Soal Salat Jumat Ganjil Genap, Ini Pendapat Komisi Dakwah MUI
loading...
A
A
A
JAKARTA - Dewan Masjid Indonesia (DMI) mengatur Salat Jumat menjadi dua gelombang, dengan aturan ganjil-genap yang didasarkan nomor handphone (HP) bagi masjid yang jamaahnya membeludak hingga ke jalan. Apa pendapat Majelis Ulama Indonesia (MUI)?
Ketua Komisi Dakwah dan Pengembangan Masyarakat Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat KH Cholil Nafis berpendapat, ketentuan ini seakan Salat Jumat suatu keharusan dalam kondisi apa pun dan harus di masjid dengan pilihan mendaftarkan nomer HP ganjil atau genap sesuai dengan tanggal pada hari Jumat itu.
"Padahal, Jumatan itu bisa dilakukan dengan satu gelombang saja di masjid atau tempat lainnya, bisa beberapa jumatan di tempat yang berbeda-beda (ta'addud al-jum'ah), bahkan bisa saja Salat Zuhur kalau tak memungkinkan Jumatan pada satu tempat," ujarnya Cholil Nafis, Kamis (18/6/2020). (Baca Juga: Ajakan Buya Hamka untuk Memupuk Akar Pancasila).
Menurutnya, informasi dari teman di Eropa, saat pandemi Covid-19 begini dan masjid atau tempat ibadah tak bisa menampung semua jamaah, maka dilakukan dengan model pendaftaran dari hari-hari sebelumnya dan pada saat Jumatan dilaksanakan maka di tempat salat itu sudah tertera nama jamaah. Artinya, itu teknis pengaturan untuk melakukan Salat Jumat di tempat yang terbatas dengan jumlah jamaah yang lebih besar.
"Pada dasarnya, Jumatan itu wajib dilakukan semua muslim. Pada dasarnya, Jumatan dalam satu daerah itu hanya sekali di satu tempat. Sebab, Jumatan itu sarana kumpul-kumpul umat muslim mingguan sebagai haji orang fakir dan lebarannya orang miskin. Namun, karena Islam berkembang pesat dan jumlah penduduk banyak, maka boleh mengadakan banyak Jumatan. Meskipun Mazhab Syafi’i tetap mensyaratkan di masjid, jamaahnya minimal 40 orang dari penduduk setempat (mustauthinin)," jelasnya.
Lalu, saat musim pandemi Covid-19 ini banyak tuntutan perubahan model ibadah karena menghindari penularan penyakit: Tidak Jumatan diganti dengan Salat Zuhur, lalu Jumatan dengan tetap menjaga jarak shafnya (physical distancing), bahkan Salat Jumat dua gelombang.
"Jadi, di tempat yang masih rawan penularan Covid-19 dapat melaksanakan Salat Jumat di beberapa tempat untuk menampung banyak jamaah, bisa dengan cara bergelombang dan bisa dengan menggantinya Salat Zuhur. Soal teknis pengaturan, baiknya disesuaikan dengan kondisi majid masing-masing, apakah dengan menolak penduduk luar daerah, masjid dibuka sampai full lalu ditutup, mendaftar sebelumnya, atau bahkan dengan ganjil genap. Jika sulit juga untuk Jumatan, ganti Salat Jumat dengan Salat Zuhur," pungkasnya.
Ketua Komisi Dakwah dan Pengembangan Masyarakat Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat KH Cholil Nafis berpendapat, ketentuan ini seakan Salat Jumat suatu keharusan dalam kondisi apa pun dan harus di masjid dengan pilihan mendaftarkan nomer HP ganjil atau genap sesuai dengan tanggal pada hari Jumat itu.
"Padahal, Jumatan itu bisa dilakukan dengan satu gelombang saja di masjid atau tempat lainnya, bisa beberapa jumatan di tempat yang berbeda-beda (ta'addud al-jum'ah), bahkan bisa saja Salat Zuhur kalau tak memungkinkan Jumatan pada satu tempat," ujarnya Cholil Nafis, Kamis (18/6/2020). (Baca Juga: Ajakan Buya Hamka untuk Memupuk Akar Pancasila).
Menurutnya, informasi dari teman di Eropa, saat pandemi Covid-19 begini dan masjid atau tempat ibadah tak bisa menampung semua jamaah, maka dilakukan dengan model pendaftaran dari hari-hari sebelumnya dan pada saat Jumatan dilaksanakan maka di tempat salat itu sudah tertera nama jamaah. Artinya, itu teknis pengaturan untuk melakukan Salat Jumat di tempat yang terbatas dengan jumlah jamaah yang lebih besar.
"Pada dasarnya, Jumatan itu wajib dilakukan semua muslim. Pada dasarnya, Jumatan dalam satu daerah itu hanya sekali di satu tempat. Sebab, Jumatan itu sarana kumpul-kumpul umat muslim mingguan sebagai haji orang fakir dan lebarannya orang miskin. Namun, karena Islam berkembang pesat dan jumlah penduduk banyak, maka boleh mengadakan banyak Jumatan. Meskipun Mazhab Syafi’i tetap mensyaratkan di masjid, jamaahnya minimal 40 orang dari penduduk setempat (mustauthinin)," jelasnya.
Lalu, saat musim pandemi Covid-19 ini banyak tuntutan perubahan model ibadah karena menghindari penularan penyakit: Tidak Jumatan diganti dengan Salat Zuhur, lalu Jumatan dengan tetap menjaga jarak shafnya (physical distancing), bahkan Salat Jumat dua gelombang.
"Jadi, di tempat yang masih rawan penularan Covid-19 dapat melaksanakan Salat Jumat di beberapa tempat untuk menampung banyak jamaah, bisa dengan cara bergelombang dan bisa dengan menggantinya Salat Zuhur. Soal teknis pengaturan, baiknya disesuaikan dengan kondisi majid masing-masing, apakah dengan menolak penduduk luar daerah, masjid dibuka sampai full lalu ditutup, mendaftar sebelumnya, atau bahkan dengan ganjil genap. Jika sulit juga untuk Jumatan, ganti Salat Jumat dengan Salat Zuhur," pungkasnya.
(zik)