Rivalitas 2 Jenderal Kepercayaan Presiden, Penuh Intrik dan Saling Jegal
loading...
A
A
A
Aksi huru-hara dan kerusuhan itu sengaja dirancang oleh Ali Moertopo untuk menyingkirkan lawan-lawannya; terutama Soemitro, mahasiswa dan unsur-unsur lain yang dianggap bersimpati pada gerakan mahasiswa.
Sementara itu, Soemitro justru membuat kesan 'memberi angin' pada gerakan mahasiswa. Menjelang kedatangan PM Jepang Tanaka, Soemitro justru mengurangi pembatasan-pembatasan terhadap demonstrasi mahasiswa. Bahkan ketika terjadi aksi huru-hara dan kerusuhan, pasukan keamanan di bawah komando Soemitro tidak langsung bersikap tegas.
Pangkopkamtib menunjukkan nada persahabatan ketika berbicara dengan para demonstran. Dua hari setelah peristiwa itu, pasukan keamanan baru melakukan penangkapan-penangkapan. Sebenarnya, di balik aksi demonstrasi mahasiswa pada 15 Januari 1974, Soemitro berharap agar protes mahasiswa tersebut dapat memaksa Presiden Soeharto untuk membubarkan Aspri sekaligus menyingkirkan rivalnya itu.
"Setelah Malari, Pak Harto bertanya kepada saya... 'Apa pendapatmu jika Ali (Moertopo) menjadi Kepala Bakin?' 'Jangan!' saya menolak."
"Saya katakan kepada Pak Harto, 'ini bukan karena karena saya tidak suka kepada Ali Moertopo, Pak! Masalahnya karena kita harus menciptakan kesan yang sangat baik kepada seluruh upaya intelijen.' Perwira intelijen tidak boleh bermain dengan politik," ujar Soemitro dalam buku Pangkopkamtib Jenderal Soemitro, 1981 yang ditulis David Jenkins.
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, di sekeliling kekuasaan Soeharto masalah rivalitas sepertinya sudah menjadi tradisi. Sebagaimana diketahui setidaknya Soeharto memusatkan kekuasaannya setidaknya pada enam orang pembantu terdekat dan terpercaya. Tetapi pada saat yang sama ia tetap memastikan kekuatan posisinya yang tidak tergoyahkan dan membagi-bagikan kekuasaan kepada mereka yang setia kepada dirinya dan ABRI.
Caranya adalah dengan menyebar rivalitas dan curiga di antara mereka. Keadaan rivalitas di sekeliling Soeharto seperti ini semakin memperkuat asumsi jika sengaja diciptakan Soeharto.
Misalnya Ali Moertopo (dengan sejumlah institusi yang ada di bawahnya) terdapat pertentangan dengan Menteri Amir Machmud dan Departemen Dalam Negeri, departemen kuat yang dibawahinya. Selain dengan Amir Machmud sebelumnya Ali juga berseteru dengan Soemitro.
Sedangkan M Jusuf bersikap waspada kepada Ali Moertopo yang menganggap sepele Panggabean, pendahulu Jusuf sebagai Menko Polkam. Jusuf juga tidak menyukai Widodo yang menjadi Kepala Staf AD (Kasad) periode 1978-1980. Sama seperti Jusuf, LB Moerdani juga tidak menyukai Widodo. Hubungannya dengan Yoga Sugama pun tidak mulus. Baca juga: Putranya Ditunjuk Jadi Pangkostrad, Begini Kata Ayah Mayjen Maruli Simanjuntak
Rivalitas itu juga tidak hanya di kalangan militer, seperti persaingan LB Moerdani dengan tokoh sipil Menteri Luar Negeri Dr Mochtar Kusumaatmadja. Persaingan ini terjadi seputar perebutan pelbagai kebijakan luar negeri. Keduanya yakin presiden mendukung mereka, bahkan acapkali presiden memberikan tugas untuk menyelesaikan masalah yang sama dan tujuan yang bertolak belakang. Dengan seperti itu Soeharto telah mempertajam rivalitas sipil-militer, institusi, dan sekaligus pribadi.
Sementara itu, Soemitro justru membuat kesan 'memberi angin' pada gerakan mahasiswa. Menjelang kedatangan PM Jepang Tanaka, Soemitro justru mengurangi pembatasan-pembatasan terhadap demonstrasi mahasiswa. Bahkan ketika terjadi aksi huru-hara dan kerusuhan, pasukan keamanan di bawah komando Soemitro tidak langsung bersikap tegas.
Pangkopkamtib menunjukkan nada persahabatan ketika berbicara dengan para demonstran. Dua hari setelah peristiwa itu, pasukan keamanan baru melakukan penangkapan-penangkapan. Sebenarnya, di balik aksi demonstrasi mahasiswa pada 15 Januari 1974, Soemitro berharap agar protes mahasiswa tersebut dapat memaksa Presiden Soeharto untuk membubarkan Aspri sekaligus menyingkirkan rivalnya itu.
"Setelah Malari, Pak Harto bertanya kepada saya... 'Apa pendapatmu jika Ali (Moertopo) menjadi Kepala Bakin?' 'Jangan!' saya menolak."
"Saya katakan kepada Pak Harto, 'ini bukan karena karena saya tidak suka kepada Ali Moertopo, Pak! Masalahnya karena kita harus menciptakan kesan yang sangat baik kepada seluruh upaya intelijen.' Perwira intelijen tidak boleh bermain dengan politik," ujar Soemitro dalam buku Pangkopkamtib Jenderal Soemitro, 1981 yang ditulis David Jenkins.
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, di sekeliling kekuasaan Soeharto masalah rivalitas sepertinya sudah menjadi tradisi. Sebagaimana diketahui setidaknya Soeharto memusatkan kekuasaannya setidaknya pada enam orang pembantu terdekat dan terpercaya. Tetapi pada saat yang sama ia tetap memastikan kekuatan posisinya yang tidak tergoyahkan dan membagi-bagikan kekuasaan kepada mereka yang setia kepada dirinya dan ABRI.
Caranya adalah dengan menyebar rivalitas dan curiga di antara mereka. Keadaan rivalitas di sekeliling Soeharto seperti ini semakin memperkuat asumsi jika sengaja diciptakan Soeharto.
Misalnya Ali Moertopo (dengan sejumlah institusi yang ada di bawahnya) terdapat pertentangan dengan Menteri Amir Machmud dan Departemen Dalam Negeri, departemen kuat yang dibawahinya. Selain dengan Amir Machmud sebelumnya Ali juga berseteru dengan Soemitro.
Sedangkan M Jusuf bersikap waspada kepada Ali Moertopo yang menganggap sepele Panggabean, pendahulu Jusuf sebagai Menko Polkam. Jusuf juga tidak menyukai Widodo yang menjadi Kepala Staf AD (Kasad) periode 1978-1980. Sama seperti Jusuf, LB Moerdani juga tidak menyukai Widodo. Hubungannya dengan Yoga Sugama pun tidak mulus. Baca juga: Putranya Ditunjuk Jadi Pangkostrad, Begini Kata Ayah Mayjen Maruli Simanjuntak
Rivalitas itu juga tidak hanya di kalangan militer, seperti persaingan LB Moerdani dengan tokoh sipil Menteri Luar Negeri Dr Mochtar Kusumaatmadja. Persaingan ini terjadi seputar perebutan pelbagai kebijakan luar negeri. Keduanya yakin presiden mendukung mereka, bahkan acapkali presiden memberikan tugas untuk menyelesaikan masalah yang sama dan tujuan yang bertolak belakang. Dengan seperti itu Soeharto telah mempertajam rivalitas sipil-militer, institusi, dan sekaligus pribadi.