PKS Minta Pemerintah Hentikan Pelatihan Online Kartu Prakerja
loading...
A
A
A
JAKARTA - Wakil Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Sukamta meminta rencana pelatihan online program Kartu Prakerja yang akan digulirkan untuk dihentikan dan tidak dipaksakan untuk dijalankan. Hal tersebut mengingat ada banyak kritik dan masukan terhadap rencana pelatihan senilai Rp5,6 triliun yang dianggap tidak efektif berjalan di masa pandemi wabah virus Corona.
Program pelatihan secara online ini juga dianggap terlalu mahal dari sisi biaya serta ada kesan program pelatihan ini hanya akal-akalan antara pemerintah dengan pihak mitra perusahaan platform digital karena tidak melalui proses tender sebagaimana biasanya dilakukan dalam pelaksanaan program pemerintah.
"Hentikan segera dan bekukan dulu dana yang sudah disalurkan ke 160 ribu peserta tahap pertama. Saya harap pemerintah jangan menutup telinga terhadap berbagai kritik dan masukan terhadap rencana pelatihan online program Kartu Prakerja," ujar Sukamta dalam keterangan tertulisnya, Jumat (24/4/2020).
Dia mengatakan saat seperti ini seharusnya pemerintah fokus untuk mengatasi segera COVID-19 yang hingga hari ini terus terjadi peningkatan jumlah kasus dan menyebar semakin luas di banyak kabupaten atau kota. Dia melanjutkan, jika COVID-19 ini tidak segera tertangani dampaknya akan semakin berat dan dalam terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat.
"Pelatihan kerja online ini termasuk kegiatan yang sifatnya tidak mendesak, bisa dilakukan setelah pandemi berakhir," kata Sukamta.
Legislator asal Yogyakarta ini melihat konsep Kartu Prakerja telah dipaksakan berubah konsep karena adanya pandemi virus Corona yang juga menghantam Indonesia. Namun demikian perubahan konsep ini masih mentah dan terlihat kesan ada yang mencari keuntungan ditengah penderitaan masyarakat dengan dalih pelatihan online.
"Ini jelas terkesan dipaksakan dan akal-akalan. Program ini kita tahu berangkat dari janji kampanye Jokowi untuk mengatasi pengangguran, kata Pak Menko berubah menjadi bagian dari jaring pengaman sosial karena kondisi COVID-19," ungkapnya.
Dalam hal menjadi jaring pengaman untuk para pekerja sektor informal yang kehilangan pekerjaan dan juga para buruh yang di-PHK, dia setuju. "Tapi yang kita saksikan ini ternyata dipaksakan ada pelatihan secara online, jelas tidak ada relevansi dengan jaring pengaman sosial," jelas Sukamta.
Dia melanjutkan ada banyak persoalan dari program kartu prakerja. Pertama, salah sasaran. Jika ini sebagai jaring pengaman sosial mestinya hanya menyasar yang kehilangan pekerjaan, sementara program ini bisa menyasar siapa saja yang usianya di atas 18 tahun tidak sedang mengenyam pendidikan.
Kedua, ragam pelatihan secara online bisa didapatkan dengan mudah dan bahkan beberapa perusahaan digital memberikan layanan secara gratis, menurut Sukamta daripada memberikan harus membayar untuk pelatihan online lebih baik digunakan pemerintah untuk menyediakan internet gratis selama 4-6 bulan di masa COVID-19 saat ini.
Hal tersebut dianggap jauh lebih bermanfaat, masyarakat yang butuh pelatihan bisa mencari sendiri lewat internet yang disediakan koneksinya secara gratis. Ketiga, pemerintah menyatakan sendiri bahwa program pelatihan online ini tidak menjamin peserta dapat pekerjaan, jelas program ini menghaburkan anggaran Rp5,6 triliun.
Program pelatihan secara online ini juga dianggap terlalu mahal dari sisi biaya serta ada kesan program pelatihan ini hanya akal-akalan antara pemerintah dengan pihak mitra perusahaan platform digital karena tidak melalui proses tender sebagaimana biasanya dilakukan dalam pelaksanaan program pemerintah.
"Hentikan segera dan bekukan dulu dana yang sudah disalurkan ke 160 ribu peserta tahap pertama. Saya harap pemerintah jangan menutup telinga terhadap berbagai kritik dan masukan terhadap rencana pelatihan online program Kartu Prakerja," ujar Sukamta dalam keterangan tertulisnya, Jumat (24/4/2020).
Dia mengatakan saat seperti ini seharusnya pemerintah fokus untuk mengatasi segera COVID-19 yang hingga hari ini terus terjadi peningkatan jumlah kasus dan menyebar semakin luas di banyak kabupaten atau kota. Dia melanjutkan, jika COVID-19 ini tidak segera tertangani dampaknya akan semakin berat dan dalam terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat.
"Pelatihan kerja online ini termasuk kegiatan yang sifatnya tidak mendesak, bisa dilakukan setelah pandemi berakhir," kata Sukamta.
Legislator asal Yogyakarta ini melihat konsep Kartu Prakerja telah dipaksakan berubah konsep karena adanya pandemi virus Corona yang juga menghantam Indonesia. Namun demikian perubahan konsep ini masih mentah dan terlihat kesan ada yang mencari keuntungan ditengah penderitaan masyarakat dengan dalih pelatihan online.
"Ini jelas terkesan dipaksakan dan akal-akalan. Program ini kita tahu berangkat dari janji kampanye Jokowi untuk mengatasi pengangguran, kata Pak Menko berubah menjadi bagian dari jaring pengaman sosial karena kondisi COVID-19," ungkapnya.
Dalam hal menjadi jaring pengaman untuk para pekerja sektor informal yang kehilangan pekerjaan dan juga para buruh yang di-PHK, dia setuju. "Tapi yang kita saksikan ini ternyata dipaksakan ada pelatihan secara online, jelas tidak ada relevansi dengan jaring pengaman sosial," jelas Sukamta.
Dia melanjutkan ada banyak persoalan dari program kartu prakerja. Pertama, salah sasaran. Jika ini sebagai jaring pengaman sosial mestinya hanya menyasar yang kehilangan pekerjaan, sementara program ini bisa menyasar siapa saja yang usianya di atas 18 tahun tidak sedang mengenyam pendidikan.
Kedua, ragam pelatihan secara online bisa didapatkan dengan mudah dan bahkan beberapa perusahaan digital memberikan layanan secara gratis, menurut Sukamta daripada memberikan harus membayar untuk pelatihan online lebih baik digunakan pemerintah untuk menyediakan internet gratis selama 4-6 bulan di masa COVID-19 saat ini.
Hal tersebut dianggap jauh lebih bermanfaat, masyarakat yang butuh pelatihan bisa mencari sendiri lewat internet yang disediakan koneksinya secara gratis. Ketiga, pemerintah menyatakan sendiri bahwa program pelatihan online ini tidak menjamin peserta dapat pekerjaan, jelas program ini menghaburkan anggaran Rp5,6 triliun.
(kri)