Memahami Sudut Pandang Melalui Fiksi

Senin, 21 Februari 2022 - 14:02 WIB
loading...
Memahami Sudut Pandang...
Memahami Sudut Pandang Melalui Fiksi
A A A
Sekar Mayang
Editor, penulis, pengulas buku, hidup di Bali

Bagi awam, cerita pendek (cerpen) mungkin hanya sebuah objek berupa penggalan kisah hidup seseorang. Namun, bagi penikmat karya fiksi, sebuah cerpen bisa bercerita banyak. Tak hanya kisah para tokohnya, tetapi kadang juga menyingkap alasan mengapa karya tersebut sampai muncul ke hadapan khalayak.

Dibuka oleh cerpen dari David Albahari yang berjudul Cinta Semanis Racun, Anton Kurnia selaku penyusun dan penerjemah seolah-olah ingin mengajak pembaca menyadari bahwa hal remeh semacam sampah bisa memuat banyak hal penting, termasuk kisah cinta seseorang.

Sampah, yang notabene barang buangan, ternyata memiliki nilai sentimental bagi seseorang. Ia tak sekadar barang yang selesai digunakan, tetapi berubah menjadi pita rekaman momen. Saat melihat selembar tisu, misalnya, si lelaki teringat bagaimana si perempuan mengusap dahinya dengan benda itu—satu dari jutaan momen yang membuatnya jatuh cinta kepada si perempuan.

Berlaku juga untuk potongan tiket bioskop, karcis parkir lama, serta macam-macam benda remeh lainnya, yang semua itu membawa si lelaki pada fakta bahwa ia begitu mencintai si perempuan—jika tidak ingin dikatakan terobsesi. Namun, lama-kelamaan, di mata si lelaki, museum benda-benda yang berkaitan dengan si perempuan tidak lebih dari tumpukan sampah, apalagi setelah si perempuan ternyata meminta berpisah.

Sebagai individu, terkadang kita menyimpan sesuatu yang memiliki nilai historis tertentu. Yang umum adalah foto, baik cetak maupun digital. Foto menangkap dan mengabadikan momen, meskipun sering terjadi perbedaan cara pandang dan pemaknaannya. Serta, jutaan benda lain yang tentunya memiliki jutaan kisah dari jutaan sudut pandang yang mungkin saja sulit dipahami orang lain.

Cerpen Pengadilan Terakhir membawa kita kepada pemahaman lain soal keadilan. Seorang pembunuh berantai menghadapi penilaian final di akhirat. Menurut si pembunuh, yang selayaknya menjadi hakim adalah Tuhan. Namun, di sana, Tuhan hanya bertindak sebagai saksi. Tuhan memberi banyak pandangan berdasar fakta, tetapi yang akhirnya membuat putusan adalah manusia.

“Karena pengetahuanku tak terbatas. Jika hakim mengetahui segalanya, benar-benar segalanya, mereka juga akan memahami segalanya. Hati mereka akan sakit. Mereka tak akan sanggup duduk di kursi hakim—begitu pula aku. Para hakim tadi itu hanya mengetahui tentang kejahatanmu. Sementara, aku tahu segalanya tentang dirimu. Keseluruhan dirimu. Itu sebabnya aku tidak bisa menghakimimu.” (Pengadilan Terakhir, Karel Čapek, halaman 28)

Pemahaman adil sendiri sudah barang tentu beragam. Para ahli bahasa hanya menyimpulkan yang jamak diyakini awam. Yaitu, sama berat; tidak berat sebelah; tidak memihak; berpihak kepada yang benar; berpegang pada kebenaran (KBBI luring, diakses 12 Desember 2021). Nyatanya, dalam banyak kasus, seorang hakim dinilai tidak adil oleh khalayak—atau paling tidak, oleh terdakwa—sampai muncul tahap peninjauan kembali kasusnya.

Cerpen Pencegahan Bunuh Diri karya Jaroslav Hasek mungkin terasa dekat dengan keseharian kita. Tuan Hurych hanya tengah berjalan pulang ke rumahnya. Ia melongok ke tepi jembatan karena merasa ada seseorang bersuara dari bawah sana. Akan tetapi, seorang pria lain malah menyangka Tuan Hurych hendak mengakhiri hidupnya dengan melompat dari tepi jembatan. Keributan tak terelakkan, melibatkan polisi serta serangkaian pemeriksaan. Dan, berakhir dengan status Tuan Hurych sebagai pasien rumah sakit jiwa.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2041 seconds (0.1#10.140)