Kritik Kebijakan JHT, Partai Buruh Tantang Puan Bikin Interpelasi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Ketua DPR Puan Maharani mengkritik Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 2/2022 yang mengatur pencairan dana Jaminan Hari Tua (JHT) baru bisa dilakukan saat pekerja berusia 56 tahun. Tetapi kritik dianggap tak bermakna selama tidak ada langkah konkret yang dilakukan
Menurut Kepala Badan Pengkajian Strategis Partai Buruh Said Salahudin, tanpa langkah konkret Puan disebutnya hanya latah. Hanya ikut arus narasi padahal semestinya bisa melakukan lebih dari sekadar membuat pernyataan.
"DPR tidak cukup bekerja dengan narasi, tetapi juga harus disertai aksi. Kalau ada kebijakan pemerintah yang dipandang melawan konstitusi, hal itu semestinya diproses lewat penggunaan hak Interpelasi," kata Said kepada wartawan, Jumat (18/2/2022).
Said menilai, kritik Puan ini jauh dari memadai. Sebagai pimpinan legislatif semestinya Puan paham bahwa fungsi kontrol DPR terhadap pemerintah tidak cukup disampaikan lewat kritik. Sebab kritik itu domainnya rakyat, bukan levelnya Wakil Rakyat. Dalam skema demokrasi, tugas parlemen bukan mengkritisi, tetapi mengoreksi.
Jadi, kata dia, kalau Permenaker 2/2022 dianggap perlu diperbaiki, maka dalam merespons beleid itu Ketua DPR seharusnya lebih mengedepankan mekanisme yuridis konstitusional sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 20A ayat (2) UUD 1945.
"Dalam norma tersebut tegas dinyatakan bahwa dalam melaksanakan fungsinya DPR diberikan hak oleh konstitusi untuk antara lain mengajukan Hak Interpelasi, yaitu hak DPR untuk meminta keterangan kepada pemerintah terkait suatu kebijakan penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara," tegasnya.
Said menjelaskan, JHT jelas persoalan yang penting, strategis, dan berdampak yang luas karena selain menyangkut nasib ratusan juta buruh, ada dana kelolaan senilai Rp 372,5 triliun di situ.
"Nah, mengapa tidak hak konstitusional itu saja yang digunakan oleh Ibu Puan dalam menyoal Permenaker 2/2022? Sebagai Ketua DPR saya kira posisi beliau sangat strategis untuk menginisiasi penggunaan Hak Interpelasi terkait kebijakan JHT," tukasnya.
"Kalau dalam pelaksanaan Hak Interpelasi itu ditemukan adanya motif atau kepentingan tertentu dari Menteri Ketenagakerjaan atas penerbitan Permenaker tersebut, maka DPR tidak saja harus mendorong pencabutan aturan tersebut, tetapi juga perlu merekomendasikan kepada Presiden untuk memberhentikan bawahannya itu," pungkas Said.
Puan belum lama ini meminta agar Permenaker Nomor 2/2022 ditunjau ulang. Selain sosialisasi yang kurang, kebijakan baru pencairan JHT dalam beleid ini dianggap Puan merugikan para pekerja.
Menurut Kepala Badan Pengkajian Strategis Partai Buruh Said Salahudin, tanpa langkah konkret Puan disebutnya hanya latah. Hanya ikut arus narasi padahal semestinya bisa melakukan lebih dari sekadar membuat pernyataan.
"DPR tidak cukup bekerja dengan narasi, tetapi juga harus disertai aksi. Kalau ada kebijakan pemerintah yang dipandang melawan konstitusi, hal itu semestinya diproses lewat penggunaan hak Interpelasi," kata Said kepada wartawan, Jumat (18/2/2022).
Said menilai, kritik Puan ini jauh dari memadai. Sebagai pimpinan legislatif semestinya Puan paham bahwa fungsi kontrol DPR terhadap pemerintah tidak cukup disampaikan lewat kritik. Sebab kritik itu domainnya rakyat, bukan levelnya Wakil Rakyat. Dalam skema demokrasi, tugas parlemen bukan mengkritisi, tetapi mengoreksi.
Jadi, kata dia, kalau Permenaker 2/2022 dianggap perlu diperbaiki, maka dalam merespons beleid itu Ketua DPR seharusnya lebih mengedepankan mekanisme yuridis konstitusional sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 20A ayat (2) UUD 1945.
"Dalam norma tersebut tegas dinyatakan bahwa dalam melaksanakan fungsinya DPR diberikan hak oleh konstitusi untuk antara lain mengajukan Hak Interpelasi, yaitu hak DPR untuk meminta keterangan kepada pemerintah terkait suatu kebijakan penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara," tegasnya.
Said menjelaskan, JHT jelas persoalan yang penting, strategis, dan berdampak yang luas karena selain menyangkut nasib ratusan juta buruh, ada dana kelolaan senilai Rp 372,5 triliun di situ.
"Nah, mengapa tidak hak konstitusional itu saja yang digunakan oleh Ibu Puan dalam menyoal Permenaker 2/2022? Sebagai Ketua DPR saya kira posisi beliau sangat strategis untuk menginisiasi penggunaan Hak Interpelasi terkait kebijakan JHT," tukasnya.
"Kalau dalam pelaksanaan Hak Interpelasi itu ditemukan adanya motif atau kepentingan tertentu dari Menteri Ketenagakerjaan atas penerbitan Permenaker tersebut, maka DPR tidak saja harus mendorong pencabutan aturan tersebut, tetapi juga perlu merekomendasikan kepada Presiden untuk memberhentikan bawahannya itu," pungkas Said.
Puan belum lama ini meminta agar Permenaker Nomor 2/2022 ditunjau ulang. Selain sosialisasi yang kurang, kebijakan baru pencairan JHT dalam beleid ini dianggap Puan merugikan para pekerja.
(muh)