Mengakhiri Polemik Penundaan Pemilu
loading...
A
A
A
Ferry Kurnia Rizkiyansyah
Wakil Ketua Umum DPP Partai Perindo
SATU hari sebelum demonstrasi mahasiswa di Jakarta pada Senin (11/4), Presiden Joko Widodo dalam kesempatan rapat terbatas membahas persiapan pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah serentak tahun 2024, di Istana Bogor, Minggu, (10/4) lalu, meminta seluruh jajaran di pemerintahan untuk menyampaikan kepada publik tidak ada upaya dari pemerintah untuk melakukan penundaan Pemilu 2024 karena jadwal bagi pelaksanaan hajatan demokrasi lima tahunan tersebut telah ditetapkan.
Penegasan Presiden itu sekaligus mengakhiri berbagai polemik yang mencuat di ruang publik selama beberapa bulan terakhir ini mengenai wacana penundaan Pemilu 2024 maupun perpanjangan masa jabatan presiden.
Akhir Februari lalu, wacana penundaan Pemilu 2024 pernah dilontarkan oleh sejumlah elite partai politik. Mereka berdalih pemilihan umum diundur agar momentum pemulihan ekonomi akibat pandemi tidak hilang karena terganggu hajatan pemilihan umum.
Sebelumnya, wacana penundan Pemilu 2024 pernah juga dilontarkan oleh Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Bahlil Lahadalia pada Januari lalu. Dalih digunakan pun serupa, Bahlil Lahadalia mengungkapkan harapan pelaku usaha agar pelaksanaan pemilu ditunda karena situasi dunia usaha baru mulai bangkit kembali setelah terpuruk akibat pandemi selama dua tahun terakhir.
Terbaru, dalam acara silaturahmi nasional Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (APDESI), di Istora Gelora Bung Karno, Jakarta, akhir Maret lalu, menggema dukungan agar Presiden Joko Widodo menjabat selama tiga periode.
Selain menuai polemik dan kontroversi di ruang publik, perbincangan mengenai penundaan Pemilu 2024 maupun perpanjangan masa jabatan presiden juga membuka kembali kotak pandora amendemen konstitusi. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak mengenal istilah penundaan pemilihan umum maupun perpanjangan masa jabatan presiden. Alih-alih penundaan pemilu diperbolehkan, konstitusi tegas mengamanatkan kepastian pelaksanaan kontestasi lima tahunan tersebut.
Ketentuan di konstitusi tersebut berkorelasi dengan semangat pembatasan kekuasaan sebagai salah satu tuntutan utama gerakan reformasi. Tuntutan itu kemudian dikuatkan melalui amendemen pertama konstitusi, pemilihan umum merupakan mekanisme bagi keberlangsungan sirkulasi kekuasaan secara demokratis. Tidak ada mekanisme lain bagi hal tersebut.
Demokrasi Konstitusional
Apabila Pemilu 2024 tidak digelar, maka tidak ada dasar hukum mengenai siapa yang akan berperan dalam mengendalikan pemerintahan atau memegang kekusaan eksekutif karena masa jabatan presiden dan wakil presiden habis pada 20 Oktober 2024. Per tanggal itu Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin berstatus demisioner.
Di dalam konstitusi tidak disebutkan mengenai perpanjangan masa jabatan presiden dan wakil presiden. Ketiadaan mekanisme perpanjangan jabatan presiden dalam konstitusi karena secara tegas di bagian lain konstitusi mengamanatkan pemilu dilaksanakan setiap lima tahun sekali (Pasal 22 E ayat 1). Periodesasi lima tahunan ini didasarkan pada semangat menjamin kepastian sirkulasi kekuasaan secara teratur dan demokratis.
Semangat pembatasan kekuasaan memang menjadi isu utama setelah rezim Orde Baru runtuh. Perubahan pertama Undang-Undang Dasar 1945 dapat disebut sebagai tonggak sejarah yang berhasil meruntuhkan tembok sakralisme di sebagian kelompok elite politik saat itu di mana cenderung memperlakukan konstitusi sebagai teks suci.
Satu di antara fokus utama pada perubahan pertama tersebut terletak pada pembatasan periode masa jabatan presiden agar pada masa mendatang tidak ada lagi presiden menjabat berpuluh-puluh tahun seperti masa lalu. Karena itu, dilakukan perubahan terhadap Pasal 7 Undang-Undang Dasar 1945 sehingga secara jelas menegaskan seseorang dapat menjadi presiden untuk dua kali masa jabatan saja.
Secara ringkas, terdapat empat substansi perubahan dihasilkan melalui empat kali prose amendemen konstitusi di masa awal reformasi: Pertama, pemilihan presiden dan wakil presiden dilakukan secara langsung atau tidak lagi melalui Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia. Kedua, pelembagaan masa jabatan presiden dan wakil presiden bersifat tetap selama lima tahun dengan maksimal dua periode masa jabatan.
Ketiga, pengalihan fungsi legislasi dari semula titik berat berada di lembaga eksekutif menjadi di lembaga legislatif meski tetap harus dibahas dan mendapatkan persetujuan presiden. Keempat, penghapusan kedudukan dan peran Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia sebagai lembaga tertinggi negara.
Berbagai perubahan mendasar dihasilkan melalui empat tahap amendemen konstitusi tersebut sejalan dengan apa yang dikatakan Arend Lijphart. Menurut Lijphart, ada tiga hal pokok dari sebuah sistem presidensial, yaitu kepala pemerintahan dipilih untuk masa jabatan bersifat tetap, presiden dipilih secara langsung, dan presiden merupakan kepala eksekutif bersifat tunggal. Konsekuensi masa jabatan bersifat tetap tersebut adalah presiden terpilih tidak mudah dijatuhkan oleh parlemen (Lijphart, 1994: 91-105).
Berangkat dari pemikiran tersebut, penundaan pemilu atas dalih pemilihan ekonomi akibat pandemi adalah hal kontraproduktif bagi keberlangsungan demokrasi konstitusional di Indonesia dan hal ini bisa berakibat indeks demokrasi kita semakin turun di mata dunia.
Dua prinsip dasar demokrasi konstitusional adalah pembatasan periode masa jabatan presiden serta sirkulasi kekuasaan secara teratur dan demokratis. Dua prinsip dasar itu dimaksudkan untuk menghindarkan diri dari jebakan otoritarianisme.
Wakil Ketua Umum DPP Partai Perindo
SATU hari sebelum demonstrasi mahasiswa di Jakarta pada Senin (11/4), Presiden Joko Widodo dalam kesempatan rapat terbatas membahas persiapan pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah serentak tahun 2024, di Istana Bogor, Minggu, (10/4) lalu, meminta seluruh jajaran di pemerintahan untuk menyampaikan kepada publik tidak ada upaya dari pemerintah untuk melakukan penundaan Pemilu 2024 karena jadwal bagi pelaksanaan hajatan demokrasi lima tahunan tersebut telah ditetapkan.
Penegasan Presiden itu sekaligus mengakhiri berbagai polemik yang mencuat di ruang publik selama beberapa bulan terakhir ini mengenai wacana penundaan Pemilu 2024 maupun perpanjangan masa jabatan presiden.
Akhir Februari lalu, wacana penundaan Pemilu 2024 pernah dilontarkan oleh sejumlah elite partai politik. Mereka berdalih pemilihan umum diundur agar momentum pemulihan ekonomi akibat pandemi tidak hilang karena terganggu hajatan pemilihan umum.
Sebelumnya, wacana penundan Pemilu 2024 pernah juga dilontarkan oleh Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Bahlil Lahadalia pada Januari lalu. Dalih digunakan pun serupa, Bahlil Lahadalia mengungkapkan harapan pelaku usaha agar pelaksanaan pemilu ditunda karena situasi dunia usaha baru mulai bangkit kembali setelah terpuruk akibat pandemi selama dua tahun terakhir.
Terbaru, dalam acara silaturahmi nasional Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (APDESI), di Istora Gelora Bung Karno, Jakarta, akhir Maret lalu, menggema dukungan agar Presiden Joko Widodo menjabat selama tiga periode.
Selain menuai polemik dan kontroversi di ruang publik, perbincangan mengenai penundaan Pemilu 2024 maupun perpanjangan masa jabatan presiden juga membuka kembali kotak pandora amendemen konstitusi. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak mengenal istilah penundaan pemilihan umum maupun perpanjangan masa jabatan presiden. Alih-alih penundaan pemilu diperbolehkan, konstitusi tegas mengamanatkan kepastian pelaksanaan kontestasi lima tahunan tersebut.
Ketentuan di konstitusi tersebut berkorelasi dengan semangat pembatasan kekuasaan sebagai salah satu tuntutan utama gerakan reformasi. Tuntutan itu kemudian dikuatkan melalui amendemen pertama konstitusi, pemilihan umum merupakan mekanisme bagi keberlangsungan sirkulasi kekuasaan secara demokratis. Tidak ada mekanisme lain bagi hal tersebut.
Demokrasi Konstitusional
Apabila Pemilu 2024 tidak digelar, maka tidak ada dasar hukum mengenai siapa yang akan berperan dalam mengendalikan pemerintahan atau memegang kekusaan eksekutif karena masa jabatan presiden dan wakil presiden habis pada 20 Oktober 2024. Per tanggal itu Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin berstatus demisioner.
Di dalam konstitusi tidak disebutkan mengenai perpanjangan masa jabatan presiden dan wakil presiden. Ketiadaan mekanisme perpanjangan jabatan presiden dalam konstitusi karena secara tegas di bagian lain konstitusi mengamanatkan pemilu dilaksanakan setiap lima tahun sekali (Pasal 22 E ayat 1). Periodesasi lima tahunan ini didasarkan pada semangat menjamin kepastian sirkulasi kekuasaan secara teratur dan demokratis.
Semangat pembatasan kekuasaan memang menjadi isu utama setelah rezim Orde Baru runtuh. Perubahan pertama Undang-Undang Dasar 1945 dapat disebut sebagai tonggak sejarah yang berhasil meruntuhkan tembok sakralisme di sebagian kelompok elite politik saat itu di mana cenderung memperlakukan konstitusi sebagai teks suci.
Satu di antara fokus utama pada perubahan pertama tersebut terletak pada pembatasan periode masa jabatan presiden agar pada masa mendatang tidak ada lagi presiden menjabat berpuluh-puluh tahun seperti masa lalu. Karena itu, dilakukan perubahan terhadap Pasal 7 Undang-Undang Dasar 1945 sehingga secara jelas menegaskan seseorang dapat menjadi presiden untuk dua kali masa jabatan saja.
Secara ringkas, terdapat empat substansi perubahan dihasilkan melalui empat kali prose amendemen konstitusi di masa awal reformasi: Pertama, pemilihan presiden dan wakil presiden dilakukan secara langsung atau tidak lagi melalui Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia. Kedua, pelembagaan masa jabatan presiden dan wakil presiden bersifat tetap selama lima tahun dengan maksimal dua periode masa jabatan.
Ketiga, pengalihan fungsi legislasi dari semula titik berat berada di lembaga eksekutif menjadi di lembaga legislatif meski tetap harus dibahas dan mendapatkan persetujuan presiden. Keempat, penghapusan kedudukan dan peran Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia sebagai lembaga tertinggi negara.
Berbagai perubahan mendasar dihasilkan melalui empat tahap amendemen konstitusi tersebut sejalan dengan apa yang dikatakan Arend Lijphart. Menurut Lijphart, ada tiga hal pokok dari sebuah sistem presidensial, yaitu kepala pemerintahan dipilih untuk masa jabatan bersifat tetap, presiden dipilih secara langsung, dan presiden merupakan kepala eksekutif bersifat tunggal. Konsekuensi masa jabatan bersifat tetap tersebut adalah presiden terpilih tidak mudah dijatuhkan oleh parlemen (Lijphart, 1994: 91-105).
Berangkat dari pemikiran tersebut, penundaan pemilu atas dalih pemilihan ekonomi akibat pandemi adalah hal kontraproduktif bagi keberlangsungan demokrasi konstitusional di Indonesia dan hal ini bisa berakibat indeks demokrasi kita semakin turun di mata dunia.
Dua prinsip dasar demokrasi konstitusional adalah pembatasan periode masa jabatan presiden serta sirkulasi kekuasaan secara teratur dan demokratis. Dua prinsip dasar itu dimaksudkan untuk menghindarkan diri dari jebakan otoritarianisme.
(bmm)