Geopolitik Soekarno Akan Berimbas pada Cara Indonesia Kembangkan Ekonomi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pemikiran geopolitik Soekarno (Bung Karno) dinilai masih relevan dengan kondisi bangsa Indonesia saat ini. Hal tersebut dikemukakan oleh Mahasiswa Doktoral Universitas Pertahanan (Unhan), Hasto Kristiyanto, dan sejumlah profesor.
Baca Juga: Soekarno
Hasto menjelaskan, keseluruhan pemikiran geopolitik Soekarno sebenarnya merupakan bagian dari kritik terhadap berbagai teori politik dunia yang mendominasi, yang mengandung benih-benih penjajahan dan imperialisme.
Maka dari itu, dalam pemikiran Bung Karno, geopolitik itu tidak boleh netral, dia harus berpihak pada tata dunia yang lebih berkeadilan dan bebas dari segala bentuk penjajahan.
"Maka itulah dalam pertemuannya dengan Presiden Kennedy yang dilakukan secara rahasia di kamarnya, Bung Karno mengingatkan bagaimana agar AS justru harus mempelopori pembebasan dunia, sama seperti prinsip ketika AS membebaskan diri dari dari kolonialisme Inggris. AS harus kembali ke situ. Sebab declaration of independence Amerika Serikat menjadi inspirasi bagi kemerdekaan Indonesia," urai Hasto.
Dalam konteks Indonesia saat ini, maka pembangunan pertahanan Indonesia seharusnya berdasar prinsip geopolitik tersebut. Sebagai contoh, menurut Hasto, Indonesia tak bisa berlindung di balik netralitas, namun harus mengambil prakarsa bagi perdamaian di Timur Tengah, dan belahan bumi lainnya.
"Kebijakan luar negeri kita kerap terjebak dalam netralitas. Ini jadi perenungan kita sebagai anak bangsa. Paska dilengserkannya Bung Karno seakan geopolitik kita hanya melihat ke dalam, inward looking, hanya sekadar mawas diri. Diperlukan keberanian untuk melakukan tindakan terobosan bagi perdamaian dunia dengan cara pandang geopolitik berdasarkan Pancasila," kata Hasto.
"Pemikiran geopolitik Soekarno menyentuh hal fundamental untuk kondisi saat ini. Saatnya bangsa ini melangkah keluar dan membangun kepemimpinannya dalam artian luas. Perspektif ketahanan nasional harus diangkat," jelas Hasto.
"Kampus-kampus kita harus bangun hegemoninya dalam penguasaan iptek, misalnya. Jangan terjebak hal simbolik seperti soal seragam, pakaian, atau berbagai elemen primordial. Namun bagaimana kita harus kedepankan supremasi iptek seperti menjadi salah satu elemen pemikiran geopolitik Soekarno," tambahnya.
Intelektual dan pemikir negarawan, Prof Yudi Latif mengatakan, pemikiran geopolitik Soekarno bahkan sangat relevan dan akan mempengaruhi generasi muda Indonesia ke depan. Misalnya, pemikiran tersebut akan sangat mempengaruhi perkembangan politik dan teknologi.
Sebagai contoh, berbasis pandangan geopolitik Bung Karno, seharusnya anak muda Indonesia tak boleh lagi meniru apa yang terjadi di negara di Amerika Latin. Yang berusaha meng-copy paste Amerika Serikat (AS) dan gagal total.
Ketika China mencoba strategi demikian juga gagal. China mulai berhasil ketika, misalnya membangun ekonominya dengan tak sepenuhnya meniru kapitalisme pasar AS, namun yang sesuai akar geopolitik dan kulturalnya.
"Maka ketika Jepang mengembangkan mobil, misalnya, kita tak harus ikut mengembangkan. Mulai lah dulu dari yang kita punya. Kita punya lautan luas, kita punya pangan. Maka seharusnya kita kembangkan teknologi obat dan hidro energi. DNA seni kita luar biasa, bisa kembangkan pariwisata. Maka pemahaman geopolitik Soekarno akan melahirkan pemikiran strategis soal ekonomi, yang diperkuat pengembangan teknologi dan lain-lain," ungkap Prof Yudi.
Pakar kebijakan luar negeri, Prof Anak Agung Banyu Perwita mengatakan, pemikiran geopolitik Soekarno masih sangat kontekstual dengan kondisi Indonesia saat ini. Sebab kondisi geopolitik global saat ini tak banyak berubah dalam hal pola interaksinya, namun sekadar berubah dalam hal aktornya. Ini bisa dilihat dari berbagai manuver kebijakan AS terhadap China, Rusia, dan Korea Utara, misalnya.
Selain itu, pemikiran geopolitik Bung Karno sangat relevan dengan kebutuhan saat ini mengembangkan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia. Artinya, Indonesia harus mampu menggunakan seluruh kemampuan maritimnya untuk membangun.
"Jadi misalnya, seharusnya kita bukan kembangkan mobil, namun teknologi perkapalan dan pemrosesan makanan laut. Ini kan sebenarnya bicara bagaimana mengembangkan keunikan Indonesia, maka kita harus mengubah budaya, visi, dan kebijakan," kata Banyu.
Untuk menggambarkan contoh masih relevannya pemikiran Bung Karno, Banyu mengutip salah satu pernyataan Proklamator itu. Bahwa 'menjadi Hindu tak harus menjadi seperti orang India, menjadi Kristen tak harus seperti Yahudi, dan menjadi Islam bukan harus seperti menjadi orang Arab'.
"Maknanya apa? Ini soal bagaimana kita harus konsisten dengan budaya sendiri. Pernyataan ini sangat relevan untuk hari ini dan hingga 100 tahun ke depan. Bagaimana kita harus memunculkan budaya nusantara kita," pungkas Banyu.
Baca Juga: Soekarno
Hasto menjelaskan, keseluruhan pemikiran geopolitik Soekarno sebenarnya merupakan bagian dari kritik terhadap berbagai teori politik dunia yang mendominasi, yang mengandung benih-benih penjajahan dan imperialisme.
Maka dari itu, dalam pemikiran Bung Karno, geopolitik itu tidak boleh netral, dia harus berpihak pada tata dunia yang lebih berkeadilan dan bebas dari segala bentuk penjajahan.
"Maka itulah dalam pertemuannya dengan Presiden Kennedy yang dilakukan secara rahasia di kamarnya, Bung Karno mengingatkan bagaimana agar AS justru harus mempelopori pembebasan dunia, sama seperti prinsip ketika AS membebaskan diri dari dari kolonialisme Inggris. AS harus kembali ke situ. Sebab declaration of independence Amerika Serikat menjadi inspirasi bagi kemerdekaan Indonesia," urai Hasto.
Dalam konteks Indonesia saat ini, maka pembangunan pertahanan Indonesia seharusnya berdasar prinsip geopolitik tersebut. Sebagai contoh, menurut Hasto, Indonesia tak bisa berlindung di balik netralitas, namun harus mengambil prakarsa bagi perdamaian di Timur Tengah, dan belahan bumi lainnya.
"Kebijakan luar negeri kita kerap terjebak dalam netralitas. Ini jadi perenungan kita sebagai anak bangsa. Paska dilengserkannya Bung Karno seakan geopolitik kita hanya melihat ke dalam, inward looking, hanya sekadar mawas diri. Diperlukan keberanian untuk melakukan tindakan terobosan bagi perdamaian dunia dengan cara pandang geopolitik berdasarkan Pancasila," kata Hasto.
"Pemikiran geopolitik Soekarno menyentuh hal fundamental untuk kondisi saat ini. Saatnya bangsa ini melangkah keluar dan membangun kepemimpinannya dalam artian luas. Perspektif ketahanan nasional harus diangkat," jelas Hasto.
"Kampus-kampus kita harus bangun hegemoninya dalam penguasaan iptek, misalnya. Jangan terjebak hal simbolik seperti soal seragam, pakaian, atau berbagai elemen primordial. Namun bagaimana kita harus kedepankan supremasi iptek seperti menjadi salah satu elemen pemikiran geopolitik Soekarno," tambahnya.
Intelektual dan pemikir negarawan, Prof Yudi Latif mengatakan, pemikiran geopolitik Soekarno bahkan sangat relevan dan akan mempengaruhi generasi muda Indonesia ke depan. Misalnya, pemikiran tersebut akan sangat mempengaruhi perkembangan politik dan teknologi.
Sebagai contoh, berbasis pandangan geopolitik Bung Karno, seharusnya anak muda Indonesia tak boleh lagi meniru apa yang terjadi di negara di Amerika Latin. Yang berusaha meng-copy paste Amerika Serikat (AS) dan gagal total.
Ketika China mencoba strategi demikian juga gagal. China mulai berhasil ketika, misalnya membangun ekonominya dengan tak sepenuhnya meniru kapitalisme pasar AS, namun yang sesuai akar geopolitik dan kulturalnya.
"Maka ketika Jepang mengembangkan mobil, misalnya, kita tak harus ikut mengembangkan. Mulai lah dulu dari yang kita punya. Kita punya lautan luas, kita punya pangan. Maka seharusnya kita kembangkan teknologi obat dan hidro energi. DNA seni kita luar biasa, bisa kembangkan pariwisata. Maka pemahaman geopolitik Soekarno akan melahirkan pemikiran strategis soal ekonomi, yang diperkuat pengembangan teknologi dan lain-lain," ungkap Prof Yudi.
Pakar kebijakan luar negeri, Prof Anak Agung Banyu Perwita mengatakan, pemikiran geopolitik Soekarno masih sangat kontekstual dengan kondisi Indonesia saat ini. Sebab kondisi geopolitik global saat ini tak banyak berubah dalam hal pola interaksinya, namun sekadar berubah dalam hal aktornya. Ini bisa dilihat dari berbagai manuver kebijakan AS terhadap China, Rusia, dan Korea Utara, misalnya.
Selain itu, pemikiran geopolitik Bung Karno sangat relevan dengan kebutuhan saat ini mengembangkan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia. Artinya, Indonesia harus mampu menggunakan seluruh kemampuan maritimnya untuk membangun.
"Jadi misalnya, seharusnya kita bukan kembangkan mobil, namun teknologi perkapalan dan pemrosesan makanan laut. Ini kan sebenarnya bicara bagaimana mengembangkan keunikan Indonesia, maka kita harus mengubah budaya, visi, dan kebijakan," kata Banyu.
Untuk menggambarkan contoh masih relevannya pemikiran Bung Karno, Banyu mengutip salah satu pernyataan Proklamator itu. Bahwa 'menjadi Hindu tak harus menjadi seperti orang India, menjadi Kristen tak harus seperti Yahudi, dan menjadi Islam bukan harus seperti menjadi orang Arab'.
"Maknanya apa? Ini soal bagaimana kita harus konsisten dengan budaya sendiri. Pernyataan ini sangat relevan untuk hari ini dan hingga 100 tahun ke depan. Bagaimana kita harus memunculkan budaya nusantara kita," pungkas Banyu.
(maf)