BMKG Sebut Chemtrails Akibatkan Mewabahnya Omicron Teori Konspirasi, Begini Penjelasannya
loading...
A
A
A
JAKARTA - Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menegaskan bahwa isu chemtrails dapat diklasifikasikan sebagai teori konspirasi yang menyebar dan membuat kepanikan publik. Hal ini menjawab video yang menampilkan awan mirip sisa pesawat yang direkam warganet di Buah Batu, Kota Bandung, Jawa Barat, pada 7 Februari 2022.
Plt Deputi Bidang Klimatologi BMKG, Urip Haryoko menjelaskan bahwa chemtrails merupakan gabungan chemistry (kimia) dan trails (jejak) yang dimaknai sebagai penyebaran zat kimia tertentu (biasanya beracun atau berbahaya) melalui pesawat terbang. “Oleh karena penyebarannya dilakukan dari udara, dampak terhadap paparan zat kimia ini dapat dirasakan secara luas dan sulit untuk dimitigasi,” ujarnya dikutip dari keterangannya, Kamis (17/2/2022). Baca juga: Tekan Omicron, Anies: Kapasitas Mal 60 Persen dan Bioskop 50 Persen
Penelitian yang ditulis J Marvin Herndon dan timnya berjudul Chemtrails are Not Contrails: Radiometric Evidence menyebut bahwa sampai saat ini, klaim chemtrails dan dampak negatifnya tidak terbukti.
“Belum ada laporan resmi atau publikasi ilmiah yang menyebutkan keberadaan, apalagi akibat buruk yang dapat ditimbulkan. Salah satu kajian menunjukkan bahwa klaim chemtrails tidak benar karena tidak ada kandungan zat kimia yang berbahaya dari jejak yang ditinggalkan oleh pesawat terbang,” tulis laporan yang tayang di Journal of Geography, Environment and Earth Science International, Maret 2020.
Urip menyebut apa yang disebut chemtrails yaitu condensation trails atau sering disingkat sebagai contrails. Contrails adalah fenomena yang terjadi di udara akibat emisi dari mesin jet pesawat terbang yang bertemu dengan udara pada temperatur yang sangat rendah.
Proses pembentukan contrails diinisiasi oleh emisi uap air pada temperatur tinggi dari mesin jet pesawat terbang yang dengan cepat bertemu dengan udara pada temperatur yang sangat rendah. Pertemuan ini berturut-turut dilanjutkan dengan proses kondensasi (perubahan uap air menjadi air) dan proses sublimasi (air menjadi kristal es).
“Proses ini dapat disetarakan dengan proses pembentukan awan,” kata Urip.
Meski demikian, keberadaan contrails di udara bergantung pada kondisi atmosfer seperti penyinaran matahari, perbedaan temperatur, dan wind shear (perubahan instan arah dan kecepatan angin). Pada kondisi atmosfer yang stabil, contrails dapat bertahan lama, dan menyebar secara lateral.
“Contrails menjadi fenomena yang penting dalam pembahasan mengenai pemanasan global. Hal ini karena keberadaannya di lapisan udara yang tinggi dapat memiliki karakter yang mirip dengan awan cirrus,” lanjutnya.
Awan cirrus merupakan awan pada lapisan udara tinggi yang dapat memantulkan balik radiasi gelombang panjang kembali ke permukaan bumi. Akibatnya temperatur di permukaan bumi dapat menjadi lebih panas dari kondisi normalnya.
Urip mengatakan ada dua pendekatan untuk menjawab kesalahan informasi mengenai fenomena contrails dan wabah Omicron. Pertama, Arias-Reyes, et al. yang berjudul Does the pathogenesis of SARS-CoV-2 virus decrease at high-altitude?. Respiratory physiology & neurobiology menyimpulkan bahwa proses pembentukan unsur patogen (berbahaya) dari virus SARS-CoV-2 berkurang pada lokasi dengan elevasi tinggi.
“Hal ini disebabkan karena virus tidak dapat bertahan lama pada lingkungan seperti ini karena minimnya lapisan oksigen. Contrails biasanya nampak pada ketinggian 7.000 meter sampai dengan 13.000 meter dengan lapisan oksigen yang sangat tipis,” ungkap Urip.
Kedua, jika terdapat virus SARS-CoV-2 keberadaan sinar ultraviolet (UV) di udara mematikan virus ini sehingga tidak dapat menyebar secara luas dan sampai ke permukaan. “Dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa chemtrails dan penyebaran Omicron merupakan informasi yang tak tepat dan dibuat untuk menciptakan keresahan masyarakat,” tegas Urip.
Plt Deputi Bidang Klimatologi BMKG, Urip Haryoko menjelaskan bahwa chemtrails merupakan gabungan chemistry (kimia) dan trails (jejak) yang dimaknai sebagai penyebaran zat kimia tertentu (biasanya beracun atau berbahaya) melalui pesawat terbang. “Oleh karena penyebarannya dilakukan dari udara, dampak terhadap paparan zat kimia ini dapat dirasakan secara luas dan sulit untuk dimitigasi,” ujarnya dikutip dari keterangannya, Kamis (17/2/2022). Baca juga: Tekan Omicron, Anies: Kapasitas Mal 60 Persen dan Bioskop 50 Persen
Penelitian yang ditulis J Marvin Herndon dan timnya berjudul Chemtrails are Not Contrails: Radiometric Evidence menyebut bahwa sampai saat ini, klaim chemtrails dan dampak negatifnya tidak terbukti.
“Belum ada laporan resmi atau publikasi ilmiah yang menyebutkan keberadaan, apalagi akibat buruk yang dapat ditimbulkan. Salah satu kajian menunjukkan bahwa klaim chemtrails tidak benar karena tidak ada kandungan zat kimia yang berbahaya dari jejak yang ditinggalkan oleh pesawat terbang,” tulis laporan yang tayang di Journal of Geography, Environment and Earth Science International, Maret 2020.
Urip menyebut apa yang disebut chemtrails yaitu condensation trails atau sering disingkat sebagai contrails. Contrails adalah fenomena yang terjadi di udara akibat emisi dari mesin jet pesawat terbang yang bertemu dengan udara pada temperatur yang sangat rendah.
Proses pembentukan contrails diinisiasi oleh emisi uap air pada temperatur tinggi dari mesin jet pesawat terbang yang dengan cepat bertemu dengan udara pada temperatur yang sangat rendah. Pertemuan ini berturut-turut dilanjutkan dengan proses kondensasi (perubahan uap air menjadi air) dan proses sublimasi (air menjadi kristal es).
“Proses ini dapat disetarakan dengan proses pembentukan awan,” kata Urip.
Meski demikian, keberadaan contrails di udara bergantung pada kondisi atmosfer seperti penyinaran matahari, perbedaan temperatur, dan wind shear (perubahan instan arah dan kecepatan angin). Pada kondisi atmosfer yang stabil, contrails dapat bertahan lama, dan menyebar secara lateral.
“Contrails menjadi fenomena yang penting dalam pembahasan mengenai pemanasan global. Hal ini karena keberadaannya di lapisan udara yang tinggi dapat memiliki karakter yang mirip dengan awan cirrus,” lanjutnya.
Awan cirrus merupakan awan pada lapisan udara tinggi yang dapat memantulkan balik radiasi gelombang panjang kembali ke permukaan bumi. Akibatnya temperatur di permukaan bumi dapat menjadi lebih panas dari kondisi normalnya.
Urip mengatakan ada dua pendekatan untuk menjawab kesalahan informasi mengenai fenomena contrails dan wabah Omicron. Pertama, Arias-Reyes, et al. yang berjudul Does the pathogenesis of SARS-CoV-2 virus decrease at high-altitude?. Respiratory physiology & neurobiology menyimpulkan bahwa proses pembentukan unsur patogen (berbahaya) dari virus SARS-CoV-2 berkurang pada lokasi dengan elevasi tinggi.
“Hal ini disebabkan karena virus tidak dapat bertahan lama pada lingkungan seperti ini karena minimnya lapisan oksigen. Contrails biasanya nampak pada ketinggian 7.000 meter sampai dengan 13.000 meter dengan lapisan oksigen yang sangat tipis,” ungkap Urip.
Kedua, jika terdapat virus SARS-CoV-2 keberadaan sinar ultraviolet (UV) di udara mematikan virus ini sehingga tidak dapat menyebar secara luas dan sampai ke permukaan. “Dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa chemtrails dan penyebaran Omicron merupakan informasi yang tak tepat dan dibuat untuk menciptakan keresahan masyarakat,” tegas Urip.
(kri)