Warga Papua Ajak Semua Pihak Bersama Cegah Rasisme
loading...
A
A
A
JAKARTA - Belakangan ramai tagar BlackLiveMatter yang dikaitkan dengan situasi dan pengalaman rasial yang dialami sebagian masyarakat Papua , hingga muncul tagar PapuaLiveMatter.
Semua pihak didorong agar tak terpancing isu tersebut. Selain itu mewaspadai pihak yang memanfaatkan situasi saat ini dengan mengalihkan isu ke arah mendukung separatisme di Tanah Air. Khususnya gerakan dari kelompok kriminal bersenjata (KKB)
Bupati Biak Numfor,Herry Ario Naap,menyampaikan agar perasaan merasa terdiskriminasi dihilangkan dan mendorong kewajiban bersama untuk membangun masyarakat Papua melalui berbagai hal, terutama peningkatan sumber daya manusia.
“Jika ada peningkatan dalam hal pendidikan maka diskriminasi akan berkurang untuk Papua, hal ini diharapkan adanya gerakan dari pemerintah pusat,” tutur Herry, dalam diskusi Papua Dalam Keberagaman Indonesia, Senin 15 Juni 2020.
Di sisi lain, dia mengajak para mahasiswa Papua untuk aktif dalam pendidikan untuk meraih prestasi. Ketika berprestasi, kata dia, tidak akan pernah ada yang meremehkan. Kemudian meningkatkan kompetensi dan aktif dalam berbagai bidang kegiatan baik organisasi maupun kelembagaan.
“Mahasiswa harus aktif organisasi dengan demikian bisa merangkul dihargai toleransi terbangun, saya sebagai Bupati ketika terjadi kasus di Surabaya meminta tetap di sana dan tidak pulang,” ujar Herry.
Herry mendorong mahasiswa Papua harus menunjukan prestasi agar tidak dipandang remeh oleh pihak lain. Mahasiswa Papua juga diminta agar bisa hidup bersosialisasi. Tidak hanya hidup dan mengenal dari satu suku saja, dan mahasiswa Papua harus aktif dalam setiap organisasi.
Sementara itu, Thomas Eppe Safanpo Wakil Bupati Asmat juga mengingatkan, persoalan rasisme bukan persoalan papua, namun persoalan Indonesia keseluruhan.
Untuk itu, lanjut dia, semua kalangan harus diedukasi hidup dalam keberagaman. Jangan mengejar persatuan lalu keberagaman dinafikan.
Sebagai mantan mahasiswa Papua yang pernah kuliah di Solo, dia merasa masyarakat sangat terbuka dan tidak pernah ada perlakukan rasis yang terbuka. Hanya, harus diakui seringkali ada ekspresi dan pernyataan konyol, maupun mimik bahasa. Menurut dia, ekspresi seperti itu tidak bisa dihindari karena terkait penafsiran orang yang berbeda-beda.
( )
Wakol Yelipele, Ketua PMKRI Papua menilai rasisme bukan hanya terjadi dan kepada orang Papua, tapi rasisme ada di mana-mana di segala golongan.
Oleh karena itu, dia meminta agar tidak memisahkan antara Papua dan Indonesia, namun bersama menyatukan. Karena itu, organisasi mahasiswa gencar bekerja sama memerangi rasisme lintas golongan organisasi.
Wakol mengaskan tagar PapuaLivesMatter juga sejatinya tidak relevan karena faktanya, warga Papua sangat terbuka, mau bekerja sama. Misal di tempat lahirnya, ada banyak warga suku bangsa, agama, membaur, ketika hari besar bersama saling membantu saling merayakan, hal ini dilakukan hidup dalam kerukunan menjadi contoh daerah lain, tidak ada perbedaan satu membangun negeri.
Sementara Ayub Anto, salah satu mahasiswa Papua yang menempuh kuliah di Solo, mengingatkan semua pihak harus melihat tujuan besar negara Indonesia yang dibangun dari berbagai macam suku.
Dia mengaku sejak kecil tinggal di Jawa dan hidup dengan berbagai suku dalam satu rumah, sehingga perasaan saling merangkul, bersama, tercipta.
Dia juga mengajak teman-teman mahasiswa Papua fokus pada pendidikan sehingga nantinya mampu membantu membangun masyarakat Papua dan tidak terprovokasi.
Semua pihak didorong agar tak terpancing isu tersebut. Selain itu mewaspadai pihak yang memanfaatkan situasi saat ini dengan mengalihkan isu ke arah mendukung separatisme di Tanah Air. Khususnya gerakan dari kelompok kriminal bersenjata (KKB)
Bupati Biak Numfor,Herry Ario Naap,menyampaikan agar perasaan merasa terdiskriminasi dihilangkan dan mendorong kewajiban bersama untuk membangun masyarakat Papua melalui berbagai hal, terutama peningkatan sumber daya manusia.
“Jika ada peningkatan dalam hal pendidikan maka diskriminasi akan berkurang untuk Papua, hal ini diharapkan adanya gerakan dari pemerintah pusat,” tutur Herry, dalam diskusi Papua Dalam Keberagaman Indonesia, Senin 15 Juni 2020.
Di sisi lain, dia mengajak para mahasiswa Papua untuk aktif dalam pendidikan untuk meraih prestasi. Ketika berprestasi, kata dia, tidak akan pernah ada yang meremehkan. Kemudian meningkatkan kompetensi dan aktif dalam berbagai bidang kegiatan baik organisasi maupun kelembagaan.
“Mahasiswa harus aktif organisasi dengan demikian bisa merangkul dihargai toleransi terbangun, saya sebagai Bupati ketika terjadi kasus di Surabaya meminta tetap di sana dan tidak pulang,” ujar Herry.
Herry mendorong mahasiswa Papua harus menunjukan prestasi agar tidak dipandang remeh oleh pihak lain. Mahasiswa Papua juga diminta agar bisa hidup bersosialisasi. Tidak hanya hidup dan mengenal dari satu suku saja, dan mahasiswa Papua harus aktif dalam setiap organisasi.
Sementara itu, Thomas Eppe Safanpo Wakil Bupati Asmat juga mengingatkan, persoalan rasisme bukan persoalan papua, namun persoalan Indonesia keseluruhan.
Untuk itu, lanjut dia, semua kalangan harus diedukasi hidup dalam keberagaman. Jangan mengejar persatuan lalu keberagaman dinafikan.
Sebagai mantan mahasiswa Papua yang pernah kuliah di Solo, dia merasa masyarakat sangat terbuka dan tidak pernah ada perlakukan rasis yang terbuka. Hanya, harus diakui seringkali ada ekspresi dan pernyataan konyol, maupun mimik bahasa. Menurut dia, ekspresi seperti itu tidak bisa dihindari karena terkait penafsiran orang yang berbeda-beda.
( )
Wakol Yelipele, Ketua PMKRI Papua menilai rasisme bukan hanya terjadi dan kepada orang Papua, tapi rasisme ada di mana-mana di segala golongan.
Oleh karena itu, dia meminta agar tidak memisahkan antara Papua dan Indonesia, namun bersama menyatukan. Karena itu, organisasi mahasiswa gencar bekerja sama memerangi rasisme lintas golongan organisasi.
Wakol mengaskan tagar PapuaLivesMatter juga sejatinya tidak relevan karena faktanya, warga Papua sangat terbuka, mau bekerja sama. Misal di tempat lahirnya, ada banyak warga suku bangsa, agama, membaur, ketika hari besar bersama saling membantu saling merayakan, hal ini dilakukan hidup dalam kerukunan menjadi contoh daerah lain, tidak ada perbedaan satu membangun negeri.
Sementara Ayub Anto, salah satu mahasiswa Papua yang menempuh kuliah di Solo, mengingatkan semua pihak harus melihat tujuan besar negara Indonesia yang dibangun dari berbagai macam suku.
Dia mengaku sejak kecil tinggal di Jawa dan hidup dengan berbagai suku dalam satu rumah, sehingga perasaan saling merangkul, bersama, tercipta.
Dia juga mengajak teman-teman mahasiswa Papua fokus pada pendidikan sehingga nantinya mampu membantu membangun masyarakat Papua dan tidak terprovokasi.
(dam)