Presidential Threshold Potensial Munculkan Kotak Kosong di Pilpres 2024
loading...
A
A
A
JAKARTA - Menanggapi hasil survei elektabilitas capres Trust Indonesia, Pakar Komunikasi Politik Effendi Gazali melihat peluang semua figur sebenarnya masih sangat terbuka. Hanya, dia mengingatkan masih ada perjuangan untuk menghilangkan presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden 20 persen melalui uji materi ke Mahkamah Konstitusi.
“Ini masih sangat terbuka peluang lain di samping yang ada pada poin-poin yang disediakan oleh teman-teman Trust sebagai pemicu kita di awal tahun ini, yang mungkin sudah disebut sebagai awal tahun politik, tetapi bagi saya awal tahun politik ini akan sangat diwarnai oleh perjuangan kita menghilangkan presidential threshold, bisa tercapai atau tidak di 2022 ini,” kata Effendi secara virtual dalam rilis survei Trust Indonesia, Senin (31/1/2022).
Effendi melihat, pemasangan para calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) dalam survei ini dibangun atas asumsi tidak adanya presidential threshold, atau bahkan relatif tidak ada. “Karena pemasangan di sini menurut saya dibangun atas asumsi bahwa presidential threshold itu tidak ada, atau seakan-akan relatif ya ini bangunan asumsi dan presidential itu tidak ada,” ujarnya.
Karena, kata Effendi, kalau presidential threshold masih ada, ia memprediksi hanya ada dua pasang calon (paslon) maksimal, atau satu paslon melawan kotak kosong. Sementara perjuangan menghapus presidential threshold ini sangat amat sulit, sebagaimana yang dipaparkan dalam survei.
“Karena kalau presidential threshold ada, hanya akan ada dua atau satu pasang melawan kotak kosong. Dan sayangnya lagi ketika tadi sudah dipaparkan tentang perjuangan untuk menghilangkan presidential threshold ini,” terang Effendi.
Effendi menceritakan, keserentakan pemilu ini terjadi saat dirinya bersama dengan Saldi Isra, Irman Putra Siddin, Hamdi Muluk dan Didik Supriyanto mengajukan uji materi ke MK dan dikabulkan. Idealnya, pemilu serentak digelar tanpa adanya presidential threshold sebagaimana yang dilakukan di sejumlah negara, namun tidak di Indonesia.
“Tidak ada negara manapun di dunia yang melaksanakan pemilu serentak dengan presidential threshold. Apakah perjuangan kita bisa memenangkannya, sehingga tadi yang diandaikan siapa berpasangan dengan siapa itu bisa terwujud atau relatif lebih bisa terwujud sekaligus memperbaiki undang-undang seperti apa yang disampaikan,” ungkapnya.
Yang pasti, Guru Besar tetap Ilmu Komunikasi Universitas Prof. Dr. Moestopo ini menegaskan, pemasangan-pemasangan capres-cawapres ini bisa terjadi di Pemilu 2024 tanpa adanya presidential threshold. Kalau tetap ada, nama-nama di survei ini bisa hilang di 2024 nanti.
“Yang ada, (nama-nama capres) di sini bisa enggak ada, bisa satu pasang melawan kotak kosong atau dua pasang sesuai dengan keinginan oligarki, dipilih satu pasangan dan pasangan kedua dipilih yang lemah,” tandasnya.
“Ini masih sangat terbuka peluang lain di samping yang ada pada poin-poin yang disediakan oleh teman-teman Trust sebagai pemicu kita di awal tahun ini, yang mungkin sudah disebut sebagai awal tahun politik, tetapi bagi saya awal tahun politik ini akan sangat diwarnai oleh perjuangan kita menghilangkan presidential threshold, bisa tercapai atau tidak di 2022 ini,” kata Effendi secara virtual dalam rilis survei Trust Indonesia, Senin (31/1/2022).
Baca Juga
Effendi melihat, pemasangan para calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) dalam survei ini dibangun atas asumsi tidak adanya presidential threshold, atau bahkan relatif tidak ada. “Karena pemasangan di sini menurut saya dibangun atas asumsi bahwa presidential threshold itu tidak ada, atau seakan-akan relatif ya ini bangunan asumsi dan presidential itu tidak ada,” ujarnya.
Karena, kata Effendi, kalau presidential threshold masih ada, ia memprediksi hanya ada dua pasang calon (paslon) maksimal, atau satu paslon melawan kotak kosong. Sementara perjuangan menghapus presidential threshold ini sangat amat sulit, sebagaimana yang dipaparkan dalam survei.
“Karena kalau presidential threshold ada, hanya akan ada dua atau satu pasang melawan kotak kosong. Dan sayangnya lagi ketika tadi sudah dipaparkan tentang perjuangan untuk menghilangkan presidential threshold ini,” terang Effendi.
Effendi menceritakan, keserentakan pemilu ini terjadi saat dirinya bersama dengan Saldi Isra, Irman Putra Siddin, Hamdi Muluk dan Didik Supriyanto mengajukan uji materi ke MK dan dikabulkan. Idealnya, pemilu serentak digelar tanpa adanya presidential threshold sebagaimana yang dilakukan di sejumlah negara, namun tidak di Indonesia.
“Tidak ada negara manapun di dunia yang melaksanakan pemilu serentak dengan presidential threshold. Apakah perjuangan kita bisa memenangkannya, sehingga tadi yang diandaikan siapa berpasangan dengan siapa itu bisa terwujud atau relatif lebih bisa terwujud sekaligus memperbaiki undang-undang seperti apa yang disampaikan,” ungkapnya.
Yang pasti, Guru Besar tetap Ilmu Komunikasi Universitas Prof. Dr. Moestopo ini menegaskan, pemasangan-pemasangan capres-cawapres ini bisa terjadi di Pemilu 2024 tanpa adanya presidential threshold. Kalau tetap ada, nama-nama di survei ini bisa hilang di 2024 nanti.
“Yang ada, (nama-nama capres) di sini bisa enggak ada, bisa satu pasang melawan kotak kosong atau dua pasang sesuai dengan keinginan oligarki, dipilih satu pasangan dan pasangan kedua dipilih yang lemah,” tandasnya.
(muh)