Kesaktian Prajurit Pasukan Elite TNI AU Ini Selamatkan Teman-temannya dari Pembantaian
loading...
A
A
A
JAKARTA - Nama Ngatijan, prajurit Pasukan Gerak Tjepat (PGT) sekarang bernama Komando Pasukan Gerak Cepat (Kopasgat) TNI AU mungkin tidak cukup dikenal. Meski begitu, pengorbanannya dalam Operasi Mandala merebut Irian Barat yang kini bernama Papua cukup besar.
Bersama prajurit Kopasgat lainnya Ngatijan juga berjuang mengibarkan Bendera Merah Putih untuk pertama kalinya di Tanah Papua. Bahkan berkat kesaktiannya, Ngatijan juga melindungi dan menyelamatkan nyawa teman-temannya dari pembataian saat di dalam penjara.
Dikutip dari buku “Heroisme PGT Dalam Operasi Serigala: Pengibaran Bendera Merah Putih Pertama di Teminabuan” yang diterbitkan Subdisjarah Dinas Penerangan Angkatan Udara (Dispenau) diceritakan, Ngatijan merupakan salah satu prajurit Korps Baret Jingga yang diterjunkan dalam Operasi Serigala.
Operasi militer berskala besar yang digelar Angkatan Udara Mandala (AULA) di bawah kepemimpinan Panglima AULA Komodor Udara Leo Wattimena yang juga merangkap Wakil Panglima II Komando Mandala (KOLA) ini antara lain, melakukan infiltrasi atau penyusupan ke pertahanan Belanda sebagai pasukan pendahulu sebelum pasukan lainnya masuk ke Papua melalui daerah Sorong dan Teminabuan.
Tentara Belanda di Pelabuhan Teminabuan. Foto/Subdisjarah TNI AU
Dalam operasi tersebut, Kopasgat mengemban misi khusus yang cukup berat yakni, mengganggu dan melemahkan kekuatan Belanda, melakukan sabotase termasuk misi pengibaran Bendera Merah Putih di Papua. Operasi militer terpaksa diambil lantaran Belanda tidak mau menyerahkan Papua kepada Indonesia. Sikap Belanda tersebut melanggar perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB) yang telah disepakati.
Panglima Komando Mandala (KOLA) Presiden Soeharto yang kala itu berpangkat Mayjen TNI meminta Leo Wattimena menyiapkan pasukan yang memiliki kemampuan khusus untuk menjalankan operasi infiltrasi dengan cara diterjunkan. Saat itulah, Leo Wattimena menunjuk Komandan III PGT di PAU Margahayu Letnan Udara (LU) I Lambertus Manuhua untuk memimpin pasukan.
“Kalian siap, belum tentu kalian bisa pulang. Bisa juga pulang nama, risiko dengan segala macam kalian siap? Tanya Presiden Soekarno di Istana Negara Bogor. Suasana ketika itu langsung hening sekitar setengah menit, tidak ada yang menjawab.
“Saya siap,” jawab Manuhua memecah keheningan.
“Kamu siapa?,” tanya Soekarno.
“Saya Lambertus Manuhua, AURI, Komandan PGT, Kompi di Margahayu,” jawab L. Manuhua.
“Kamu tahu risikonya,” tanya Soekarno kembali.
“Siap” jawab Manuhua singkat.
“Pulang nama?,” tanyanya lagi
“Siap, untuk Indonesia saya siap mengorbankan nyawa saya,” jawab Manuhua tegas.
Selanjutnya, pada 17 Mei 1962 tepat pukul 04.00 dini hari, sebanyak 119 pasukan Baret Jingga ini diterbangkan dengan menggunakan tiga pesawat Dakota C-47 dari Pangkalan Udara Laha, Ambon. Mereka rencananya diterjunkan di daerah Klamono, Sorong .
Sayangnya, hanya satu pesawat yang berhasil melakukan penerjunan pasukan PGT sebanyak 39 orang dengan Komandan Kompi LU I Lambertus Manuhua dan Danton Sersan Muda Udara (SMU) Soepangat.
Sedangkan dua pesawat lainnya gagal menerjunkan PGT karena cuaca buruk dan terpaksa kembali ke pangkalan udara Laha, Ambon. Penerjunan baru bisa dilakukan dua hari kemudian yakni, pada 19 Mei di daerah Teminabuan.
Prajurit PGT dipenjara di Pulau Wundi. Foto/Subdisjarah TNI AU
Sersan Udara Satu Rebo Hartono yang ikut dalam operasi tersebut menceritakan, sebelum dilakukan penerjunan pasukan PGT terlebih dahulu diberi tahu soal operasi merebut Papua.
“Siapa yang mau terjun duluan? Enggak ada yang ngacung. Lalu Pa Leo Wattimena menendang Pa Kani. He…Berangkat PGT. Pa Kani itu orang kebal. Orang-orang PGT yang kebal-kebal ada empat yaitu, Pa Wiriadinata, Pak Sukani, Pak Soeroso dan Ngatijan,” kenang Rebo dalam buku tersebut yang dikutip SINDOnews, Kamis (24/3/2022).
Saat penerjunan di Teminabuan pada dini hari tersebut, ucap Rebo, dirinya mendengar suara tembak-tembakan di bawah. Rebo sendiri mengaku jatuh tersangkut di pohon dengan ketinggian lebih dari 30 meter. Prajurit Pasukan khusus yang kenyang dengan pengalaman tempur menumpas pemberontak DI/TII, Kahar Mudzakar dan Permesta ini kemudian membuang helm dan ranselnya.
Perlahan Rebo berupaya turun ke bawah di tengah malam yang gelap gulita. Nahas, dahan pohon yang didudukinya patah. ”Saya melorot jatuh ke bawah kurang lebih 30 meteran. Kurang lebih setengah jam saya pingsan, begitu bangun saya lihat senjata masih diselempang. Di mana ini kok masih gelap? Tapi suara tembak-tembakan masih ramai,” ucapnya.
Rebo kemudian berjalan ke arah kampung tak jauh dari lokasinya jatuh. Kampung tersebut bernama Wersar tempat kontak tembak antara PGT dengan pasukan Belanda. Kampung di mana Bendera Merah Putih untuk pertama kalinya di tancapkan di Papua. “Di situ saya melihat Bendera Merah Putih sudah berkibar yang dipasang oleh Pak Mengko bersama dengan teman-temannya. Kemudian saya hormat dari jauh,” tutur Rebo.
Selamat dari Pembantaian
Pertempuran demi pertempuran dialami Rebo Hartono di tengah lebatnya hutan belantara Papua. Aksi berani Rebo Hartono bersama prajurit PGT lainnya membuat Belanda kewalahan. Namun nahas, ketika sedang menebang pohon sagu yang akan digunakan sebagai bekal, tiba-tiba pasukan Belanda melakukan menyerang secara mendadak.
Mendapat serangan mendadak tersebut, Rebo langsung bersembunyi di rawa-rawa. Namun upayanya gagal, pasukan Belanda menangkapnya. Bersama beberapa rekannya termasuk SMU Mengko, dirinya ditawan.
”Saya mendengar ledakan. Lima rekannya yang berupaya melarikan diri salah satunya bernama Ngatimun ditembak kepalanya hingga tewas. Sementara empat orang lainnya berhasil melarikan diri. Saya disuruh jalan sambil ditendangi dan terus disiksa,” tuturnya.
Peltu (Purn) Rebo Hartono di Tugu Merah Putih, Kampung Wesar mengenang penerjunan
PGT di Teminabuan. Foto/Subdisjarah TNI AU
Seluruh prajurit pasukan elite TNI AU yang ditangkap kemudian dibawa ke Kampung Wersar dan dipenjara di Teminabuan. Di kampung tersebut, Rebo mengaku diikat di pohon kelapa hingga keesokan harinya. Penyiksaan demi penyiksaan dialami prajurit PGT.
Bahkan, dirinya nyaris tewas ketika tentara Belanda yang membawa senjata masuk ke sel dan menembaki dirinya dan teman-temannya. ”Menjelang Maghrib, tentara Belanda datang bawa senter dan pistol masuk ke sel saya lalu menembaki teman-teman saya. Untungnya tidak ada yang mati,” ucapnya.
Rebo mengaku, nyawa teman-temannya termasuk dirinya selamat berkat perlindungan dari Ngatijan. Sebab Ngatijan memiliki ilmu kebal sehingga bisa menahan berondongan peluru tentara Belanda. ”Teman saya Ngatijan punya aji-aji sakti, kena tembak berteriak aduh-aduh. Tapi peluru tidak tembus cuma menempel saja di tubuh Pak Ngatijan,” tuturnya.
Setelah kejadian itu, Rebo mengaku tenang dan tidak khawatir lagi. “Pokoknya wis tenang saja, kita tidak dipateni, disiksa iya,” kata prajurit spesialis penembak basoka menirukan ucapan Ngatijan.
Perjuangan PGT merebut dan mengembalikan Papua ke pangkuan Ibu Pertiwi membuahkan hasil. Belanda akhirnya mengakui kedaulatan Indonesia dan mau menyerahkan Papua ke pemerintah Indonesia.
Bersama prajurit Kopasgat lainnya Ngatijan juga berjuang mengibarkan Bendera Merah Putih untuk pertama kalinya di Tanah Papua. Bahkan berkat kesaktiannya, Ngatijan juga melindungi dan menyelamatkan nyawa teman-temannya dari pembataian saat di dalam penjara.
Dikutip dari buku “Heroisme PGT Dalam Operasi Serigala: Pengibaran Bendera Merah Putih Pertama di Teminabuan” yang diterbitkan Subdisjarah Dinas Penerangan Angkatan Udara (Dispenau) diceritakan, Ngatijan merupakan salah satu prajurit Korps Baret Jingga yang diterjunkan dalam Operasi Serigala.
Operasi militer berskala besar yang digelar Angkatan Udara Mandala (AULA) di bawah kepemimpinan Panglima AULA Komodor Udara Leo Wattimena yang juga merangkap Wakil Panglima II Komando Mandala (KOLA) ini antara lain, melakukan infiltrasi atau penyusupan ke pertahanan Belanda sebagai pasukan pendahulu sebelum pasukan lainnya masuk ke Papua melalui daerah Sorong dan Teminabuan.
Tentara Belanda di Pelabuhan Teminabuan. Foto/Subdisjarah TNI AU
Dalam operasi tersebut, Kopasgat mengemban misi khusus yang cukup berat yakni, mengganggu dan melemahkan kekuatan Belanda, melakukan sabotase termasuk misi pengibaran Bendera Merah Putih di Papua. Operasi militer terpaksa diambil lantaran Belanda tidak mau menyerahkan Papua kepada Indonesia. Sikap Belanda tersebut melanggar perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB) yang telah disepakati.
Panglima Komando Mandala (KOLA) Presiden Soeharto yang kala itu berpangkat Mayjen TNI meminta Leo Wattimena menyiapkan pasukan yang memiliki kemampuan khusus untuk menjalankan operasi infiltrasi dengan cara diterjunkan. Saat itulah, Leo Wattimena menunjuk Komandan III PGT di PAU Margahayu Letnan Udara (LU) I Lambertus Manuhua untuk memimpin pasukan.
“Kalian siap, belum tentu kalian bisa pulang. Bisa juga pulang nama, risiko dengan segala macam kalian siap? Tanya Presiden Soekarno di Istana Negara Bogor. Suasana ketika itu langsung hening sekitar setengah menit, tidak ada yang menjawab.
“Saya siap,” jawab Manuhua memecah keheningan.
“Kamu siapa?,” tanya Soekarno.
“Saya Lambertus Manuhua, AURI, Komandan PGT, Kompi di Margahayu,” jawab L. Manuhua.
“Kamu tahu risikonya,” tanya Soekarno kembali.
“Siap” jawab Manuhua singkat.
“Pulang nama?,” tanyanya lagi
“Siap, untuk Indonesia saya siap mengorbankan nyawa saya,” jawab Manuhua tegas.
Selanjutnya, pada 17 Mei 1962 tepat pukul 04.00 dini hari, sebanyak 119 pasukan Baret Jingga ini diterbangkan dengan menggunakan tiga pesawat Dakota C-47 dari Pangkalan Udara Laha, Ambon. Mereka rencananya diterjunkan di daerah Klamono, Sorong .
Sayangnya, hanya satu pesawat yang berhasil melakukan penerjunan pasukan PGT sebanyak 39 orang dengan Komandan Kompi LU I Lambertus Manuhua dan Danton Sersan Muda Udara (SMU) Soepangat.
Sedangkan dua pesawat lainnya gagal menerjunkan PGT karena cuaca buruk dan terpaksa kembali ke pangkalan udara Laha, Ambon. Penerjunan baru bisa dilakukan dua hari kemudian yakni, pada 19 Mei di daerah Teminabuan.
Prajurit PGT dipenjara di Pulau Wundi. Foto/Subdisjarah TNI AU
Sersan Udara Satu Rebo Hartono yang ikut dalam operasi tersebut menceritakan, sebelum dilakukan penerjunan pasukan PGT terlebih dahulu diberi tahu soal operasi merebut Papua.
“Siapa yang mau terjun duluan? Enggak ada yang ngacung. Lalu Pa Leo Wattimena menendang Pa Kani. He…Berangkat PGT. Pa Kani itu orang kebal. Orang-orang PGT yang kebal-kebal ada empat yaitu, Pa Wiriadinata, Pak Sukani, Pak Soeroso dan Ngatijan,” kenang Rebo dalam buku tersebut yang dikutip SINDOnews, Kamis (24/3/2022).
Saat penerjunan di Teminabuan pada dini hari tersebut, ucap Rebo, dirinya mendengar suara tembak-tembakan di bawah. Rebo sendiri mengaku jatuh tersangkut di pohon dengan ketinggian lebih dari 30 meter. Prajurit Pasukan khusus yang kenyang dengan pengalaman tempur menumpas pemberontak DI/TII, Kahar Mudzakar dan Permesta ini kemudian membuang helm dan ranselnya.
Perlahan Rebo berupaya turun ke bawah di tengah malam yang gelap gulita. Nahas, dahan pohon yang didudukinya patah. ”Saya melorot jatuh ke bawah kurang lebih 30 meteran. Kurang lebih setengah jam saya pingsan, begitu bangun saya lihat senjata masih diselempang. Di mana ini kok masih gelap? Tapi suara tembak-tembakan masih ramai,” ucapnya.
Rebo kemudian berjalan ke arah kampung tak jauh dari lokasinya jatuh. Kampung tersebut bernama Wersar tempat kontak tembak antara PGT dengan pasukan Belanda. Kampung di mana Bendera Merah Putih untuk pertama kalinya di tancapkan di Papua. “Di situ saya melihat Bendera Merah Putih sudah berkibar yang dipasang oleh Pak Mengko bersama dengan teman-temannya. Kemudian saya hormat dari jauh,” tutur Rebo.
Selamat dari Pembantaian
Pertempuran demi pertempuran dialami Rebo Hartono di tengah lebatnya hutan belantara Papua. Aksi berani Rebo Hartono bersama prajurit PGT lainnya membuat Belanda kewalahan. Namun nahas, ketika sedang menebang pohon sagu yang akan digunakan sebagai bekal, tiba-tiba pasukan Belanda melakukan menyerang secara mendadak.
Mendapat serangan mendadak tersebut, Rebo langsung bersembunyi di rawa-rawa. Namun upayanya gagal, pasukan Belanda menangkapnya. Bersama beberapa rekannya termasuk SMU Mengko, dirinya ditawan.
”Saya mendengar ledakan. Lima rekannya yang berupaya melarikan diri salah satunya bernama Ngatimun ditembak kepalanya hingga tewas. Sementara empat orang lainnya berhasil melarikan diri. Saya disuruh jalan sambil ditendangi dan terus disiksa,” tuturnya.
Peltu (Purn) Rebo Hartono di Tugu Merah Putih, Kampung Wesar mengenang penerjunan
PGT di Teminabuan. Foto/Subdisjarah TNI AU
Seluruh prajurit pasukan elite TNI AU yang ditangkap kemudian dibawa ke Kampung Wersar dan dipenjara di Teminabuan. Di kampung tersebut, Rebo mengaku diikat di pohon kelapa hingga keesokan harinya. Penyiksaan demi penyiksaan dialami prajurit PGT.
Bahkan, dirinya nyaris tewas ketika tentara Belanda yang membawa senjata masuk ke sel dan menembaki dirinya dan teman-temannya. ”Menjelang Maghrib, tentara Belanda datang bawa senter dan pistol masuk ke sel saya lalu menembaki teman-teman saya. Untungnya tidak ada yang mati,” ucapnya.
Rebo mengaku, nyawa teman-temannya termasuk dirinya selamat berkat perlindungan dari Ngatijan. Sebab Ngatijan memiliki ilmu kebal sehingga bisa menahan berondongan peluru tentara Belanda. ”Teman saya Ngatijan punya aji-aji sakti, kena tembak berteriak aduh-aduh. Tapi peluru tidak tembus cuma menempel saja di tubuh Pak Ngatijan,” tuturnya.
Setelah kejadian itu, Rebo mengaku tenang dan tidak khawatir lagi. “Pokoknya wis tenang saja, kita tidak dipateni, disiksa iya,” kata prajurit spesialis penembak basoka menirukan ucapan Ngatijan.
Perjuangan PGT merebut dan mengembalikan Papua ke pangkuan Ibu Pertiwi membuahkan hasil. Belanda akhirnya mengakui kedaulatan Indonesia dan mau menyerahkan Papua ke pemerintah Indonesia.
(cip)