 2 jo. Pasal 3 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor.
Baca Juga: Krakatau Steel
Baca juga: Proyek Krakatau Steel Rp6 Triliun Terendus Kejagung Beraroma Korupsi
Saksi-saksi yang diperiksa di antaranya Direktur Utama PT Sentra Karya Mandiri berinisial AP. Saksi kedua Konsultan Kajian Material Flow Pasca Blast Furnace tahun 2012 berinisial HRS.
"Saksi ketiga, RB selaku Head of Corporate Banking pada Bank CIMB Niaga Pusat, diperiksa terkait dugaan tindak pidana Korupsi pada proyek pembangunan Pabrik Blast Furnace oleh PT Krakatau Steel," jelasnya.
Pemeriksaan saksi dilakukan untuk memperkuat pembuktian dan melengkapi pemberkasan dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi pada proyek pembangunan pabrik Blast Furnace oleh PT Krakatau Steel pada tahun 2011.
Dalam kasus ini, penyidik telah menaikan statusnya menjadi penyidikan berdasarkan Surat Perintah Penyidikan dari Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus Nomor: Print-14/F.2/Fd.2/03/2022 tanggal 16 Maret 2022.
Posisi kasus tersebut berawal pada 2011 sampai dengan 2019 PT Krakatau Steel membangun Pabrik Blast Furnace (BFC) bahan bakar batubara untuk memajukan industri baja nasional dengan biaya produksi yang lebih murah, karena dengan menggunakan bahan bakar Gas biaya produksi lebih mahal.
Pada tanggal 31 Maret 2011, dilakukan lelang pengadaan pembangunan Pabrik BFC yang dimenangkan oleh Konsorsium MCC CERI dan PT Krakatau Engineering. Sumber pendanaan pembangunan Pabrik BFC awalnya dibiayai Bank Eksport Credit Agency (ECA) dari China.
Namun dalam pelaksanaannya, ECA tidak menyetujui pembiayaan proyek dimaksud karena Ebitda atau kinerja keuangan perusahaan PT Krakatau Steel tidak memenuhi syarat. Pihak PT Krakatau Steel kemudian mengajukan pinjaman ke sindikasi Bank BRI, Mandiri, BNI, OCBC, ICBC, CIMB, dan LPEI.
Nilai kontrak setelah mengalami perubahan adalah Rp6.921.409.421.190 dan pembayaran yang telah dilaksanakan adalah sebesar Rp5.351.089.465.278 dengan rincian, porsi luar negeri Rp3.534.011.770.896 dan porsi lokal Rp1.817.072.694.382.
Pekerjaan pun dihentikan pada tanggal 19 Desember 2019 dikarenakan pekerjaan belum 100 persen dan setelah dilakukan uji coba bahwa operasi biaya produksi lebih besar dari harga baja di pasar. Pekerjaan pun belum diserahterimakan dengan kondisi tidak dapat beroperasi lagi alias mangkrak.
"PT Krakatau Steel melakukan pembangunan pabrik Blast Furnace dengan tujuan untuk peningkatan produksi baja nasional, proyek tersebut dimulai pada tahun 2011 sampai tahun 2015 dan dilakukan beberapa kali addendum sampai dengan tahun 2019," kata Ketut.
Adapun dilakukan pemberhentian di tahun 2019 karena biaya produksi lebih tinggi dari harga di pasar dan berdasarkan hal tersebut, terindikasi adanya tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 2 jo. Pasal 3 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor.
(maf)