Korona dan Tahun Ajaran Baru di Pesantren
loading...
A
A
A
Piet H. Khaidir
Sekretaris Pondok Pesantren Al-Ishlah, Sendangagung Paciran Lamongan
Meski Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim, menetapkan penjadwalan tahun ajaran baru pendidikan 2020/2021 tetap dibuka pada 13 Juli 2020, ia memutuskan bahwa pembelajaran siswa tetap dilakukan dari rumah (online) sampai dengan awal tahun 2021. Sang menteri tidak mau mengambil resiko penyebaran covid-19 terjadi dengan cluster baru dari sekolah. Apalagi ada pengalaman kebijakan buka tutup sekolah di Korea Selatan, setelah ada lonjakan tak terduga kasus positif korona, setelah dua pekan masa pembelajaran dibuka. Nadiem mengambil langkah hati-hati.
Kebijakan Nadiem ini mendapatkan respon beragam di dunia pendidikan. Beberapa Provinsi, Kota dan Kabupaten mengambil kebijakan moderat, dengan pertimbangan zonasi penyebaran korona. Misalnya, di Provinsi Jawa Timur semacam ada kesepakatan 13 Juli 2020 itu akan dijadwalkan untuk belajar di sekolah. Di antara pertimbangannya adalah zonasi korona, pengetatan pemberlakuan protokol kesehatan dan pencegahan korona di sekolah dan selama perjalanan dari rumah ke sekolah. Yang riskan memang dalam perjalanan dari rumah ke sekolah.
Berbeda dengan sikap sekolah non pesantren, pondok pesantren terlihat lebih progresif dalam menghadapi tahun ajaran baru ini. Rerata pesantren memiliki sekolah baik yang berada di bawah naungan Kementrian Pendidikan Nasional maupun Kementrian Agama. Juga ada yang tidak memiliki sekolah, hanya kurikulum pondok pesantren. Sebagian besar pesantren dalam menghadapi tahun ajaran baru dilakukan dengan pembelajaran langsung. Santri dijadwalkan tetap kembali ke pesantren sesuai jadwal tahun ajaran baru.
Protokol Pencegahan Korona di Pesantren
Sebagian besar pesantren memang menjadwalkan santri untuk kembali ke pesantren tepat waktu sesuai tahun ajaran baru. Untuk keperluan ini, rerata pesantren telah siap dengan protokol pencegahan korona dengan membuat maklumat dan standard of procedure (SOP) untuk santri ketika mereka kembali ke pesantren, mulai dari proses perjalanan dari rumah menuju pesantren, ketika datang di pesantren, dan masa hidup di pesantren untuk pembelajaran.
Pesantren Gontor dan beberapa pesantren alumni Gontor misalnya menjadwalkan kedatangan santri pada pertengahan Juni sampai dengan pertengahan Juli. Di antara SOP yang diterapkan adalah santri diwajibkan melakukan isolasi diri sebelum keberangkatan ke pesantren. Dalam perjalanan mereka harus diantar kendaraan khusus yang diurus oleh konsulat masing-masing daerah. Dengan kendaraan khusus ini para santri diharapkan tidak terkontak dengan siapapun, sehingga lebih terhindar dari penyebaran korona. Para santri dianjurkan memakai masker, membawa handsanitizer, dan peralatan pribadi yang memungkinkan di antara mereka sendiri dapat dilakukan physical distancing.
Ada pesantren yang membuat SOP lebih ketat untuk pencegahan korona. Misalnya, pondok pesantren Al-Ishlah Sendangagung Paciran. Sebelum kedatangan ke pesantren, santri diwajibkan mengisolasi diri secara mandiri selama 14 hari. Ketika berangkat, santri sudah mengantongi surat sehat dari dokter, menanda-tangani surat pernyataan telah isolasi mandiri, dan surat screening mandiri korona. Proses kedatangan santri di pesantren ini dilakukan secara bertahap dan bergelombang. Jarak kedatangan antara santri yang dijadwalkan tiba pada gelombang pertama, kedua dan seterusnya adalah 14 hari.
Jumlah hari ini menggunakan rumus masa inkubasi korona. Jadi, ketika santri yang gelombang pertama datang, mereka tidak langsung masuk kamar mereka, melainkan diarahkan menuju kamar isolasi secara berkelompok di ruangan khusus dengan partisi dan jarak, selama 14 hari lagi. Para santri gelombang pertama selesai masa isolasi, mereka diarahkan masuk kamar masing-masing. Lalu, berangkatlah santri dengan jadwal gelombang kedua dengan proses dan prosedur yang sama.
Untuk mencegah penyebaran sedemikian rupa, santri harus membawa masker, handsanitizer, sajadah, piring, dan sendok makan secara pribadi. Walisantri juga tidak diperbolehkan melakukan kunjungan selama masa pandemi ini.
Tentu pesantren berbeda dengan sekolah yang tanpa pesantren. Interaksi setelah masa isolasi berakhir secara protokol lebih terjamin tidak terjadinya penyebaran dan terpapar korona. Protokol yang ketat diharapkan menjadi upaya pencegahan. Di sinilah mungkin perlu dimaklumi dan dipahami oleh semua pihak, bahwa pesantren dalam hal ini bukan menentang kebijakan pemerintah. Karena sistem pembelajaran dan interaksi antar penghuni pesantren tidak terkontaminasi dengan pihak luar. Sekolah non pesantren, dengan siswa yang pulang pergi, tentu sudah tepat mengikuti kebijakan Nadiem dengan pembelajaran online.
Terhadap beberapa pesantren, misalnya Pondok Pesantren Lirboyo Kediri, Al-Ishlah Sendangagung Lamongan, dan lain-lain, Pemerintah Provinsi Jawa Timur mengapresiasi upaya pesantren ini. Pemerintah Jawa Timur membuat program kerjasama bertajuk Pesantren Tangguh Semeru Covid-19. Yaitu, sebuah program apresiasi terhadap pesantren yang benar-benar siap menerapkan protokol pencegahan korona, terutama menghadapi tahun ajaran baru.
Kepedulian terhadap Santri dan Pendidik
Semua pelaku pendidikan pasti berpikir bahwa kebijakan terbaik yang diambil adalah sebagai bentuk kepedulian terhadap siswa atau santri dan juga pendidik. Bagi sekolah non pesantren dengan segala resiko yang dihadapi, pembelajaran online merupakan kebijakan paling safe untuk melindungi siswa dan pendidik dari penyebaran korona. Pembelajaran tetap berjalan, siswa tetap mendapatkan hak belajar, dan pendidik tetap memiliki aktifitas yang lancar untuk penghasilannya.
Bagi pesantren, kembali ke pondok dengan protokol ketat, diharapkan menjadi jalan paling aman, serta berjalannya secara normal kembali proses belajar-mengajar. Pendidikan dan kehidupan pesantren yang dilakukan selama 24 jam dapat menjadi penggemblengan kembali bagi santri untuk mengerti tentang makna belajar dan belajar kehidupan. Secara pendidikan, mengembalikan santri ke pondok adalah langkah kepedulian pesantren terhadap santri agar kembali fokus pada belajar, berinteraksi kembali yang sangat menyehatkan dengan rekan-rekannya, serta tidak kecanduan gadget.
Dalam keadaan yang belum stabil ini, pembelajaran online di sekolah non pesantren perlu memperhatikan beberapa aspek teknis yang bisa jadi justru menjadi kendala utama. Tidak semua siswa memiliki akses internet yang memadai dan fasilitas lain terkait pembelajaran online. Kebijakan belajar online ini kemungkinan sangat cocok untuk di kota besar, atau di wilayah yang tingkat kemakmuran masyarakat sudah cukup memadai. Bagaimana di wilayah yang masyarakatnya sangat kurang kehidupan perekonomiannya. Jangankan membeli pulsa, bahkan untuk makan saja mereka masih susah. Nasib siswa yang seperti ini beserta keluarga dan masa depannya harus dipikirkan dan dicarikan jalan keluarnya. Dalam masa panjang pembelajaran online, tanpa fasilitas yang mendukung secara teknis, apa yang mereka lakukan untuk mengisi hari-hari pembelajaran juga perlu diperhatikan mekanismenya.
Pada sekolah non pesantren yang secara teknis kurang memadai fasilitas pembelajarannya, memiliki tenaga pendidik yang penghasilannya bergantung kepada proses belajar-mengajar, tiadanya kegiatan pembelajaran bermakna tiadanya penghasilan untuk mereka. Pemerintah dan masyarakat luas perlu memperhatikan pendidik yang seperti ini. Yakni, memperhatikan guru, pahlawan tanpa tanda jasa.
Sebagai kalam akhir, semoga korona segera sirna dan kalaupun masih ada agar bersahabat dengan kita. Kita berharap pemerintah benar-benar memperhatikan nasib siswa dan santri. Terutama para tenaga pendidik yang barangkali penghasilannya semakin terpuruk di era korona ini.
Sekretaris Pondok Pesantren Al-Ishlah, Sendangagung Paciran Lamongan
Meski Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim, menetapkan penjadwalan tahun ajaran baru pendidikan 2020/2021 tetap dibuka pada 13 Juli 2020, ia memutuskan bahwa pembelajaran siswa tetap dilakukan dari rumah (online) sampai dengan awal tahun 2021. Sang menteri tidak mau mengambil resiko penyebaran covid-19 terjadi dengan cluster baru dari sekolah. Apalagi ada pengalaman kebijakan buka tutup sekolah di Korea Selatan, setelah ada lonjakan tak terduga kasus positif korona, setelah dua pekan masa pembelajaran dibuka. Nadiem mengambil langkah hati-hati.
Kebijakan Nadiem ini mendapatkan respon beragam di dunia pendidikan. Beberapa Provinsi, Kota dan Kabupaten mengambil kebijakan moderat, dengan pertimbangan zonasi penyebaran korona. Misalnya, di Provinsi Jawa Timur semacam ada kesepakatan 13 Juli 2020 itu akan dijadwalkan untuk belajar di sekolah. Di antara pertimbangannya adalah zonasi korona, pengetatan pemberlakuan protokol kesehatan dan pencegahan korona di sekolah dan selama perjalanan dari rumah ke sekolah. Yang riskan memang dalam perjalanan dari rumah ke sekolah.
Berbeda dengan sikap sekolah non pesantren, pondok pesantren terlihat lebih progresif dalam menghadapi tahun ajaran baru ini. Rerata pesantren memiliki sekolah baik yang berada di bawah naungan Kementrian Pendidikan Nasional maupun Kementrian Agama. Juga ada yang tidak memiliki sekolah, hanya kurikulum pondok pesantren. Sebagian besar pesantren dalam menghadapi tahun ajaran baru dilakukan dengan pembelajaran langsung. Santri dijadwalkan tetap kembali ke pesantren sesuai jadwal tahun ajaran baru.
Protokol Pencegahan Korona di Pesantren
Sebagian besar pesantren memang menjadwalkan santri untuk kembali ke pesantren tepat waktu sesuai tahun ajaran baru. Untuk keperluan ini, rerata pesantren telah siap dengan protokol pencegahan korona dengan membuat maklumat dan standard of procedure (SOP) untuk santri ketika mereka kembali ke pesantren, mulai dari proses perjalanan dari rumah menuju pesantren, ketika datang di pesantren, dan masa hidup di pesantren untuk pembelajaran.
Pesantren Gontor dan beberapa pesantren alumni Gontor misalnya menjadwalkan kedatangan santri pada pertengahan Juni sampai dengan pertengahan Juli. Di antara SOP yang diterapkan adalah santri diwajibkan melakukan isolasi diri sebelum keberangkatan ke pesantren. Dalam perjalanan mereka harus diantar kendaraan khusus yang diurus oleh konsulat masing-masing daerah. Dengan kendaraan khusus ini para santri diharapkan tidak terkontak dengan siapapun, sehingga lebih terhindar dari penyebaran korona. Para santri dianjurkan memakai masker, membawa handsanitizer, dan peralatan pribadi yang memungkinkan di antara mereka sendiri dapat dilakukan physical distancing.
Ada pesantren yang membuat SOP lebih ketat untuk pencegahan korona. Misalnya, pondok pesantren Al-Ishlah Sendangagung Paciran. Sebelum kedatangan ke pesantren, santri diwajibkan mengisolasi diri secara mandiri selama 14 hari. Ketika berangkat, santri sudah mengantongi surat sehat dari dokter, menanda-tangani surat pernyataan telah isolasi mandiri, dan surat screening mandiri korona. Proses kedatangan santri di pesantren ini dilakukan secara bertahap dan bergelombang. Jarak kedatangan antara santri yang dijadwalkan tiba pada gelombang pertama, kedua dan seterusnya adalah 14 hari.
Jumlah hari ini menggunakan rumus masa inkubasi korona. Jadi, ketika santri yang gelombang pertama datang, mereka tidak langsung masuk kamar mereka, melainkan diarahkan menuju kamar isolasi secara berkelompok di ruangan khusus dengan partisi dan jarak, selama 14 hari lagi. Para santri gelombang pertama selesai masa isolasi, mereka diarahkan masuk kamar masing-masing. Lalu, berangkatlah santri dengan jadwal gelombang kedua dengan proses dan prosedur yang sama.
Untuk mencegah penyebaran sedemikian rupa, santri harus membawa masker, handsanitizer, sajadah, piring, dan sendok makan secara pribadi. Walisantri juga tidak diperbolehkan melakukan kunjungan selama masa pandemi ini.
Tentu pesantren berbeda dengan sekolah yang tanpa pesantren. Interaksi setelah masa isolasi berakhir secara protokol lebih terjamin tidak terjadinya penyebaran dan terpapar korona. Protokol yang ketat diharapkan menjadi upaya pencegahan. Di sinilah mungkin perlu dimaklumi dan dipahami oleh semua pihak, bahwa pesantren dalam hal ini bukan menentang kebijakan pemerintah. Karena sistem pembelajaran dan interaksi antar penghuni pesantren tidak terkontaminasi dengan pihak luar. Sekolah non pesantren, dengan siswa yang pulang pergi, tentu sudah tepat mengikuti kebijakan Nadiem dengan pembelajaran online.
Terhadap beberapa pesantren, misalnya Pondok Pesantren Lirboyo Kediri, Al-Ishlah Sendangagung Lamongan, dan lain-lain, Pemerintah Provinsi Jawa Timur mengapresiasi upaya pesantren ini. Pemerintah Jawa Timur membuat program kerjasama bertajuk Pesantren Tangguh Semeru Covid-19. Yaitu, sebuah program apresiasi terhadap pesantren yang benar-benar siap menerapkan protokol pencegahan korona, terutama menghadapi tahun ajaran baru.
Kepedulian terhadap Santri dan Pendidik
Semua pelaku pendidikan pasti berpikir bahwa kebijakan terbaik yang diambil adalah sebagai bentuk kepedulian terhadap siswa atau santri dan juga pendidik. Bagi sekolah non pesantren dengan segala resiko yang dihadapi, pembelajaran online merupakan kebijakan paling safe untuk melindungi siswa dan pendidik dari penyebaran korona. Pembelajaran tetap berjalan, siswa tetap mendapatkan hak belajar, dan pendidik tetap memiliki aktifitas yang lancar untuk penghasilannya.
Bagi pesantren, kembali ke pondok dengan protokol ketat, diharapkan menjadi jalan paling aman, serta berjalannya secara normal kembali proses belajar-mengajar. Pendidikan dan kehidupan pesantren yang dilakukan selama 24 jam dapat menjadi penggemblengan kembali bagi santri untuk mengerti tentang makna belajar dan belajar kehidupan. Secara pendidikan, mengembalikan santri ke pondok adalah langkah kepedulian pesantren terhadap santri agar kembali fokus pada belajar, berinteraksi kembali yang sangat menyehatkan dengan rekan-rekannya, serta tidak kecanduan gadget.
Dalam keadaan yang belum stabil ini, pembelajaran online di sekolah non pesantren perlu memperhatikan beberapa aspek teknis yang bisa jadi justru menjadi kendala utama. Tidak semua siswa memiliki akses internet yang memadai dan fasilitas lain terkait pembelajaran online. Kebijakan belajar online ini kemungkinan sangat cocok untuk di kota besar, atau di wilayah yang tingkat kemakmuran masyarakat sudah cukup memadai. Bagaimana di wilayah yang masyarakatnya sangat kurang kehidupan perekonomiannya. Jangankan membeli pulsa, bahkan untuk makan saja mereka masih susah. Nasib siswa yang seperti ini beserta keluarga dan masa depannya harus dipikirkan dan dicarikan jalan keluarnya. Dalam masa panjang pembelajaran online, tanpa fasilitas yang mendukung secara teknis, apa yang mereka lakukan untuk mengisi hari-hari pembelajaran juga perlu diperhatikan mekanismenya.
Pada sekolah non pesantren yang secara teknis kurang memadai fasilitas pembelajarannya, memiliki tenaga pendidik yang penghasilannya bergantung kepada proses belajar-mengajar, tiadanya kegiatan pembelajaran bermakna tiadanya penghasilan untuk mereka. Pemerintah dan masyarakat luas perlu memperhatikan pendidik yang seperti ini. Yakni, memperhatikan guru, pahlawan tanpa tanda jasa.
Sebagai kalam akhir, semoga korona segera sirna dan kalaupun masih ada agar bersahabat dengan kita. Kita berharap pemerintah benar-benar memperhatikan nasib siswa dan santri. Terutama para tenaga pendidik yang barangkali penghasilannya semakin terpuruk di era korona ini.
(ras)