Rivalitas 2 Jenderal Kepercayaan Presiden, Penuh Intrik dan Saling Jegal
loading...
A
A
A
"Pada suatu saat ketika saya sedang rapat di Kopkamtib, ada tamu ingin bertemu mendadak, ternyata Ali Moertopo. Ia meminta segera bertemu, karena diperintahkan Pak Harto. Rapat pun saya skors, saya terima dia di ruangan sebelah di tempat main biliar, di tempat saya sering ngaso, 'He ono opo Li?' Ia langsung nyerocos, 'Pak saya ndak mau jadi menteri Pak, saya ndak mau, ndak mau.'," ujar Soemitro.
Karena itulah ia dinilai lebih suka terhadap jabatan yang inkonstitusional seperti Aspri hingga dapat leluasa bergerak. Menurut Harold Crouch, persaingan di antara penasihat-penasihat Presiden di bidang politik dan keuangan di satu pihak dengan para pendukung-pendukung Jenderal Soemitro di pihak lain pada umumnya seputar perebutan kekuasaan dalam tubuh elite itu sendiri.
Bentuk persaingan itu dapat dilihat dari beberapa kasus. Setelah Ali Moertopo sukses besar mengoordinasi Sekber Golkar dan memenangkan Pemilu tahun 1971 maka para jenderal Hankam (kelompok Soemitro) segera bertindak mencegah agar Golkar tidak tumbuh menjadi basis ekstramiliter bagi Ali Moertopo.
Terdapat pula kasus lain, ketika Kongres Golkar pertama digelar pada bulan September 1973, calon dari kelompok Hankam terpilih menjadi ketua umum. Sebaliknya, ketika Jenderal Soemitro mengusulkan pengangkatan seorang bawahannya, Mayor Jenderal Charis Suhud sebagai Wakil Panglima Kopkamtib pada pertengahan 1973, Soeharto justru mengangkat bekas Kepala Staf Angkatan Laut Sudomo yang mempunyai hubungan dekat dengan Ali Moertopo.
Ali Moertopo dan Soemitro juga memiliki penafsiran yang berbeda tentang keprofesionalan ABRI. Soemitro berpendapat ABRI seharusnya lebih meninggalkan peran-peran sipil yang tidak berkaitan dengan aspek pertahanan negara.
Ali melakukan penafsiran sebaliknya. Ia merumuskan fungsi ABRI yang lebih luwes dengan apa pun yang diperintahkan kepada mereka meski hal tersebut tidak berkenaan dengan pertahanan negara.
Perselisihan menjadi semakin memuncak terjadi pada pertengahan tahun 1973, menyusul reaksi keras dari umat Islam atas diajukannya Rancangan Undang-Undang Perkawinan oleh pemerintah pada 31 Juli 1973. RUU merupakan puncak tuntutan dari organisasi-organisasi wanita didukung Kristen sekuler yang menghendaki adanya perlindungan hukum agar tidak diatur oleh hukum Islam.
Ditengarai RUU ini berasal dari staf Ali Moertopo sebagai suatu masalah yang dapat dimanfaatkan dalam upaya "sekulerisasi" politik Islam. Dalam hal ini Sutopo Juwono mengakui mengambil alih perancangan RUU yang diajukan kelompok Ali tersebut. Mereka mendekati para pemimpin Islam dan melakukan kompromi atas RUU Perkawinan yang baru.
Setelah masalah RUU Perkawinan, ketegangan antara Ali dan Soemitro mencapai puncaknya pada tahun 1974, yaitu meletusnya Malapetaka 15 Januari yang kemudian dikenal dengan Malari 1974.
Sebuah penelitian menunjukkan bahwa rivalitas Soemitro dengan Ali Moertopo turut ambil bagian dalam peristiwa 15 Januari 1974. Ali Moertopo sengaja mengirim anak-anak gelandangan, preman Ibu Kota dan bekas simpatisan DI/TII untuk melakukan huru-hara dan kerusuhan pada aksi demonstrasi mahasiswa yang menyambut kedatangan PM Jepang Tanaka.
Karena itulah ia dinilai lebih suka terhadap jabatan yang inkonstitusional seperti Aspri hingga dapat leluasa bergerak. Menurut Harold Crouch, persaingan di antara penasihat-penasihat Presiden di bidang politik dan keuangan di satu pihak dengan para pendukung-pendukung Jenderal Soemitro di pihak lain pada umumnya seputar perebutan kekuasaan dalam tubuh elite itu sendiri.
Bentuk persaingan itu dapat dilihat dari beberapa kasus. Setelah Ali Moertopo sukses besar mengoordinasi Sekber Golkar dan memenangkan Pemilu tahun 1971 maka para jenderal Hankam (kelompok Soemitro) segera bertindak mencegah agar Golkar tidak tumbuh menjadi basis ekstramiliter bagi Ali Moertopo.
Terdapat pula kasus lain, ketika Kongres Golkar pertama digelar pada bulan September 1973, calon dari kelompok Hankam terpilih menjadi ketua umum. Sebaliknya, ketika Jenderal Soemitro mengusulkan pengangkatan seorang bawahannya, Mayor Jenderal Charis Suhud sebagai Wakil Panglima Kopkamtib pada pertengahan 1973, Soeharto justru mengangkat bekas Kepala Staf Angkatan Laut Sudomo yang mempunyai hubungan dekat dengan Ali Moertopo.
Ali Moertopo dan Soemitro juga memiliki penafsiran yang berbeda tentang keprofesionalan ABRI. Soemitro berpendapat ABRI seharusnya lebih meninggalkan peran-peran sipil yang tidak berkaitan dengan aspek pertahanan negara.
Ali melakukan penafsiran sebaliknya. Ia merumuskan fungsi ABRI yang lebih luwes dengan apa pun yang diperintahkan kepada mereka meski hal tersebut tidak berkenaan dengan pertahanan negara.
Perselisihan menjadi semakin memuncak terjadi pada pertengahan tahun 1973, menyusul reaksi keras dari umat Islam atas diajukannya Rancangan Undang-Undang Perkawinan oleh pemerintah pada 31 Juli 1973. RUU merupakan puncak tuntutan dari organisasi-organisasi wanita didukung Kristen sekuler yang menghendaki adanya perlindungan hukum agar tidak diatur oleh hukum Islam.
Ditengarai RUU ini berasal dari staf Ali Moertopo sebagai suatu masalah yang dapat dimanfaatkan dalam upaya "sekulerisasi" politik Islam. Dalam hal ini Sutopo Juwono mengakui mengambil alih perancangan RUU yang diajukan kelompok Ali tersebut. Mereka mendekati para pemimpin Islam dan melakukan kompromi atas RUU Perkawinan yang baru.
Setelah masalah RUU Perkawinan, ketegangan antara Ali dan Soemitro mencapai puncaknya pada tahun 1974, yaitu meletusnya Malapetaka 15 Januari yang kemudian dikenal dengan Malari 1974.
Sebuah penelitian menunjukkan bahwa rivalitas Soemitro dengan Ali Moertopo turut ambil bagian dalam peristiwa 15 Januari 1974. Ali Moertopo sengaja mengirim anak-anak gelandangan, preman Ibu Kota dan bekas simpatisan DI/TII untuk melakukan huru-hara dan kerusuhan pada aksi demonstrasi mahasiswa yang menyambut kedatangan PM Jepang Tanaka.