Soal Tunda Pemilu, Demokrat: Pemerintah Takut Kehilangan Kekuasaan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Partai Demokrat (PD) menilai, wacana perpanjangan kekuasaan yang terus digaungkan mencerminkan ketakutan pemerintah menghadapi pergantian kekuasaan pada Pemilu 2024.
Wasekjen Partai Demokrat Jovan Latuconsina menegaskan, Pemilu 2024 belum dilaksanakan, pemerintah sudah mengalami post power syndrome (sindrom paska kekuasaan). “Ini namanya pre-post power syndrome. Jadi belum selesai kekuasaan, sudah takut kehilangan kekuasaan," ujarnya.
Padahal agenda Reformasi itu cuma satu yakni membatasi kekuasaan yakni cukup dua periode. Tanpa perpanjangan jabatan hingga tiga periode, termasuk menunda pemilu. "Bahkan pascareformasi, alih-alih tunda pemilu, yang ada justru malah percepatan pemilu. Lah sekarang dengan kondisi KPU yang jauh lebih baik dan pengalaman, kenapa kita berpikir tunda Pemilu," kata Jovan.
Jovan mengapresiasi ketegasan sikap Ketum PD Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri dan Ketum Nasdem Surya Paloh yang menolak penundaan pemilu dan wacana presiden tiga periode. ”Beliau-beliau ini tahu betul konsekuensi dari mengkhianati demokrasi ini. Rakyat bisa jadi korban. Bukan tidak mungkin TNI-Polri akan dijadikan alat untuk membungkam ketidaksetujuan rakyat," ucapnya.
Jovan mengingatkan, semua pihak untuk berkaca pada sejarah yang mengajarkan apabila rakyat terus ditekan dan ditakut-takuti mereka akan melawan balik.
“Kita khawatirkan mereka akan tiba pada satu titik untuk melawan balik, sehingga bisa terjadi perpecahan besar. Konsekuensi inilah yang dihindari oleh kita semua. Pergantian kekuasaan adalah sesuatu yang alamiah dalam sejarah, dan sudah dijamin dalam konstitusi kita. Jika ini diutak-atik terus dengan berbagai alasan, sejarah 1998 mengajarkan pada kita bagaimana publik melakukan koreksi dengan sendirinya,” tegas Jovan.
Jovan juga mengkritisi pernyataan Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan yang kembali menggaungkan wacana perpanjangan kekuasaan dengan alasan riset big data yang menunjukkan aspirasi publik. Termasuk klaim beberapa ketua umum partai politik yang menyatakan ada aspirasi rakyat untuk menunda pemilu.
Hal itu justru dibantah oleh sejumlah survei lapangan yang dilakukan nasional. Termasuk klaim Luhut yang juga dibantah sejumlah pakar big data karena jumlah datanya tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan. Di mana setelah diteliti ulang, hasilnya lebih banyak yang menolak ketimbang menunda pemilu.
“Pernyataan pak Luhut Panjaitan dengan dalih riset big data ini hanya akal-akalan saja. Ini adalah skenario lanjutan dari upaya melanggengkan kekuasaan, yang ujungnya akan mengkhianati amanat Reformasi,” ucapnya.
Jovan menyebut, sebelumnya skenario tiga periode dan perpanjangan jabatan telah gagal dan kini dilanjutkan dengan skenario tunda pemilu. Melihat wacana tunda pemilu ini, Jovan menilai, kemungkinan besar akan gagal. Skenario lain yang mungkin dilakukan adalah memaksakan amendemen UUD 45 dengan memanfaatkan kekuatan partai koalisi yang dominan di DPR RI maupun di MPR RI.
“Alternatif lain adalah menggembosi KPU dengan tidak mencairkan anggaran Pemilu 2024, karena sampai sekarang pembahasan anggaran Pemilu masih deadlock. Skenario paling akhir, bukan tidak mungkin, pemerintah nekat mengeluarkan Dekrit Presiden dengan berbagai alasan, seolah-olah kehendak rakyat berdasarkan survei abal-abal, alasan ekonomi yang belum pulih, alasan Covid-19 yang belum terkendali, dan bahkan alasan perang Rusia-Ukraina yang nun jauh di sana,” ujarnya.
Dengan kata lain, sambung Jovan, ada indikasi penguasa akan melakukan segala macam cara untuk mencapai tujuan melanggengkan kekuasaan, tanpa peduli bahwa semua rencana ini merupakan permufakatan jahat untuk mengkhianati amanat Reformasi.
“Secara akal sehat dan hati nurani, ada beberapa kemungkinan alasan tunda pemilu. Pertama, pemerintah sudah dicekam ketakutan kehilangan kekuasaan bahkan sebelum kekuasaan berganti. Para pakar psikologi politik dan para sejarawan perlu juga berbicara tentang hal ini,” katanya.
Kedua, pemerintah ketakutan rencana pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) yang baru bakal gagal total, baik karena faktor ketidakpastian ekonomi serta kurangnya waktu. Kalau proyek ini gagal, tentu proyek IKN akan dikenang sebagai aib dari manajemen pemerintah yang serampangan.
“Baru saja kita membaca Softbank Group Corp membatalkan rencana investasinya bagi IKN, pada Jumat lalu. Sebelumnya pemerintah mengklaim Softbank berkomitmen berinvestasi antara USD30-40 milliar. Mundurnya Softbank ini tentunya merefleksikan ketidakyakinan investor akan kesuksesan dari proyek ini,” jelas Jovan.
Jovan menyarankan, para pakar ekonomi dan investasi harus berani mengatakan dengan sebenarnya, berdasarkan akal sehat dan hati nurani, apakah rencana IKN ini memang layak dilakukan sekarang atau tidak.
“Demokrat setuju IKN pindah dari Jakarta ke Kalimantan, tapi Demokrat tidak setuju jika dilakukan saat ini juga, ketika dana yang ada harusnya diprioritaskan untuk pemulihan ekonomi dan penanganan Covid-19. Jangan kehendak rakyat untuk melaksanakan pergantian kekuasaan secara konstitusional melalui pemilu diutak-atik hanya karena elite kekuasaan gagal mengatasi post power syndrome atau untuk menyelamatkan proyek mercusuar yang merupakan kepentingan elite. Rakyatlah pemegang kedaulatan di negeri ini. Pemerintah melayani rakyat bukan sebaliknya," tegasnya.
Wasekjen Partai Demokrat Jovan Latuconsina menegaskan, Pemilu 2024 belum dilaksanakan, pemerintah sudah mengalami post power syndrome (sindrom paska kekuasaan). “Ini namanya pre-post power syndrome. Jadi belum selesai kekuasaan, sudah takut kehilangan kekuasaan," ujarnya.
Padahal agenda Reformasi itu cuma satu yakni membatasi kekuasaan yakni cukup dua periode. Tanpa perpanjangan jabatan hingga tiga periode, termasuk menunda pemilu. "Bahkan pascareformasi, alih-alih tunda pemilu, yang ada justru malah percepatan pemilu. Lah sekarang dengan kondisi KPU yang jauh lebih baik dan pengalaman, kenapa kita berpikir tunda Pemilu," kata Jovan.
Jovan mengapresiasi ketegasan sikap Ketum PD Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri dan Ketum Nasdem Surya Paloh yang menolak penundaan pemilu dan wacana presiden tiga periode. ”Beliau-beliau ini tahu betul konsekuensi dari mengkhianati demokrasi ini. Rakyat bisa jadi korban. Bukan tidak mungkin TNI-Polri akan dijadikan alat untuk membungkam ketidaksetujuan rakyat," ucapnya.
Jovan mengingatkan, semua pihak untuk berkaca pada sejarah yang mengajarkan apabila rakyat terus ditekan dan ditakut-takuti mereka akan melawan balik.
“Kita khawatirkan mereka akan tiba pada satu titik untuk melawan balik, sehingga bisa terjadi perpecahan besar. Konsekuensi inilah yang dihindari oleh kita semua. Pergantian kekuasaan adalah sesuatu yang alamiah dalam sejarah, dan sudah dijamin dalam konstitusi kita. Jika ini diutak-atik terus dengan berbagai alasan, sejarah 1998 mengajarkan pada kita bagaimana publik melakukan koreksi dengan sendirinya,” tegas Jovan.
Jovan juga mengkritisi pernyataan Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan yang kembali menggaungkan wacana perpanjangan kekuasaan dengan alasan riset big data yang menunjukkan aspirasi publik. Termasuk klaim beberapa ketua umum partai politik yang menyatakan ada aspirasi rakyat untuk menunda pemilu.
Hal itu justru dibantah oleh sejumlah survei lapangan yang dilakukan nasional. Termasuk klaim Luhut yang juga dibantah sejumlah pakar big data karena jumlah datanya tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan. Di mana setelah diteliti ulang, hasilnya lebih banyak yang menolak ketimbang menunda pemilu.
“Pernyataan pak Luhut Panjaitan dengan dalih riset big data ini hanya akal-akalan saja. Ini adalah skenario lanjutan dari upaya melanggengkan kekuasaan, yang ujungnya akan mengkhianati amanat Reformasi,” ucapnya.
Jovan menyebut, sebelumnya skenario tiga periode dan perpanjangan jabatan telah gagal dan kini dilanjutkan dengan skenario tunda pemilu. Melihat wacana tunda pemilu ini, Jovan menilai, kemungkinan besar akan gagal. Skenario lain yang mungkin dilakukan adalah memaksakan amendemen UUD 45 dengan memanfaatkan kekuatan partai koalisi yang dominan di DPR RI maupun di MPR RI.
“Alternatif lain adalah menggembosi KPU dengan tidak mencairkan anggaran Pemilu 2024, karena sampai sekarang pembahasan anggaran Pemilu masih deadlock. Skenario paling akhir, bukan tidak mungkin, pemerintah nekat mengeluarkan Dekrit Presiden dengan berbagai alasan, seolah-olah kehendak rakyat berdasarkan survei abal-abal, alasan ekonomi yang belum pulih, alasan Covid-19 yang belum terkendali, dan bahkan alasan perang Rusia-Ukraina yang nun jauh di sana,” ujarnya.
Dengan kata lain, sambung Jovan, ada indikasi penguasa akan melakukan segala macam cara untuk mencapai tujuan melanggengkan kekuasaan, tanpa peduli bahwa semua rencana ini merupakan permufakatan jahat untuk mengkhianati amanat Reformasi.
“Secara akal sehat dan hati nurani, ada beberapa kemungkinan alasan tunda pemilu. Pertama, pemerintah sudah dicekam ketakutan kehilangan kekuasaan bahkan sebelum kekuasaan berganti. Para pakar psikologi politik dan para sejarawan perlu juga berbicara tentang hal ini,” katanya.
Kedua, pemerintah ketakutan rencana pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) yang baru bakal gagal total, baik karena faktor ketidakpastian ekonomi serta kurangnya waktu. Kalau proyek ini gagal, tentu proyek IKN akan dikenang sebagai aib dari manajemen pemerintah yang serampangan.
“Baru saja kita membaca Softbank Group Corp membatalkan rencana investasinya bagi IKN, pada Jumat lalu. Sebelumnya pemerintah mengklaim Softbank berkomitmen berinvestasi antara USD30-40 milliar. Mundurnya Softbank ini tentunya merefleksikan ketidakyakinan investor akan kesuksesan dari proyek ini,” jelas Jovan.
Jovan menyarankan, para pakar ekonomi dan investasi harus berani mengatakan dengan sebenarnya, berdasarkan akal sehat dan hati nurani, apakah rencana IKN ini memang layak dilakukan sekarang atau tidak.
“Demokrat setuju IKN pindah dari Jakarta ke Kalimantan, tapi Demokrat tidak setuju jika dilakukan saat ini juga, ketika dana yang ada harusnya diprioritaskan untuk pemulihan ekonomi dan penanganan Covid-19. Jangan kehendak rakyat untuk melaksanakan pergantian kekuasaan secara konstitusional melalui pemilu diutak-atik hanya karena elite kekuasaan gagal mengatasi post power syndrome atau untuk menyelamatkan proyek mercusuar yang merupakan kepentingan elite. Rakyatlah pemegang kedaulatan di negeri ini. Pemerintah melayani rakyat bukan sebaliknya," tegasnya.
(cip)