Ramadan dan Penguatan Kohesi Sosial

Sabtu, 09 April 2022 - 09:58 WIB
loading...
Ramadan dan Penguatan Kohesi Sosial
Ramadan dan Penguatan Kohesi Sosial
A A A
H Abdul Khaliq Ahmad
Ketua DPP Partai Perindo dan Ketua Umum SAHI

Ramadan merupakan bulan yang sangat istimewa dibandingkan dengan bulan lain dalam penanggalan hijriah. Keistimewaan bulan Ramadan karena di dalamnya terdapat kewajiban melaksanakan puasa bagi umat Islam, sebagaimana Firman Allah: “Wahai orang yang beriman, diwajibkan kepadamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan kepada umat sebelummu agar kamu bertaqwa.” (QS Albaqarah: 183).

Keistimewaan lain dari bulan Ramadan adalah diturunkannya Alquran, dilipatgandakan pahala, bulan penuh keberkahan dan ampunan, terdapat malam lailatul qadar, dibelenggunya setan, tertutupnya pintu neraka dan terbukanya pintu surga, dan dikabulkannya segala doa. Untuk itu, momentum ramadan perlu dimanfaatkan secara optimal dengan memperbanyak ibadah dan mengambil pelajaran untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT, serta memperkuat kohesi sosial dalam praksis kehidupan masyarakat Indonesia yang sangat plural.

Ramadan bisa difungsikan sebagai bulan untuk merekatkan kohesi sosial di tengah masyarakat yang sangat heterogen dan tingkat depresi masyarakat yang tinggi. Semua ini membutuhkan kesadaran pluralisme dan perasaan senasib antarsesama. Ramadan adalah bulan kebersamaan yang mengajarkan tidak ada manusia yang istimewa di sisi Allah, melainkan kualitas takwanya. Semua etnik di hadapan Allah setara dan sederajat. Oleh karena itu, Ramadhan menjadi momentum penting bagi masyarakat untuk memperbarui segala kerapuhan hubungan sosial akibat persepsi negatif terhadap etnik, budaya, agama, maupun adat istiadat.

Pemaknaan sosiologis Ramadan ini linear dengan Khutbah Wada’ Nabi Muhammad SAW pada puncak misi kerasulannya. Nabi menyatakan bahwa orang-orang Arab tidak lebih utama dari orang non-Arab, begitu pula sebaliknya. Semua berasal dari Adam dan sama-sama tercipta dari tanah. Konsep persaudaraan yang tulen itu secara fundamental seharusnya mampu memengaruhi dinamika relasi masyarakat kita sehingga kekerasan, amuk, dan prasangka benar-benar lenyap dari sejarah perjalanan bangsa kita.

Pluralitas masyarakat Indonesia dapat dilihat dari dua sisi. Pertama, plural secara horizontal, ditandai oleh kenyataan adanya kesatuan-kesatuan sosial berdasarkan suku, agama, adat, serta kedaerahan. Kedua, plural secara vertikal, struktur masyarakat Indonesia ditandai oleh adanya perbedaan lapisan atas dan bawah yang cukup tajam. Struktur ini tidak bisa ditafsirkan sebagai ancaman bagi kohesi sosial. Sebaliknya justru menjadi potensi besar pembentukan masyarakat yang demokratis, yang dicirikan terbangunnya civil society.

Pluralitas adalah gejala umum yang terjadi dalam kehidupan manusia, seperti pluralitas dalam berfikir, berperasaan, bertempat tinggal, dan berperilaku. Meskipun berasal dari sumber yang bersifat tunggal, yakni dari dan bersandar pada Allah Yang Maha Esa. Namun, ketika doktrin itu menyejarah dalam masyarakat dan realitas kehidupan masyarakat, maka pemahaman, penafsiran, dan pelaksanaan sepenuhnya bersandar pada realitas tersebut. Manusia yang satu dengan manusia yang lain berbeda dalam pemikiran maupun kehidupan sosial-ekonomi, budaya, politik, dan geografis.

Melalui Ramadan, kita hapus diskriminasi dan dikotomi superioritas dalam bingkai kebersamaan, dan menegasikan kasta sosial, ekonomi ataupun politik. Ibadah puasa, zakat dan shalat tarawih berjamaah di masjid atau mushalla merupakan dialektika ritual sekaligus sosial, yang mampu memperkuat kohesi sosial.
(hdr)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1170 seconds (0.1#10.140)